e-WawasanOrientasi

BIAR KUNCUP MEKAR JADI BUNGA

Seandainya tak berusah keras hingga menyakiti dirinya sendiri, ulat kepompong mungkin tak akan berubah menjadi kupu-kupu yang cantik. Dia akan tetap menjadi ulat, dan mungkin mati terinjak kaki manusia. Begitulah kodratnya. Dan begitulah kodrat alam semesta. Seperti manusia, segala keindahan yang dimiliki terbangun dengan usaha. Bahkan terkadang oleh sakit yang diderita terlebih dahulu oleh pemiliknya. Tanpa keindahan itu, ia sama dengan ulat kepompong. Tanpa daya tarik, tanpa kenangan, dan akhirnya mati “terinjak” oleh orang lain.
Para pemilik keindahan adalah para pejuang sejati. Mereka tak pernah menyerah dengan kondisi serba tidak memungkinkan yang mengelilingi hidupnya. Justru dari sanalah mereka berlatih kesabaran dan mengeluarkan seluruh potensi yang mereka miliki. Dari sanalah mereka menemukan jalan baru yang mungkin lebih baik dari jalan yang mereka lalui sebelumnya. Itulah mengapa dalam catatan sejarah, para pemilik keindahan selalu terlahir dari rahim pejuang. Jika tidak, maka mereka adalah orang-orang yang berjuang keras melawan kondisinya, melawan komunitasnya.
Para pemilik keindahan adalah pejuang sejati. Mereka tak berhenti sebelum sampai. Bahkan di puncak prestasi, mereka tak mengendorkan semangat juang dan kerja kerasnya. Bukan tak ada letih di jalan sukses itu. Tapi mereka mampu mengelola letihnya dengan baik, berhenti sejenak, untuk kemudian bergerak lebih maksimal lagi. Bukan tanpa tantangan, bukan tanpa kegagalan. Tapi tantangan dan gagal bagi mereka adalah salah satu jalan yang harus mereka tapaki menuju sukses. Bukan tak ada malas di tengah juang. Tapi mereka tak membiarkan semangat besar mereka kalah oleh tubuh yang malas. Yang memilih istirahat sebelum lelah. Mereka menyadari, bahwa tempat pemberhentian itu masih jauh, tempat istiahat itu bukan di sini, tapi di sana, di puncak obsesi dan kemuliaan. Dari sinilah kita memahami, mengapa di puncak karirnya, ketika murid-muridnya bertanya, “Kapan kita akan berisitirahat?” Imam Abu Hanifah hanya menjawab; “Inda awwali qadamin fil jannah; Nanti, pada langkah pertama kita di surga.”
Semangat seperti ini yang perlu kembali ditumbuhkan dalam komunitas kita, di Kerukunan kita, di KKS, di Masisir. Mental seperti ini yang akan mempercepat lahirnya generasi baru yang akan memimpin perubahan, menggerakkan lagi gairah kita yang mati suri. Besarnya potensi yang kita miliki dan banyaknya peluang yang mengelilingi tidak akan menghasilkan keindahan jika tidak di padukan dengan semangat dan usaha kuat yang terus menerus.
Apa yang membuat Buletin WAWASAN kehilangan keindahannya? Pada kualitasnya? Mungkin. Tapi lebih tepat adalah pada lemahnya semangat untuk selalu ada di saat ia seharusnya ada. Untuk selalu tampil dan memberi warna di saat sekelilingnya gelap tak bercahaya. Untuk selalu memberi ruh, memberi jiwa bagi gerak dan aktifitas komunitas Sulawesi. Nama besarnya boleh jadi semakin dilupakan karena hilang sekian lama tak tentu rimbanya. Hilang dan dilupakan. Dan hari ini, jika dia terlahir kembali, jangan biarkan dia mati sebelum orang menyadari kelahirannya. Jangan biarkan ia layu sebelum berkembang. Biar kuncup itu mekar jadi bunga, biar ia menebar keindahannya.
Namun, siapakah yang akan menggerakkan kepompong itu? Yang akan membawanya menjadi kupu kupu keindahan? Siapakah orangnya yang akan berjasa memekarkan bunga, menjaganya agar tetap merona? Siapakah orang yang akan turut memegang kendali sebuah perjalanan sejarah yang tertorehkan melalui WAWASAN ini nantinya..? Siapakah yang siap menjadi aktor yang akan membidani lahirnya ide-ide cerdas dan bermanfaat bagi umat manusia? Setiap kita punya kesempatan..! Bergabunglah disini: dalam redaksi, dalam urutan para penulis, dalam deretan para pembuat sejarah melalui buletin ini.
Sebab buletin ini adalah duta hati dan pikiran. Ia adalah sarana untuk berkomunikasi dengan sebanyak-banyaknya orang. Saat menulis, kita seperti berbicara dengan banyak orang dalam diam. Ketika membaca, kita seperti mendengar mereka berbicara. Hanya saja, seorang yang menulis suaranya akan tetap jelas terdengar, sampai jauh, jauh ke tepian, dari ujung-ke ujung, tak terpengaruh oleh situasi, takkan surut disapu oleh desiran angin.
Coretan dan goresan pena kadang dapat berbicara mengungkapkan banyak fakta. Ia dapat menjadi catatan dan bukti sejarah. Walaupun hanya berupa susunan huruf yang bisu, sebuah tulisan dapat menceritakan sebuah kisah hidup yang panjang.
Urutan-urutan kata akan mampu menerangkan luapan kesedihan, gemuruh kegembiraan, noktah kemarahan, saksi ketidakberdayaan, kecemerlangan pikiran, keluasan pandangan, hikmah kebijaksanaan dan banyak ragam kehidupan. Sebuah peristiwa yang kelihatannya remeh dan tak berarti bisa menjadi sebuah kenangan, pelajaran, bahkan dokumen sejarah. Kejadian kecil yang luput dari perhatian kelak bisa menjadi ibrah dan hikmah.
Goresan penalah yang dapat selalu menjaga dan meminimalisasi berlalunya sebuah hikmah dan kenangan dengan begitu saja. Goresan sesaat dapat menghadirkan kembali masa-masa yang telah berlalu lengkap dengan segala hal yang mungkin sudah mulai hilang dalam benak. Ia bisa membuatku, membuatmu dan kita semua tersenyum, bergembira dan tertawa. Ia juga dapat membentuk rangkaian mendung di pelupuk matamu. Kata Pramudya: sepintar apapun dirimu, secanggih apapun tingkat pengetahuanmu, kalau engkau tidak menulis, bersiaplah ditelan oleh sejarah.
WAWASAN akan selalu dirindukan, bagaimanapun kondisinya. Sebab ia menjadi corong ide dan kreatifitas anggota. WAWASAN bisa menggerakkan. Hanya butuh sedikit sentuhan, dan dia akan menjadi sebuah kekuatan. Dari sini dulu pernah lahir penulis-penulis masisir berbakat. Yang kiprahnya selalu dikenang. Di sini dulu banyak ide lahir dan tersalurkan. Dan satu atau mungkin banyak ide itu telah melahirkan perubahan.

Dan ulat kepompong tak berhenti sebelum menjadi kupu-kupu.

Dan ulat kepompong tak berhenti sebelum orang mengetahui keindahan dalam dirinya. Dan ulat kepompong bersakit-sakit untuk keindahan lain yang ia yakin sedang menantinya. Sakit, tapi ia tak menyerah. Perih, tapi ia fokus pada keindahan yang menanti. Dan WAWASAN, jangan pernah kalah dengan kepompong.

Sumber: WAWASAN
Oleh: Luqmanul Hakim Abubakar

Artikel Terkait