Oleh: Fikri Haiqal Arif
Gerakan liberal
sejatinya bermula dari konflik yang muncul dari penentangan
masyarakat Barat terhadap doktrin gereja yang dinilai tidak
masuk akal,
serta kekuasaan monarki kerajaan yang bertindak semena-mena di Eropa pada masa sebelum Renaisans. Menurut Dr. Hamid Fahmy
Zarkasyi, Abad ke 18 dan 19 adalah era di mana liberalisme lahir dari rahim
bangsa Eropa yang semakin mempertanyakan kebenaran obyektif gereja yang terus
mengekang kebebasan berpikir.
Inilah awal di mana Barat
menemukan momen kemajuannya. Dari sanalah lahir peradaban baru. Peradaban yang
maju bahkan mendominasi dunia. Dari sistem yang mengedepankan keraguan dan
ketidakpercayaan mengakibatkan pencarian ilmu pengetahuan tanpa henti.
Dampaknya politik, ekonomi dan pendidikan terus dikembangkan hingga saat ini.Dari sini peradaban Barat
menjadi kiblat keilmuan dunia setelah runtuhnya Turki Utsmani. Dari sisi
politik, misalnya, mereka hadir dengan sistem demokrasi dan parlementer. Nah,
dari sisi pemikiran, muatan Barat postmodern menawarkan liberalisme. Corak
pemikiran inilah yang kemudian hari diadopsi oleh beberapa dari mereka yang
mengaku sebagai cendikiawan muslim untuk diterapkan di negara-negara muslim
yang notabene adalah negara ketiga.
Sebelum melangkah ke pembahasan
mengenai liberalisme, ada baiknya apabila kita melihat kepada arti liberal
secara terminologi. Sebagaimana yang dikutip dari Wikipedia, liberalisme
adalah mencita-citakan suatu masyarakat yang bebas, terlebih kebebasan berpikir bagi para individu dalam masyarakat tersebut. Paham
liberalisme menolak adanya pembatasan. Dari sini, kita amini bahwa, liberalisme yang mendorong setiap
individu untuk berpikir adalah hal yang positif. Terlebih seruan berpikir
adalah manifestasi dari ayat-ayat suci al-Qur’an seperti afalaa
yatadabbarun, afalaa ta’qilun dsb. Namun, liberalisme yang menuntut
kebebasan sebebas-bebasnya menjadi masalah ketika ia dibawa ke ranah agama yang
bersifat aksiomatik. Yang mana di dalamnya berhubungan erat dengan pembahasan
metafisika yang sulit disentuh oleh logika.
Munculnya kelompok yang
mengatasnamakan Islam Liberal beberapa tahun lalu memberikan tanda
tanya kepada kita. Mengapa Islam bisa disandingkan dengan Liberal? Ditilik dari pemaknaan liberal yang berarti bebas jelas
mengabarkan bahwa, Islam Liberal memiliki kontradiksi arti. Islam yang merupakan agama yang
dibangun atas dasar kepatuhan kepada Sang Pencipta, tidak bisa
disandingkandengan kata bebas. Sebab tidak ada kepatuhan yang bebas pun sebaliknya, tak masuk
logika bila ada yang mengatakan ada kebebasan yang patuh.
Sebagai contoh, kita pernah mendengar salah seorang pentolan JIL (Jaringan
Islam Liberal) mengatakan bahwa shalat itu cukup dengan dzikir. Tak perlu mengerjakan 13
rukun shalat yang kita pelajari di dalam fiqh. Sebab esensi shalat adalah
dzikir. Nah, menurut mereka apabila esensi sudah tercapai tidak perlu lagi
untuk melaksanakan 13 rukun tersebut. “Fatwa” ini mereka lontarkan
dengan landasana al-Qur’an yang berbunyi,
(و أقم الصلاة لذكري” (طه : ١٤”
Padahal pada aplikasinya, shalat sebagaiamana yang tertera di dalam hadis,
telah ditetapkan sebagai bentuk ibadah yang diawali dengan takbiratulihram dan
diakhiri dengan salam. Bentuk ibadah yang turun dari jalan wahyu
jelas tak bisa diukur keboleh-tidakannya dengan logika. Sebab hal itu bersifat
aksiomatis. Maka, dampak dari berpikir bebas dalam beragama seperti di atas, hanya menyebabkan paradoksal dalam beribadah dan perpecahan di
dalam tubuh umat Islam. Oleh karenanya, penyandingan Islam dengan kata liberal
tidaklah tepat.
Potensi merusak ini, pada fase selanjutnya justru digunakan
oleh kaum Yahudi dan Kristen sebagai alat untuk menyerang Islam dari dalam.
Anehnya lagi, kaum muslimin malah belajar agama kepada Barat, yang notabene menjadi
pabrik liberalisasi pemikiran dunia.Dari penerimaan
umat Islam akan paham liberal, Barat masuk sebagai neo kolonial
melemahkan pemikiran umat Islam. Maka muncullah mereka yang berani mengatakan bahwa Islam itu bebas, Islam itu universal,
semua agama sama (pluralism
agama). Dan bum, lahirlah istilah fikih lintas agama, berdakwah di gereja dll.
Sejalan dengan visi yang berada di balik tujuan kaum liberal, mereka
menyuarakan Islam yang bebas. Padahal Islam sebagai agama, hadir sebagai
tutorial hidup manusia agar terarah. Bila umat manusia menjunjung kebebasan,
kemudian untuk apa agama diwahyukan? apa maksud diutusnya nabi dan rasul? Agama
yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW ini menjunjung tinggi logika, berpikir dan bernalar. Bahkan, agama bukan lagi sebagai doktrin, tapi juga ilmu. Akan tetapi
sebagai manusia yang jangkauan berpikirnya dibatasi oleh kemampuan
logikanya masing-masing, diberikan batasan kebebasan agar tidak kebablasan.
Sehingga kebebasan yang dimiliki, memberi maslahah dan tidak bedampak menjadi
masalah. Sebagaimana kasus di atas. analogi ringan yang dapat kami tawarkan
dalam tulisan ini adalah bagaimana mungkin semarak keseruan Sepak Bola dalam Asian Games
2018 dapat tersaji dengan baik, tanpa adanya wasit yang mengatur
jalannya pertandingan selama kurang lebih Sembilan puluh menit, mengawasi
pemain agar sportifitas tetap terjaga. Dapat
kita bayangkan sekiranya pertandingan sepak bola yang berjalan tanpa
aturan. Demikian pula dengan setiap agama, ia datang bukan untuk menghalangi
dan mengukung kebebasan setiap pemeluknya, melainkan dengan aturan syariat yang
ditetapkan, hidup para penganutnya menjadi terarah.
Dari sini, bahaya liberalisme beragama merupakan keniscayaan. Ia dapat
merusak tatanan agama Islam yang sudah baku. Sehingga umat muslim perlu
membangun benteng yang kokoh supaya tidak mudah disusupi dengan pemahaman
tersebut. Atau
bahkan mampu membalikkan pemahaman liberal dengan tawaran pemikiran baru yang
bersumber dari Islam.