Uncategorized

Masisir dan Jiwa Santrinya


Oleh: Nurul Intan Azizah Dien
Masisir
(Mahasiswa Indonesia di Mesir) sekaligus pelajar al-Azhar yang sebagian besar
berlatar belakang pendidikan pondok pesantren di Indonesia sudah pasti seorang
santri. Namun, apakah jiwa santri tersebut masih melekat pada diri mereka?
Dewasa
ini, penggunaan kata ‘santri’ semakin beragam. Ada santri mukim dan santri
kalong, santri tradisional dan santri modern, hingga santri profesi dan santri
kultur. Penamaan ini ditinjau dari berbagai aspek, mulai dari segi metode
pendidikan, tempat tinggal, budaya, dan lain sebagainya. Menurut KBBI, santri
merupakan orang yang mendalami agama Islam; orang yang beribadat dengan
sungguh-sungguh; orang yang saleh. Sejalan dengan hal tersebut, K.H Mustofa
Bisri a.k.a Gus Mus mengatakan bahwasanya yang disebut sebagai santri
adalah setiap orang yang berakhlak santri.
Akhlak
santri tercerminkan dari makna santri itu sendiri, yang menurut K.H. Daud Hendi
(Pengurus Yayasan Ummul Quro) merupakan gabungan dari lima huruf arab: Huruf
pertama yaitu huruf sin, saabiqul khair yang berarti pelopor kebaikan,
huruf kedua yaitu huruf nun, naasibul ulama yang berarti penerus ulama,
huruf ketiga yaitu huruf ta’, taarikul ma’aashi yang mempunyai arti
orang yang meninggalkan maksiat, lalu huruf keempat ra’, ridha Allah yakni
keridhaan Allah, dan terakhir huruf ya’, yaqiin yang berarti keyakinan.
Pada
dasarnya, kegiatan yang ada di lingkungan Masisir tidak jauh berbeda dengan
kegiatan yang dilakukan di pondok pesantren, seperti ngaji  hingga organisasi. Bedanya, kegiatan santri di
pondok pesantren diawasi 24 jam oleh musyrif. Salat lima waktu berjamaah
di masjid, salat tahajud maupun duha, sedekah, dan ngaji
rutin dilaksanakan. Diharapkan dengan adanya pengawasan kegiatan tersebut dapat
menumbuhkan jiwa santri dan kelak menjadi bekal set
elah
t
amat dari pesantren. Sedangkan di luar pesantren,
setiap individu dituntut untuk bertanggungjawab atas dirinya sendiri dalam
melaksanakan kegiatan hariannya.
Berdasarkan
pengamatan sederhana
di lingkungan sekitar, sebagian besar mengatakan masih melakukan rutinitas seperti di
pesantren, seperti salat tahajud, duha, dan salat berjamaah. Begitupun Ngaji
bersama masyayikh, terlihat dari banyaknya Masisir yang hadir saat
pengajian atau talaki berlangsung. Namun, tak menutup kemungkinan bahwa
sebagian lain justru melakukan hal sebaliknya. Masih banyak kita temukan
Masisir yang jarang salat jamaah di masjid, jarang ikut ngaji atau
talaki, bahkan ada yang cenderung melakukan hal-hal yang tidak mencerminkan diri
seorang santri, baik dari segi penampilan ataupun pergaulan. Tugas santri
sebagai saabiqul khair pun terabaikan. Padahal, seorang santri
diharapkan bisa merubah kondisi masyarakatnya; ‘ilman, khuluqan, wa adaban.
Hal demikian sangat
kuat
terjadi lantaran dipengaruhi oleh dua faktor: Internal
dan eksternal. Internal adalah faktor dari dalam diri seseorang. Untuk
mempertahankan predikat santri sejati bisa dimulai dari diri sendiri, dengan
terus bermuhasabah diri dan selalu berusaha mendekatkan diri pada Allah ‘azza
wa jalla.
Hal tersebut sejalan dengan makna yang terkandung dalam huruf
keempat kata santri, yaitu ra’ (Ridha Allah).
Adapun
yang termasuk faktor eksternal adalah lingkungan. Keadaan lingkungan sangat
mempengaruhi prilaku seseorang. Lingkungan kehidupan di Masisir pun beragam.
Hak setiap individu untuk bergabung di salah satu diantaranya. Sebagaimana
sabda Rasulullah Saw, “Perumpaan teman yang baik dan teman yang buruk ibarat
seorang penjual minyak wangi dan seorang pandai besi. Penjual minyak wangi
mungkin akan memberimu minyak wangi, atau engkau bisa membeli minyak wangi
darinya, dan kalaupun tidak, engkau tetap mendapatkan bau harum darinya.
Sedangkan pandai besi, bisa jadi (percikan apinya) mengenai pakaianmu, dan
kalaupun tidak, engkau tetap mendapatkan bau asapnya yang tak sedap.”
(HR.
Bukhari 5534 dan Muslim 2628).
Selain
itu, perlu kiranya untuk selalu mendekatkan diri kepada para masyayikh. Hikmah
dan nasihat yang didapatkan darinya tentu akan sangat berpengaruh dalam
kehidupan, sekaligus mengingatkan akan nasihat-nasihat dan pesan-pesan yang
disampaikan para kiai di pesantren. Hal tersebut tentunya akan membuat predikat
santri melekat di tubuhnya.
Dan
yang tak kalah penting dalam mempertahankan jiwa santri adalah saling
mengingatkan,  menasihati dan merangkul
kembali apabila menemui santri yang mulai melenceng dari koridornya. Jadilah
santri yang berjiwa santri, bukan santri yang bertitel santri.    

   

Artikel Terkait

Baca Semua Komentar