Uncategorized

Syekh Abdul Halim Mahmud Pencetus Reformasi Al-Azhar

Sumber Gambar: (http://www.nu.or.id/o-client/nu_or_id/pictures/post/big/145742780656de955eb7b09.jpg)



Oleh: Muhammad Ibrahim Arfah
Tanggal 12 Mei I9I0 M tepat dengan 1 Jumadil Awwal 1328
H, desa as-Salam, Bilbies, Zaqaziq, Provinsi Kairo, Mesir, menjadi saksi bisu
atas kelahiran seorang anak yang kelak akan 
menjadi imam besar . Terlahir d
ari keluarga yang masih memiliki garis nasab dengan Sayyidunaa
‘Ali bin Abi Thalib ra . Ayah beliau bernama Syekh Mahmud Ali, seorang hakim
desa yang tidak sempat menamatkan studinya di Al-Azhar.

 Dengan semangat dan tekad kuat sang ayah ,
tahun 1923 M beliau kemudian dimasukkan ke

sekolah al-Azhar di
K
airo untuk menimba ilmu, yang akhirnya bisa menghafal al-Qur’an
dan memahami banyak cabang
 ilmu. Waktu itu al-Azhar tidaklah seperti sekarang ini, pada masa beliau
al-Azhar antara masjid dan lembaga pendidikannya masih memiliki ikatan yang
cukup erat satu sama lain, sehingga pembelajaran masih dilakuk
an di masjid.

Dua tahun menuntut ilmu
di al-Azhar Kairo, tahun 1925 M dibangunlah kemudian cabang al-Azhar di
Zaqaziq. Melihat kedekatan beliau dengan kedua orang tuanya juga, akhirnya
beliau diminta kembali dan dipindahkan kesana. Setelah tamat d
ari al-Azhar cabang
Zaqaziq, beliau kembali ke Kairo untuk memperdalam ilmunya kebebarapa masyaikh.
Beberapa tahun kemudian setelah berkhidmah dengan para masyaikh, beliau
berhasil menjadi penerima
 termuda Syahadah al-Alamiyah.
Betapa bangga ayah beliau atas perolehan tersebut, disamping beliau juga telah
menjadi tenaga pengajar yang dicita-citakan ayahnya dulu.

Setelah mendapat kehormatan
dari al-Azhar, Oktober 1932 M beliau kemudian menuju ke Paris tepatnya
Universitas Sorbonne untuk melanjutkan studinya. Beliau senang dengan suasana
Paris karena kebersihan dan sikap penduduknya yang selalu tepat waktu.

Dua hal yang beliau
kenang semasa hidupnya di
Perancis,
pertama adalah adanya pertentangan warga setempat dengan ajaran-ajaran Islam
dan yang kedua adanya penduduk-penduduk Paris sendiri yang memeluk agama Islam,
dua hal yang bertentangan terjadi dalam satu waktu dan tempat. Di
mana kondisi seperti itu tidak
menutup akan timbulnya sebuah masalah. Salah satunya, adanya tindakan dosen
yang kurang berkenan. Tapi beliau tetap maju dan menjadikannya sebuah tantangan
yang harus bisa dilewatinya.

Dengan dibimbing langsung oleh
Louis Messignon, seorang orientalis yang sangat tersohor pada zamannya, beliau
berhasil meraih gelar doktornya
pada tanggal 8 Juni 1940 M dan menyelesaikan tesisnya yang berjudul  “al-Harits bin Asad al-Muhasibi” dalam
ilmu tasawuf, selama dua tahun setelah pembuatan diplomasi resmi al-Azhar
dengan pemerintah Paris tahun 1938 M, beliau juga memperoleh predikat syaraf
(kehormatan), serta karya beliau diterbitkan yang kemuadian diterjemahkan
kedalam bahasa Perancis.

Sekembalinya dari
Perancis, beliau langsung diberi amanah untuk menjadi seorang dosen pada kuliah
bahasa Arab di al-Azhar, kemudian pada tahun 1964 M tepat tahun 1384 H beliau
diamanahi menjadi dekan kuliah. Selang beberapa tahun, beliau kemudian diangkat
menjadi salah satu anggota Majma’ al-Bu’uts al-Islami dan berlanjut lagi
hingga naik sebagai Sekretaris Jendral Majma’ al-Bu’uts al-Islami.
Kemudian pada tahun 1970 M tepat pada tahun 1390 H, beliau mulai menjabat
sebagai Wakil Rektor al-Azhar al-Syarif, 
yang kemudian setelah memegang jabatan sebagai Wakil Rektor, beliau
akhirnya diminta kemudian dipilih dan diangkat untuk menjadi Menteri Perwakafan
Mesir.

Pada masa jabatan
beliau sebagai Menteri Perwakafan Mesir, beliau berhasil mengembalikan harta
yang berhak diperoleh al-Azhar yang telah disalah gunakan dulu.  Dalam langkah pengembalian harta wakaf
tersebut, beliau mulai membangun 1500 masjid yang layak adanya, membentuk
pusat-pusat tahfidzul qur’an diseluruh kota dan provinsi, membuka
perpustakaan siap baca disetiap masjid, 
mengoptimalkan seluruh peran-peran ma’had ibtidaiah dan ma’had
sanawiah al-Azhar, ma’had askariyah (militer) serta ma’had yang
dikhususkan bagi pelajar putri.

Masyhur dengan
ketawadukannya, lagi berilmu luas dengan akal yang jernih ditambah pengalaman
beliau di
Perancis,
membuat cara pikir beliau cukup berbeda dari banyak orang di
dekatnya. Tak lama setelah menjabat
sebagai Menteri Perwakafan Mesir, akhirnya beliau ditunjuk sebagai Grand
Syekh al-Azhar tepat pada tahun 1973 M yang ke-46 setelah Syekh Muhammad
al-Fahham. Beliau juga menggagas sebuah Undang-Undang Negara No. 1098 tahun
1974 demi memperbaiki seluruh kepengurusan al-Azhar, agar terlepas dari
banyaknya tekanan pemerintah, sehingga al-Azhar kembali independen atas segala
urusannya. Menyelesaikan banyak kendala, memberi banyak terobosan baru,
perluasan fakultas ke beberapa daerah, dan mengisi banyak majelis ilmu.

Akhir pengorbanan
beliau demi mengembalikan tanah muslim dari Israel sebagai penasehat presiden
kala itu, Anwar Sadat, juga berbuah manis dengan direbutnya benteng Bar Lev,
mengembalikan baitul maqdis dan hak-hak orang Palestina. Menentang
banyak aliran keras yang merusak akidah, mencetak al-Qur’an al-Karim
dengan menjaga rasmul utsmaani yang hampir saja dicetak salah oleh
Israel serta membangun kekuatan Islam dari berbagai aspek yang berlandaskan al-Qur’an
dan al-Hadits, maka Syekh Abdul Halim Mahmud telah menunaikan
kewajibannya  sebagai seorang Grand
Syekh al-Azhar dengan baik. Selesailah amanat yang harus dipikul beliau seiring
berpulangnya ke rahmatullaah pada tanggal 17 Oktober 1978 M, dan
beliaulah salah satu contoh sebaik-baik manusia yang patut diteladani.
          

Artikel Terkait