e-WawasanOpini

Reaktualisasi Tudang Sipulung


Oleh
: Muhammad Fadli Syah

Interaksi antar individu atau kelompok adalah hal yang
niscaya dilakukan oleh setiap orang. Mulai dari membincang
hal remeh hingga persoalan gajah adalah hal yang lumrah dalam berinteraksi. Bila
dulu interaksi menghendaki tatap muka antara pihak yang terlibat, di zaman ini interaksi
menjadi lebug mudah. Seseorang dapat terhubung satu sama lain dari tempat  yang berjauhan dengan media sosial. Semisal Facebook,
Twitter, Instagram,
dan lain sebagainya. Ia telah menjadi tempat interaksi
manusia modern alias ruang public.
Dengan ruang publik seabagai media interaksi
masyarakat, berabagai persoalan dapat disinggung, diangkat pun diselesaikan.
Namun begitu, bentuk ruang publik memiliki beraneka sebutan juga bentuk.
Bergantung pada domisili dan kemajuan teknologinya.
Ruang
Publik
Sebelumnya, dalam
perkembangannya, ruang publik terbagi menjadi dua dimensi. Dimensi pertama
sebagaimana dikemukakan oleh filsuf Inggris Ruger Scruton, yaitu ruang publik (public
space
) sebagai
tempat berkumpulnya orang-orang dan di dalamnya berlaku norma-norma tertentu. Dimensi kedua yang merupakan sebuah teori dari
filsuf Jerman J
ürgen Habermas, yaitu uang
publik (public sphere) sebagai realitas kehidupan sosial yang di
dalamnya terjadi proses pertukaran informasi dari berbagai pandangan mengenai
suatu pokok persoalan umu
m. Dari
prosestadi
, akan tercipta pendapat umum.
J
ürgen Habermas dianggap sebagai pencetus utama
teori ruang publik. Dia memperkenalkan teorinya 
melalui bukunya yang berjudul Strukturwandel der Öffentlichkeit;
Untersuchungen zu einer Kategorie der Bürgerlichen Gesellschaft
. Buku ini
terbit dalam bahasa Inggis berjudul The Structural Transformation of the
Public Sphere; an inquiry into a category of Bourgeois Society
. Dia
mengatakan bahwa ruang publik di Inggris dan Prancis sudah ada sejak abad 18
Masehi. Pada zaman tersebut, orang-orang biasa berkumpul di warung-warung kopi
(coffe houses) untuk berdiskusi mengenai buku atau karya seni.
Pembahasan mereka bahkan melebar sampai pembahasan mengenai politik dan
ekonomi. Sedangkan di Prancis, percakapan seperti ini terjadi di salon-salon.
Konsep
ranah publik yang diangkat oleh Habermas ini adalah ruang bagi diskusi kritis,
dan terbuka bagi semua orang. Hasil dari diskusi forum ini akan terbentuk suatu
opini publik yang berfungsi menanggapi atau mengawasi pemerintahan. Menurut
Habermas, dengan adanya proses pertukaran informasi seperti ini di kalangan
masyarakat, akan tercipta masyarakat madani yang suka berbagi
informasi tanpa paksaan. Di sisi
lain, miskinnya ruang publik yang dapat menampung berbagai aktivitas bersama
dikawatirkan terjadinya berbagai masalah sosial kemasyarakatan
sebagai akibat kurangnya
kebersamaan dan sosialisasi antar

