Uncategorized

Aktualisasi Nilai-Nilai Kesantrian Warga KKS


          Oleh : Muhammad Fadly Syah
Anggota
KKS 
adalah
orang yang bermukim di wilayah timur Indonesia, meliputi Sulawesi, Maluku, dan
Papua, atau keturunan suku-suku dari Indonesia Timur
, yang sekarang ini
menetap di Mesir.
Sebagian
besar
anggota KKS merupakan alumni
pondok pesantren di Sulawesi, Maluku, Papua, dan beberapa pondok pesantren di
luar Indonesia Timur. Ada juga beberapa
anggota yang bukan lulusan pondok pesantren, tetapi telah
mempelajari ilmu-ilmu Islam sebelum berangkat ke Mesir. Intinya, anggota KKS
telah mempelajari
ilmu-ilmu Islam

di Indonesia, baik di pondok pesantren atau tempat lainnya.
Secara sederhana,
santri adalah orang yang mendalami ilmu-ilmu agama di sebuah pondok pesantren.
Hal ini sebagaimana terdapat dalam KBBI. KH. Mustofa Bisri atau Gus Mus
mengatakan bahwa santri bukan yang mondok saja. Menurut beliau, siapapun
yang berakhlak seperti santri, maka dia adalah santri. Maka, kata santri
memiliki dua makna. Makna pertama yaitu orang yang mendalami ilmu-ilmu agama di
pesantren atau istilahnya mondok. Makna kedua yaitu orang yang berakhlak
seperti akhlak para santri meskipun tidak mondok.
Jika dilihat dari
sudut pandang sebagai pelajar, maka seorang santri tetap menjadi santri
yang harus tetap belajar meski
telah lulu
s, karena
ilmu tidak mengenal kata selesai. Tugas lainnya setelah lulus adalah menerapkan hal-hal
yang telah dipelajari
di pondok.
KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur mengatakan, “Kebaikan seorang santri tidak
dilihat ketika dia berada di pondok, melainkan ketika dia telah menjadi alumni.
Kamu tinggal buktikan hari ini bahwa kamu adalah santri yang baik.” Seorang
santri harus menjadi teladan bagi orang-orang di sekitarnya. Bagaimana caranya?
Tentu saja dengan cara mengaktualisasikan nilai-nilai kesantrian yang diperoleh
dari pendidikan pesantren. Pertanyaan
nya,
apakah
anggota
KKS yang hampir semua
anggotanya
adalah santri, telah mengaktualisasikan nilai-nilai kesantrian yang didapatinya
?
 Dari aspek pendidikan, anggota KKS tersebar di
berbagai jenjang pendidikan. Warga KKS umumnya merupakan mahasiswa Universitas
Al-Azhar. Sebagian lainnya menempuh pendidikan di Universitas Kairo,
Universitas Liga Arab, dan beberapa lembaga pendidikan lainnya. Mereka berada
di jenjang pendidikan sarjana, magister, dan doktoral. Ada juga tempat belajar
seperti talaqqi, yang berbeda dengan sistem pendidikan di perkuliahan.
Di pesantren, pembelajaran juga terbagi dua, yaitu pembelajaran di kelas secara
formal dan pengajian setelah salat subuh dan magrib.
 Anggota KKS secara umum aktif mengikuti
perkuliahan. Namun, jumlah anggota yang ikut talaqqi  belum begitu banyak. Salah satu faktornya
yaitu ada beberapa orang yang merasa cukup untuk belajar di kuliah saja.
Padahal, Universitas Al-Azhar menggabungkan antara jaami’ (masjid
sebagai tempat talaqqi) dan jaami’ah (universitas). Walaupun
bukan hal yang wajib, tetapi talaqqi sangat dianjurkan karena merupakan
ciri khusus mahasiswa Al-Azhar atau yang menempuh pendidikan di Mesir.
Dalam hal ibadah, para santri di  pesantren melaksanakan hal-hal yang bersifat
wajib serta dianjurkan untuk mengerjakan hal-hal yang sunah. Para santri dengan
tertib melaksanakan hal tersebut dengan pengawasan para ustaz. Ditetapkannya
aturan demikian dengan harapan agar setelah lulus nantinya, tradisi pesantren
tersebut dipertahankan dalam keseharian meski tanpa pengawasan para ustaz, lalu
mengajarkannya kepada masyarakat luas. Pada kenyataannya, kita bisa mendapati
beberapa anggota KKS memegang teguh tradisi pesantren yang berkaitan dengan
ibadah. Namun, jumlah orang yang melaksanakan masih kalah jumlahnya jika  dibandingkan dengan orang-orang yang tidak
lagi mengamalkannya.
 Sedangkan tradisi ini
adalah ibadah yang merupakan penghubung antara hamba dengan Allah Swt..
Dalam lingkup sosial, sebagaimana yang telah dituliskan di
atas, Heterogenitas juga terdapat dalam pondok pesantren. Santri-santri berasal
dari berbagai daerah, suku dan budaya yang berbeda-beda, dan karakteristik yang
berbeda-beda pula.
Dikutip dari situs NU Online,
perbedaan latar belakang
ini memberikan nilai-nilai positif untuk mendidik
karakter para santri.
Di pesantren  juga dipisahkan antara kampus putra dan
kampus putri. Ini bertujuan menghindari interaksi dengan lawan jenis dan menjauhi
hal-hal yang tidak diinginkan.
Para santri di
pesantren harus berinteraksi dengan santri lainnya. Interaksi ini bertujuan
untuk menghilangkan sekat-sekat perbedaan budaya, bahasa, dan
perbedaan-perbedaan lainnya. KKS adalah kekeluargaan yang paling luas
cakupannya diantara kekeluargaan lainnya. Ini adalah keunggulan tersendiri yang
dimiliki oleh KKS. Warga KKS saling berinteraksi satu sama lain tanpa memandang
perbedaan latar belakang. Interaksi yang dilakukan juga mengikis fanatisme
daerah
dan kesukuan yang
tersemat dalam diri seseorang. Pesantren secara implisit mengajarkan para
santri untuk menghargai perbedaan satu sama lain. Dan ini tercermin dalam
interaksi sosial anggota KKS yang majemu
k.
Hal lainnya yang dipertahankan oleh anggota KKS yaitu mereka mampu untuk
meminimalisir pergaulan dengan lawan jenis, sekalipun masih satu kekeluargaan.
 Hal ini
semoga tetap dipertahankan dan bisa menjadi teladan untuk Masisir secara umum.
Nilai-nilai
kesantrian berkisar pada dua hal umum. Yang pertama adalah ibadah atau hubungan
seseorang dengan Allah Swt., dan yang kedua adalah sosial atau hubungan
seseorang dengan orang-orang di sekitarnya. Hal ini sebagaimana yang
dituliskan oleh Abdul Basith selaku pembina
Pesantren Annuqayah,

