e-WawasanOm-Kota

KHARISMATIK SEORANG AMMATOA

Kawasan adat Kajang merupakan primadona pariwisata Sulsel, selain Tana Toraja dan Pantai Bira bulukumba.  Berada di Kecamatan Kajang, Bulukumba Sulawesi Selatan. Sekitar 200 km. dari Makassar. Ammatoa merupakan pemimpin tertinggi masyarakat adat Kajang. Ia selalu mengundang kagum setiap orang yang berkunjung. Karena ternyata, ia seorang pribadi yang sangat bersahaja dan kharismatik. Jabatannya sebagai  pemimpin adat, tidak membuat seorang Ammatoa berbuat seenaknya, termasuk memanfaatkan kekuasaan untuk menumpuk kekayaan. 

Di dalam ’pasang ri Kajang’ (aturan adat) menjelaskan bagaimana kesederhanaannya, yang berarti: ’’Jika ada orang miskin di dalam kawasan adat Kajang, maka Ammatoa-lah yang paling miskin.’’. Begitu juga sebaliknya, ’’Jika semua orang yang berada di dalam kawasan adat Kajang sudah kaya maka biarlah Ammatoa yang paling terakhir menjadi kaya.’’

Dari sini tergambar bahwa kehidupan Ammatoa serba terbalik. Di kawasan adat Kajang, rumah yang terjelek adalah rumah Ammatoa. Karena itu, Siapa saja yang mencari rumah Ammatoa maka carilah rumah yang paling jelek. Rumah panggung beratap daun nipah (atap anyaman dari daun nipah, kelapa atau lontar), berdinding gamacca (sejenis anyaman bambu), tangganya bengkok, dan lantai yang terbuat dari bambu yang terbelah-belah. Tiang rumahnya terbuat dari kayu bitti yang bagi masyarakat adat Kajang disebut kaju benteng. Kayu ini merupakan bahan dasar pembuatan perahu Phinisi yang memang banyak tumbuh di daerah ini.

Pakaian Ammatoa tidak berbeda dengan pakaian masyarakatnya. Baju, sarung, dan kain passapu (penutup kepala) yang serba berwarna hitam. Di kedua tangannya terlilit gelang akar bahar (salah satu jenis bunga karang) berwarna hitam. Gelang akar bahar bukanlah sebuah aksesoris melainkan benda sakral yang dipercaya memiliki kandungan mistik, hanya orang tertentu yang memakainya. 

Ammatoa dibantu beberapa perangkat adat berdasarkan fungsi dan teritorial. Galla Puto, perangkat adat  Kajang yang menjalankan fungsi humas atau juru bicara. Seorang Ammatoa tidak boleh meninggalkan kawasan adat Kajang, sehingga Galla Puto-lah yang mewakili Ammatoa dalam urusan luar, begitu pula jika Ammatoa berhalangan, maka Galla Puto-lah yang menerima tamu. Karena tidak semua tamu yang berkunjung ke kawasan adat Kajang dapat diterima langsung oleh Ammatoa.

Dalam kehidupan masyarakat Kajang, Ammatoa bukan hanya disegani dan dipatuhi titahnya, akan tetapi merangkap pemimpin spiritual bagi kaumnya. Jabatan Ammatoa tidak berdasarkan garis keturunan, tapi melalui upacara ritual yang amat rumit. Seorang Ammatoa dipilih oleh alam dengan kehendak Patanna Ero’(Yang Kuasa), penunjukannya melalui ayam atau asap yang berasal dari borong karama’ (hutan larangan). Ayam dan asap ini akan memilih siapa yang berhak menjadi Ammatoa. 

Masyarakat adat Kajang tidak menutup diri bagi siapa saja yang mau masuk ke kawasan adat Kajang, selama mematuhi syarat-syarat yang sudah ditetapkan. Di antaranya, memakai pakaian adat Kajang dan melepas alas kaki. Mereka mampu melestarikan hutan melalui aturan adat Pasang Ri Kajang. Sampai sekarang, kelestarian hutan di kawasan adat Kajang masih terjaga, karena adanya Pasang yang memakai bahasa Konjo yang selalu disampaikan Ammatoa  pada setiap kesempatan menerima tamu ’’Enjoi natahan ri borong karana pasang. Rettopi tanayya rettoi ada’’. kurang lebih bermakna,’’Hutan bisa lestari karena dijaga oleh adat. Bila bumi hancur maka hancur pula adat.’’

Sumber: Wawasan
Oleh: Khairul Asfar

Artikel Terkait