warga. Masyarakat tidak lagi memiliki ruang bersama untuk saling
berinteraksi. Sehingga, budaya kebersamaan dan toleransi semakin terkikis.
Habermas optimistis jika ruang publik dapat dihidupkan kembali. Namun, beliau
menyadari bahwa ruang publik yang ideal akan tercipta jika semua orang mengakui
persamaan sosial dan setiap orang dibekali dengan kapasitas wacana.
Pada dasarnya, setiap tempat memiliki media
interaksinya masing-masing. Seperti di Prancis yang telah disinggung di atas
semsial. Pun termasuk suku Bugis di Sulawesi. Mereka memiliki raung publik yang
disebut denganTudang Sipulung. Media mendiskuikan dan menyelesaikan
berbagai persoalan yang dihadapi oleh masyarakatnya.
Ruang
Publik dalam Tradisi Bugis Makassar
Tudang
Sipulung
hingga kini masih bisa kita temui di beberapa daerah
di Sulawesi Selatan. Masyarakat Sulawesi Selatan, sebagaimana daerah lainnya di
Indonesia kini telah menggunakan sistem pemerintahan modern. Namun,
masyarakatnya sebagai keturunan Bugis, tidak dapat terlepas dari nilai-nilai
filosofis dan adat tradisionalnya.
Kata
tudang berarti duduk dan sipulung berarti berkumpul bersama.
Secara konseptual, Tudang Sipulung merupakan ruang bagi masyarakat untuk
menyuarakan aspirasi-aspirasi mereka dan juga tempat untuk menyelesaikan
masalah yang dihadapi, sehingga diperoleh kata mufakat. Tudang Sipulung
menjadi tempat mediasi antara kepentingan publik dan pemerintah. Inilah yang
dianggap oleh Habermas sebagai representasi ruang publik politis (political
public sphere
) pada abad 18 di Eropa, yang telah dilakukan pada masa-masa
kerajaan di Sulawesi Selatan.
Di
dalam
Lontara’
La Toa (naskah klasik suku Bugis Makassar)
dijelaskan bahwa ketika kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan mulai bermunculan
pada abad ke-14 M, To Manurung (manusia yang turun dari langit)
mengadakan Tudang Sipulung dengan para pemimpin kaum untuk membahas
mengenai seluruh dasar-dasar pelaksanaan pemerintahan Bugis Makassar. Pertemuan
antara raja dan rakyat juga diadakan untuk membahas masalah bersama, konflik
tertentu, atau untuk menetapkan rencana. Tudang Sipulung mengenai
pertanian yang masih berlangsung sejak abad ke-17 M sampai sekarang terdapat di
daerah Sidrap. Tudang Sipulung pada abad ke-17 di Sidrap dipimpin
langsung oleh Nenek Mallomo (
penasehat
kerajaan Sidenreng).
Masuknya agama Islam di Sulawesi Selatan tida
k menghapus adat Bugis Makassar. Islam bahkan menjadi
pelengkap sistem adat normatif Bugis Makassar yang disebut dengan pang
ngadereng.
Nilai sistem pang
ngadereng
dilandasi dengan siri’ (malu; sebuah sikap yang bermakna positif).
Sebagaimana yang dijelaskan oleh pakar antropolog Bugis Makassar, Prof.
Mattulada,
bahwa
unsur-unsur sistem adat normatif Bugis Makassar yaitu ade’ (adat),
bicara’
(pertimbangan atau penafsiran hukum), rapang (hukum perdata),
wari
(hukum pewarisan), dan dilengkapi dengan sara’ (agama).
Tudang Sipulung Sebagai Solusi
 Tudang Sipulung menjadi solusi bagi
masyarakat dalam me
ngkritisi
masalah penyelenggaraan pemerintahan (kekuasaan). Pelaksanaannya dipimpin
langsung oleh
Matoa
(orang yang dituakan menurut adat) dan seluruh hadirin harus menyampaikan
pendapatnya, meskipun pendapatnya sama dengan orang lain. Tudang Sipulung
berlangsung secara kritis dan rasional karena dilandasi oleh nilai-nilai
komunikasi ideal seperti ada’ tongeng (perkataan jujur), lempu’
(perbuatan lurus/jujur), getteng (keteguhan pada kebenaran), dan sipakatau’
(saling menghargai), yang berdasarkan pada nilai-nilai pan
gngadereng
(adat istiadat) sebagai sumber nilai/hukum masyarakat dan pemerintah.
Nilai-nilai ini akan menjadi roh dalam setiap pelaksanaan adat Bugis Makassar,
utamanya yang berkaitan dengan ruang publik.
Interaksi
yang dilakukan masyarakat satu sama lain tidak jarang menimbulkan masalah kecil
atau besar. Ruang publik yang baik adalah ruang yang dapat memediasi dan
menyalurkan aspirasi masyarakat. Ruang publik yang tersedia sekarang ini
semata-mata hanyalah tempat berkumpulnya masyarakat, belum bisa menjadi tempat
mediasi penyelesaian masalah bersama. Dan juga, ruang publik dewasi ini sudah
dipengaruhi oleh globalisasi secara signifikan. Maka, ada baiknya kita
mempertimbangkan Tudang Sipulung sebagai sarana mediasi untuk memperoleh
solusi permasalahan masyarakat.
Masyarakat
dan pemerintah kabupaten Sidrap setiap tahun melaksanakan Tudang Sipulung,
khususnya masalah pertanian.  Begitu juga
dengan masyarakat dan
pemerintah kabupaten
Luwu. Kedua daerah ini menjadi lumbung padi Indonesia bagian timur. Hal ini
salah satunya karena perencanaan dan pemberian solusi mengenai pertanian
dimediasi melalui Tudang Sipulung. Organisasi Kemahasiswaan seperti HMJ
Fisika UIN Alauddin Makassar dan
lembaga
negara yaitu
Komisi Yudisial Sulawesi Selatan juga tidak lupa melaksanakan
Tudang Sipulung dengan alasan esensi yang ada di dalamnya, utamanya
silaturahmi
dan musyawarah.
Dalam
konteks masa kini, Tudang Sipulung bisa disesuaikan dengan kondisi,
tanpa menghilangkan esensi Tudang Sipulung itu sendiri. Aktualisasi
kearifan lokal bukan hanya untuk meningkatkan nasionalisme dan menjadi filter
terhadap perkembangan zaman. Namun, aktualisasi kearifan lokal juga untuk
meningkatkan kesadaran bahwa nilai-nilai adat terdahulu juga mengandung  solusi permasalahan masa kini.

Artikel Terkait