Cerita Bersambungsastra

Cerita Bersambung: Sang Pencari (Part 1)

 Untuk Apa Semua Ini?

Oleh: Muhammad Said Anwar

Pagi hari yang indah, suara burung-burung terdengar layaknya nyanyian-nyanyian lagi menggambarkan simbol kegembiraan. Angin sepoi-sepoi menyapa bumi, tanaman-tanaman pun menari dengan gembira.

Seperti biasa, pada umumnya pagi adalah waktu beraktivitas meskipun ada sebagian yang tidur. Setiap orang memilih caranya hidup sesuai keinginannya.

Hiduplah seorang anak bernama Faiz. Orang arab ketika mendengar kata “Faiz” maka yang pertama kali mendarat di benaknya adalah “Seorang penakluk”. Namun, kenyataannya terbalik, seorang Faiz-lah yang takluk oleh kenyataan. Ia tak tau ke mana sebenarnya arah hidupnya?

Ia hidup di lingkungan orang-orang yang hidupnya penuh dengan dogma atau bahasa kasarnya tidak berpikir ketika menerima sesuatu. Karena karakternya yang kritis, ia selalu bertanya mengapa? Mengapa? Dan mengapa? Meskipun karakternya yang kritis, itu tidak menjamin dirinya terlepas dari kenyataan yang ironis, yaitu hidup tanpa arah.

Bangunlah Faiz dari tidurnya lalu menatap jam, ia memperbaiki perasaannya karena yang namanya orang baru tidur, pasti tubuh membutuhkan persiapan untuk beraktivitas.

“Untuk apa saya bangun pagi? Apa yang harus saya lakukan? Sekolah pun tidak terlalu bermanfaat”.

Faiz, seorang anak yang sedang duduk di bangku kelas 3 SMP. Sebentar lagi dia akan mengikuti ujian nasional. Meskipun ia malas, selalu datang terlambat, tapi dia ranking satu dikelasnya. Bukan sekali, tapi selalu.

Orang ketika mendapatkan penghargaan atas prestasinya, pasti senang. Beda halnya dengan Faiz ini.

“Saya tau, saya memang memiliki kecerdasan di atas rata-rata. Tapi bukan berarti saya tidak tau diri kalau saya malas. Ilmu memang penting, tapi namanya realisasi itu lebih penting. Sebab sebuah ilmu tak ada manfaatnya kalau pengaplikasiannya tidak ada”.

Sekolahnya terlalu mendewakan sebuah makhluk yang bernama “nilai”. Pokoknya ada nilai, di sanalah yang namanya kemuliaan tampak, seakan manusia tanpa dosa. Faiz menyadari dirinya yang malas, mengapa dirinya harus ranking satu? Mengapa bukan saja temannya yang memang bersungguh-sungguh belajar, pengaplikasiannya ada, dan pastinya bermanfaat bagi banyak orang.

Sekali lagi, jiwa kritis Faiz tidak menerima kenyataan yang tidak masuk akal itu.

“Apakah kemuliaan hanya pada ilmu saja? Tidak pada aksi?” Kata Faiz dalam hati yang matanya masih bengkak baru bangun.

“Ah, Sudahlah saya tidak punya kekuasaan. Kalaupun saya bersuara, apakah saya didengar?” Kata Faiz lagi yang baru bangun.

Faiz, memang selalu bertanya kepada dirinya. Ia kesal saat bertanya kepada orang, jawabannya selalu tidak memuaskan, kalau bukan “Pokoknya kamu ikuti saja! Jangan banyak tanya” atau “Memangnya itu salah?! Banyak orang kok yang mengikutinya. Kenapa malahan kamu yang pusing?!”.

Namanya anak muda, tidak suka dibentak. Darah yang masih panas, akal yang kritis, dan jiwa yang berontak ada pada diri seorang remaja. Faiz ini tidak salah dalam bertanya, yang salah ketika pertanyaan seseorang dijawab tapi disertai dengan menyerang personalnya. Ini tidak baik. Tentunya tidak ada orang yang menyukainya.

“Apakah saya harus ke sekolah lagi?” Tanya Faiz kepada dirinya yang masih melamun baru bangun.

“Faiz! Bangun woy, kau telat nanti ke sekolah! Ini sudah setengah 7. Kamu masuk jam 7 kan?”. Teriak kakak Faiz yang ada di ruang makan.

“Iya, Tunggu.. Aku sudah bangun kok”. Kata Faiz.

Faiz masuk ke kamar mandi untuk mencuci mukanya, lalu makan. Kebiasaan Faiz selalu berbeda dari keluarganya. Kalau keluarganya mandi lalu makan, maka Faiz makan dulu lalu mandi.

Faiz pun datang ke Dapur untuk makan bersama keluarganya. Lalu ayah Faiz bertanya dengan maksud mengingatkan:

“Sudah shalat shubuh?”. Kata ayahnya Faiz.

“Hmm, belum sih. Saya shalat dulu kalau begitu” kata Faiz.

Selesai shalat Faiz pun datang ke meja makan, lalu makan bersama keluarganya. Rangga, kakak Faiz heran melihat Faiz yang akhir-akhir ini suka melamun, sendirian, dan kurang seni dalam hidupnya.

“Faiz? Melamun lagi?” Kata kakaknya dengan ekspresi yang heran.

“Lebih tepatnya, saya sedang berpikir”. Kata Faiz.

“Oh, mikirin cewek?” Kata kakaknya dengan ekspresi disertai senyum licik.

“Hehe, nggaklah mana saya punya cewek. Saya orangnya suka menyendiri, dingin, dan cuek. Mana ada perempuan mau dekat dengan saya?” Kata Faiz dengan wajah yang agak tegang.

“Lah, santai aja Faiz hehe cuman bercanda kok. Kalau gak ada, ya sudah. Makan cepat, kamu nanti terlambat ke sekolah”. Kata kakaknya.

Faiz, semenjak duduk di kelas 3 SMP, dirinya yang friendly itu, berubah menjadi dingin, cuek, dan menyendiri. Padahal ketika dia kelas 2 SMP, banyak teman, selalu bergaul. Bahkan tempat-tempat bergaulnya tidak sedikit.

Jam penunjukkan 07:45. Faizpun mempercepat semua aktivitasnya. Dan Faiz pun berangkat ke sekolah bersama dengan pertanyaan yang bersemanyam di akalnya.

Yang menjadi pertanyaan, Apa yang membuatnya menjadi orang dingin, cuek, dan penyendiri?

Bersambung…

Artikel Terkait