e-WawasanOm-Kota

Malino; Aset Sulawesi yang Eksotik

Tenang, sejuk dan terkadang dingin. Suasana itulah yang melukiskan  objek wisata yang satu ini. “Malino”. Ya, demikian orang-orang menyapanya. Sebuah panorama alam yang terletak sekitar 90 km arah selatan kota Makassar, tepatnya di Tinggimoncong, kabupaten Gowa. Kawasan tersebut terkenal sebagai tempat rekreasi sejak zaman kolonial Belanda.
Layaknya objek wisata berkelas lainnya, Malino juga difasilitasi vila dan tempat penginapan strategis yang bertebaran di kawasan Malino untuk memudahkan manikmati alam sekitar. Mulai dari Air Terjun Takapala yang terletak di daerah Bulutana, Air Terjun Lembanna yang kira-kira 8 km dari Kota Malino, Hutan Wisata Malino yang lebih dikenal dengan sebutan Hutan Pinus, sampai permandian lembah biru yang tak pernah sepi oleh pengunjung, apalagi hari-hari libur.

Malino’s Picture
                                 

                           

Bukan cuma alamnya, tapi potensi flora dan fauna juga berkontribusi menghiasi kawasan ini. Dalam Taman Wisata Alam Malino akan kita temui berbagai jenis fauna seperti burung nuri, kera hitam, biawak, jalak kerbau, raja udang, dan burung gelatik. Adapun jenis Flora, mulai dari pohon pinus yang mendominasi Taman Wisata Alam Malino, akasia, jabon, beringin, ekaliptus, edelweis, rotan, kenanga sampai beberapa jenis perdu. Bahkan masih ada peninggalan Belanda yang sampai sekarang bisa dinikmati, namun terbilang langka, yaitu termasuk edelweis dan pohon turi yang bunganya berwarna oranye. Saat mekar, bunga-bunga ini terlihat indah, apalagi jika dilihat dari udara atau kejauhan. Pemandangan seperti ini jarang ditemukan di tempat lain. Karena itulah, Malino juga dijuluki sebagai Kota Kembangnya Sulawesi Selatan.
Sedikit ke daerah atas terlihat dengan jelas hamparan sayur-mayur yang hijau. Tanaman hortikultura seperti kol, vetsai, bawang prei, kentang dan tomat, digarap oleh para petani desa setempat. Tepatnya terletak di daerah Kanrepia. Sementara itu kalau kita ke daerah Pattapang, terdapat perkebunan teh milik Nittoh asal jepang yang juga menjadi salah satu objek wisata Malino yang digemari karena hamparan hijaunya yang cantik dan memukau.
Di Malino juga terdapat perkebunan Markisa yang terkenal menghasilkan buah markisa yang manis dan dapat diperoleh di pasar-pasar tradisonal di Malino. Bahkan pada pergelaran Pekan Raya Jakarta akhir Juni lalu, Markisa asal Sul-sel (Malino, Sinjai, Mamasa) mengundang minat konsumen luar negri, seperti Tiongkok (China) yang menawar hingga lima kontainer setiap bulannya. Lain lagi pesanan dari negara tetangga kita, Australia, juga memesan satu container setiap bulannya. Sayang, permintaan itu sulit dipenuhi karena suplai bahan baku buah Markisa tidak mendukung.
Bagi para wisatawan, baik asing mapun lokal tentu tak lupa menyempatkan diri untuk malanjutkan pendakian menuju Bawakaraeng. Gunung dengan tinggi sekitar  2.705 meter. Secara ekologis gunung ini memiliki posisi penting karena menjadi sumber penyimpan air untuk Kabupaten Gowa, Kota Makassar, Kabupaten Bantaeng, Kabupaten Bulukumba dan Kabupaten Sinjai.
Pada tanggal 26 Mei 2004, terjadi tragedi longsor di kaki Gunung Bawakaraeng, tepatnya di Kecamatan Tinggimoncong. Musibah longsor ini menewaskan 30 warga dan menimbum ribuan areal sawah dan perkebunan.
Eks wilayah longsor tersebut mengakibatkan daerah aliran sungai (DAS) menjadi labil. Setiap musim hujan, lumpur di kaki Gunung Bawakaraeng mengalir masuk ke Bendungan Bilibili, bendungan terbesar di Sulawesi Selatan yang ada di Kabupaten Gowa, yang menjadi sumber air baku di Gowa dan Makassar. Lumpur juga mengalir masuk ke Sungai Jeneberang, sungai terbesar di Gowa yang membelah Sungguminasa ibukota Kabupaten Gowa serta membendung Kota Makassar di wilayah selatan.
Bawakaraeng bagi masyarakat sekitar memiliki arti sendiri. Bawa artinya Mulut, Karaeng artinya Tuhan. Jadi Gunung Bawakaraeng diartikan sebagai Gunung Mulut Tuhan.Penganut sinkretisme di wilayah sekitar gunung ini meyakini Gunung Bawakaraeng sebagai tempat pertemuan para wali. Para penganut keyakinan ini juga menjalankan ibadah haji di puncak Gunung Bawakaraeng setiap musim haji atau bulan Zulhijjah, bersamaan dengan pelaksanaan ibadah haji di Tanah Suci. Tepat tanggal 10 Zulhijjah, mereka melakukan salat Idul Adha di puncak Gunung Bawakaraeng atau di puncak Gunung Lompobattang.
Bawakaraeng bagi masyarakat sekitar memiliki arti sendiri. Bawa artinya Mulut, Karaeng artinya Tuhan. Jadi Gunung Bawakaraeng diartikan sebagai Gunung Mulut Tuhan.Penganut sinkretisme di wilayah sekitar gunung ini meyakini Gunung Bawakaraeng sebagai tempat pertemuan para wali. Para penganut keyakinan ini juga menjalankan ibadah haji di puncak Gunung Bawakaraeng setiap musim haji atau bulan Zulhijjah, bersamaan dengan pelaksanaan ibadah haji di Tanah Suci. Tepat tanggal 10 Zulhijjah, mereka melakukan salat Idul Adha di puncak Gunung Bawakaraeng atau di puncak Gunung Lompobattang Tepat.



Sumber: Wawasan
Oleh: Aris Amir

Artikel Terkait