e-WawasanOpiniWawasan

Mendamaikan Akademi dan Organisasi

               
Saya belum merasa sebagai penuntut ilmu
sejati.  Saya juga bukan aktifis
organisasi.  Namun, apa yang saya
kemukakan pada dasarnya berangkat dari pengalaman pribadi agar menjadi “pekerjaan
rumah” (PR) bagi seluruh individu masisir, terlebih diri saya sendiri.”

Menjadi insan
akademis adalah sebuah Anugerah.  Waktu
menjadi miliknya untuk belajar, menggali ilmu, dan memperkaya wawasan.  Seorang akademis tidak punya “masa
pensiun”, sehingga seluruh waktu dan pikiran tercurah untuk kepentingan
pengembangan dan penyebaran pengetahuan.

Namun, tanggung
jawab seorang akademis tidak hanya sampai di situ.  Menghabiskan waktu hanya untuk menela’ah
bukanlah satu-satunya tugas dan kewajiban. 
Lebih dari itu, ia dituntut untuk peka terhadap lingkungan dan
masyarakat luas.  Atas dasar inilah ia
juga perlu berpengalaman dalam organisasi.

Banyak didapati
seseorang menjadi akademis dan organisator sekaligus.  Di Mesir, misalnya, keberadaan mahasiswa
Indonesia pun tidak lepas dari aktivitas organisasi.  Kekeluargaan, almamater, ataupun kelompok
studi, menjadi wadah bagi mahasiswa untuk menyalurkan naluri sosial mereka
sekaligus menjadi daya tampung aspirasi para anggotanya.
Sayang sekali,
organisasi yang bersentuhan langsung dengan tempat belajar tersebut -Al Azhar-
tidak bisa diakses oleh mahasiswa asing. 
Al Azhar punya
Ittihad Thalabah,
tapi organisasi kemahasiswaan itu tidak boleh -atau mungkin tidak mau-
merangkul mahasiswa asing.  Suatu ketika
sebuah artikel tentang
Ittihad Thalabah
di salah satu buletin masisir mengatakan bahwa ia “antara ada dan
tiada”.  Artinya, sosialisasi
aktivitas organisasi tersebut tidak terpublikasi luas kepada seluruh mahasiswa
asing dan hanya terbatas pada mahasiswa Mesir. 
Di kampus pun tidak ada koran dinding atau media semacamnya bagi
mahasiswa sehingga aspirasi dan pemikiran mahasiswa Indonesia, misalnya, harus
tersalur melalui sebuah prosedur, dalam hal ini PPMI dan KBRI.

Hal inilah
sehingga organisasi masisir menjamur dengan beragam kelas.  Namun organisasi masisir tersebut sudah cukup
sebagai ruang penting bagi akademis dalam proses belajarnya.  Organisasi tidak lain merupakan ruang
mengaktivasikan kesadaran seorang pembelajar bahwa ia adalah makhluk sosial di
mana segala pemikiran dan potensi yang dimiliki sejatinya berdampak sosial
pula.
  
Lantas bagaimana
dengan akademis non-organisator?  Apakah
dengan waktunya untuk menela’ah saja lantas ia dianggap bukan seorang
pembelajar sejati?  Apakah hal itu
menjadikannya dicap tidak memiliki jiwa sosial? 
Sesungguhnya
banyak hal yang perlu menjadi perhatian pelajar Indonesia berkaitan
keberadaannya di Mesir dan jika kembali nanti. 
Saya menyebut “jika kembali” karena sangat memungkinkan ada
sebagian pelajar dan orang Indonesia yang berniat menghabiskan seluruh hidupnya
di negeri Fir’aun ini.

Bagi sebagian
orang tinggal di Mesir adalah sebuah kenikmatan.  Tidak perlu pusing dengan segala perkara yang
“sangat Indonesia”.  Akses
internet mudah dan murah.  Kumpul-kumpul,
makan-makan, jalan-jalan, nonton, dan berbisnis ria menjadi alasan lain bagi
mereka yang menganggap enaknya hidup di Mesir.
   
Lalu ada dua tipe
lain.  Ada yang merasa tinggal di Mesir
sangat menjenuhkan.  Berlama-lama hidup
di Mesir tidak berguna dan menghabiskan waktu begitu saja.  Mau kerja dan buka usaha susah.  Lingkungan tidak menyenangkan.  Cuaca tidak enak.  Debu di mana-mana.  Paling parah adalah proses ijra’at yang melelahkan dan muamalah orang Mesir yang tidak mengenal
kepercayaan.  Sementara itu, sebagian
lagi merasa biasa saja, tidak peduli dan tetap asyik berkutat dengan
aktivitasnya sendiri.

Namun, pernahkah
kita berpikir apa yang sesungguhnya dibutuhkan oleh masyarakat Indonesia?  Eksistensi pelajar Indonesia di Mesir pada
hakikatnya menyimpan harapan bagi masyarakat yang ditinggalkannya.  Pelajar Indonesia di Mesir seharusnya lebih
peka terhadap hal-hal yang dituntut menyangkut posisinya sebagai seorang
pembelajar.  Ia harus sadar akan
tantangan di negerinya sendiri.  Hal-hal
yang harus dibenahi ternyata lebih banyak dari waktu yang dimiliki.

