HeadlineHikmahIslamiaWawasan

Ulama dan Pemimpin Sejati


Alkisah,
setelah mendapat tausiyah (nasihat) dari al-Fudhail Ibn Iyad al-Tamimi,
Khalifah Harun al-Rasyid berkata kepadanya, “Terimalah uang seribu dinar ini
untuk kamu berikan kepada keluargamu dan untuk menunjang ibadahmu.

Tetapi, al-Fudhail, seorang ulama yang ahli ibadah, itu menolaknya dan berkata,
Subhanallah, aku hanya menunjukkan kamu jalan menuju keselamatan, mengapa
kamu membalasku dengan cara seperti ini? Semoga Allah memberikan kesejahteraan
dan taufik kepadamu.

Ada kisah lain. Suatu ketika salah seorang dari kaum Muslimin mengetahui
Khalifah Umar bin Abdul Aziz ingin makan apel. Namun, ia tidak mempunyai harta
untuk membeli buah itu. Lantas, orang tadi menghadiahkan sejumlah buah apel
yang kemudian ditolak oleh Umar.

Pada saat beliau ditanya mengenai penyebab ia menolak menerima hadiah tersebut,
ia menjawab, “Aku tidak menerima hadiah selama aku menjadi khalifah bagi kaum
Muslimin.” Kedua kisah di atas menggambarkan sosok ulama dan pemimpin yang
berkarakter mulia.

Sikap al-Fudhail merupakan representasi tokoh ulama yang berpegang teguh pada
prinsip agama. Segala bentuk ibadah atau kebaikan yang dilakukannya semata-mata
ikhlas untuk memperoleh keridhaan Allah SWT. Beliau tidak mengharapkan balasan
atau upah.

Bahkan, ia menolak segala bentuk pemberian atau hadiah atas kebaikan yang
dilakukannya. Sekalipun, pemberian itu datang dari seorang raja atau pejabat
pemerintahan. Inilah ulama sejati.

Sedangkan, Khalifah Umar bin Abdul Aziz merupakan representasi tokoh pemimpin
yang memiliki keteguhan dalam memegang prinsip-prinsip religiusnya.

Ia
tidak tergoda oleh segala bentuk hadiah, apalagi gratifikasi atau suap yang
ditawarkan kepadanya. Inilah pemimpin sejati.

Al-Fudhail tidak suka kepada orang-orang yang suka pamer, sementara orang itu
hanya pandai berbicara, tetapi tidak pernah berbuat. Di majelis perayaan,
mereka suka dipuji dan disanjung atas sesuatu yang tidak mereka lakukan.

Mereka pura-pura bertakwa, padahal suka berbuat maksiat. Pencitraan. Karena
itu, ulama yang meninggalnya dalam keadaan sedang bersujud di dalam mihrab itu
memperingatkan mereka, “Hendaklah bertakwa kepada Allah dan janganlah menjadi
orang pamer sedangkan kamu tidak merasa.”

Di samping itu, ulama kelahiran Khurasan dan besar di Kufah ini senantiasa
berpesan kepada kaum Muslimin agar menjaga ukhuwah (persaudaraan), khususnya di
antara kalangan umat Islam sendiri.

Ia berpesan, “Jika Muslimin saling membicarakan kejelekan-kejelekan atau aib
saudaranya, ini berarti ukhuwah Islamiyahnya telah pudar. Laksana kayu yang
tersepuh emas dan perak, dari bagian luar terlihat indah, padahal dalamnya
hanyalah sepotong kayu rapuh.”

Sementara, Umar bin Abdul Aziz adalah pemimpin yang tegas, adil, dan bijaksana.
Tingkah laku dan ucapannya penuh kesantunan.

Ia tidak pernah bicara sepatah kata pun yang
isinya mengingkari Islam. Sang khalifah kelahiran Madinah itu memangku jabatan
sejak 99 Hijriyah.

Ia dikenal sebagai seorang pemimpin yang tegas dan cepat dalam mengambil
keputusan. Responsif dan tidak menunda-nunda. Pada saat terjadi konflik
internal, golongan Qaramitha hendak keluar dan berpisah dari kaum Muslimin.

Tapi, ancaman konflik ini berhasil diselesaikan Umar bin Abdul Aziz dengan
pendekatan dialog dan damai, tanpa ada kekerasan dan korban. Sikap pembelaan
Umar sebagai khalifah tidak hanya dirasakan umat Islam, tetapi juga golongan
non-Muslim.

Ia pernah membebaskan kaum kafir membayar jizyah (upeti) seraya berkata,
“Sesungguhnya Allah mengutus Muhammad untuk memberi petunjuk, bukan untuk
mengumpulkan harta.”

Dalam konteks kekinian, figur ulama seperti al-Fudhail dan pemimpin seperti
Umar sulit dijumpai. Jika ada pun, jumlahnya minim.





Oleh: Imron Baihaqi
sumber: Republika Online

Artikel Terkait