bahwa nilai-nilai yang diterapkan para santri mencakup  hablun min an-nas atau membentuk
hubungan yang baik dengan masyarakat, sebagai perwujudan luasnya ruang
beribadah kepada Allah Swt. atau hablun min-Allah.
Anggota KKS sebagai
santri harus tetap mengaktualisasikan nilai-nilai santri. Caranya dengan
mengamalkan konsep hablun min-Allah dan hablun min an-nas. Dua
hal ini bisa terlaksana dengan baik jika didahului dan disertai dengan belajar,
baik di kuliah atau talaqqi.
Anggota KKS harus menjadi terdepan dalam hal-hal yang berkaitan dengan
ibadah dan aktifitas sosial. Modernisasi yang berlangsung bukanlah penghalang
untuk mengaktualisasikan nilai-nilai kesantrian. Untuk merealisasikan hal
tersebut, tidak harus secara simbolis dengan menggunakan sarung dan peci
dimanapun dan kapanpun. Intinya adalah aktualisasi nilai-nilai kesantrian yang
bersifat praktis dan bersatu tanpa memandang latar belakang masing-masing.
Apalagi
ditengah pengaruh westernisasi yang sulit terbendung, aktualisasi
nilai-nilai santri bisa menjadi filter untuk mengambil hal baik dan
membuang hal buruk dari westernisasi.

Artikel Terkait

Baca Semua Komentar