Ada beberapa hal
yang patut dicermati.  Seorang teman saya
menyebutkan: “di Indonesia lulusan Mesir sangat banyak, tetapi sangat
kurang dari mereka yang benar-benar paham dan melek akan kepekaan sosial,
buktinya ketika kembali banyak dari mereka yang sedikit gelagapan berhadapan
dengan kondisi kemasyarakatan sesungguhnya”. 

Di lain waktu
seseorang menceritakan pengalamannya: “saya betul-betul mensyukuri kepulangan saya yang lebih cepat, saya tidak menyesal dengan keputusan saya melanjutkan
kuliah di Indonesia, saya sudah bisa membaca situasi belajar di Mesir dan
sekarang saya mengomparasikannya dengan metodologi belajar di Indonesia yang
sistematis, saya juga merasa lebih berharga sebagai seorang akademis karena
saya bisa lebih bermanfaat bagi masyarakat dengan menjadi pengajar disamping
sebagai mahasiswa”.

Apa yang terurai
di atas tidak bermaksud mengatakan bahwa pelajar Indonesia di Mesir tidak lebih
baik dari mereka yang belajar di Indonesia atau negara lain.  Bagi mereka yang aktif berorganisasi hal itu
menjadi pembelajaran untuk lebih mengaktualisasikan diri menghadapi
masalah-masalah sosial.  Sementara
non-organisator tidak serta-merta dinilai pasif karena proses belajar yang
mereka lalui saat ini pada akhirnya akan dituntut untuk bernilai kongkrit dan
ril.  Baik pihak pertama maupun kedua,
setiap yang mengaku sebagai seorang pembelajar di Mesir setidaknya memiliki
sensitivitas terhadap tuntutan zaman yang dihadapi bangsanya sendiri.

Siapapun dia,
selama mengaku sebagai pelajar di Mesir, punya potensi besar untuk berkembang
di tengah masyarakatnya sendiri.  Kita
punya nilai plus dibandingkan mereka di tanah air, karena selain disusupi oleh
ilmu-ilmu keagamaan, kita juga ditempa oleh lingkungan serta bahasa dan adat
yang berbeda.  Ditambah lagi banyaknya
pilihan lembaga kursus dengan native
speaker
, spot-spot untuk belajar seni dan budaya Mesir, pelatihan-pelatihan
yang sering diadakan oleh berbagai organisasi masisir untuk menambah wawasan
dan skill, serta kelompok-kelompok
studi bermacam disiplin ilmu, semuanya adalah bekal untuk memperkaya potensi
hingga menjadi apa diri kita nanti. 
Contoh kongkritnya, beberapa di antara mereka yang pernah belajar di
sini mampu berbagi ilmu, berdakwah dan berwirausaha sekaligus.

Karena itu, dua
tipe tersebut sama pentingnya bagi kemaslahatan umat.  Dalam hal organisasi, di Indonesia
organisasi-organisasi sosial kemasyarakatan yang berbasis dakwah dan pendidikan
sangatlah dibutuhkan.  Sebut saja NU dan
Muhammadiyah, keduanya memiliki peran besar dalam menangani kompleksnya masalah
yang dihadapi masyarakat Indonesia yang tentunya di-back up oleh kader-kader kompeten. 
Sementara dalam hal pengembangan keilmuan, saat ini pusat penelitian dan
pengembangan studi Islam terbesar dan terlengkap di Indonesia belum ada karena
SDM yang tidak teroptimalisasi baik dan Indonesia sangat membutuhkan itu.  Maka kedua hal tersebut di atas paling tidak
menjadi acuan untuk lebih memelekkan diri terhadap situasi di Indonesia.

Inilah tantangan
seorang akademis.  Tidak adanya
“masa pensiun” menjadikan seluruh tugas dan tanggung jawabnya
diperuntukkan untuk kepentingan bangsa dan negara.  Berorganisasi penting karena ada nilai-nilai
sosial di sana, tetapi tidak sampai menyita hak aktivitas belajar yang menjadi
prioritas utama.  Menghabiskan waktu
untuk studi dan mengikuti kajian terlebih lagi pentingnya karena merupakan
tujuan awal, namun jangan sampai dilakukan hanya untuk kepentingan dan tendensi
individual.  Satu hal yang tak kalah
penting, kenikmatan hidup di Mesir jangan sampai membuat kita “merem”
tanpa arti hingga batas waktu yang tak menentu.
Apa yang hendak
saya tarik sebagai poin adalah pentingnya optimalisasi potensi diri.  Ketika seseorang mengetahui apa yang menjadi
kekurangannya maka ia hendaknya menemukan apa yang menjadi nilai plusnya agar
tidak tergerus oleh zamannya sendiri. 
Seorang akademis-organisator bisa menyelaraskan kedua jalannya agar
tidak terjadi yang saya sebut sebagai “simbiosis parasitisme”.  Di lain pihak, akademis non-organisator
mengefektivitaskan waktunya dengan banyak meneliti dan memperkaya khazanah
keilmuwan dan skill yang praksis,
berbasis manfaat, bernilai kongkrit, dan dirasakan hasilnya oleh masyarakat.

Sumber: Wawasan
Oleh: Ahmad Umar Yahya,

Artikel Terkait