Student Dialogue Community (Gambar: dok. Wawasan) |
Zulkifli Syah mengatakan bahwa tahun kemarin, yang bisa datang ke Mesir hanya golongan orang kaya yang punya kemampuan, sementara golongan yang kurang mampu tidak dapat ke Mesir. Menurut Zulkifli, katanya biaya menjadi mahal sebab dilengkapi dengan fasilitas, tetapi faktanya itu malah mempersulit.
Zulkifli juga menyebutkan banyak kecurangan dan pelanggaranyang terjadi, baik dari panitia tes seleksi Calon Mahasiswa Baru (Camaba) ke Mesir, maupun mediator-mediator. Misalnya, pada saat tes wawancara disuruh sampaikan salam dari gurunya, dengan menyebutkan nama gurunya itu sebagai isyarat bahwa Camaba tersebut merupakan anggota mediator.
Aktivis Sosial dan Lingkungan itu juga mengungkapkan beberapa pelanggaran mediator, seperti perihal jatah ke Mesir, itu beberapa sudah mereka bagi-bagikan kepada anak-anak mereka, orang-orang terdekat mereka, dan lain sebagainya, selebihnya baru mereka jual kepada Camaba lain.
“Yang jelas mereka kayak tidak ada manfaatnya. Mereka lulusan Al-Azhar, senior-senior kita di sana. Yang jelas mereka itu cari duit dengan memanfaatkan adik-adiknya, yang seharusnya mempermudahnya, malah mempersulitnya,” tegas Zulkifli.
Selain itu, Ahmad Saiful Millah, Lc., Pembimbing Rumah Syariah Mesir, mengungkapkan banyaknya Mahasiswa Indonesia di Mesir (Masisir) yang tidak lancar berbahasa Arab.
“Ini menjadi masalah serius. Mohon maaf saya menyampaikan ini, banyak di antara Masisir yang tidak bisa baca kitab, ini menjadi problem yang fatal sekali,” tambah Ahmad ketika menyampaikan pendapatnya sebagai salah seorang panelis.
Pernyataan berbeda datang dari Wirdah Fachiroh Fachri, Lc., M.A., Aktivis Pendidikan yang juga salah seorang panelis, “Makanya pantas sekarang banyak masalah, barakah kita hilang. Banyak yang terkena penyakit, banyak skandal, karena itu tadi, niat-niat baik semua elemen yang mau berbuat baik untuk kemajuan Masisir jangan disuuzonin dulu!”
“Maaf saya Direktur Dar el-Fachri, saya sebagai mediator, mungkin sebagian orang berpikir bahwa mediator hanya ngumpulin duit di otak mereka. Ini saya sangat sedih sebenarnya, saya membuat mediator ini sebenarnya bukan untuk bisnis. Alhamdulillah, saya kerja di empat universitas, tapi mediator ini saya buat karena melihat pada masalah sebelumnya adik-adik saya mulai dari kesehatan, ekonomi, (dan) akhlak. Tapi satu sisi kadang niat baik kita itu dianggap lain, yang timbul fitnah tanpa tabayyun (klarifikasi) lagi,” pungkas Wirdah. (Arman)