MasisirNasional

Kecacatan Omnibus Law dalam Pandangan Masisir

Acara Hari Diskusi (Gambar: Dok. Wawasan)

Wawasan, Kairo—“Omnibus Law ini ibaratnya
sebuah kapal yang mana apabila ada kebocoran di dalamnya maka kapal tersebut
tidak boleh berlayar, karena apabila dilanjutkan berlayar maka akan
menenggelamkan orang yang ada di kapal tersebut” tutur Muhammad Aufa Rahman
dalam acara Hari Diskusi (Hardisk) yang bertemakan “Omnibus Law Untung atau Buntung?” Ahad, (1/11).

Seperti yang dilansir melalui laman Tempo.co, Dewan
Perwakilan Rakya (DPR) mengesahkan Rancangan Undang-undang atau RUU Cipta Kerja
dalam sidang paripurna, Senin, (5/10). Pengesahan yang dilakukan pada dini hari
tersebut mendapat banyak penolakan dari berbagai kalangan, hal ini ditandai
dengan unjuk rasa menolak Omnibus Law Undang-undang Cipta Kerja yang terjadi
serempak pada Kamis, (8/10) di sejumlah kota di Indonesia. Tidak berakhir di
situ, pada 28 Oktober kemarin, massa kembali melakukan aksi penolakan UU Cipta
Kerja yang sekaligus sebagai hari memperingati Sumpah Pemuda.

Melihat polemik yang terjadi di Indonesia
tersebut, sebagai Mahasiswa Indonesia di Mesir (Masisir) maka Organisasi Perwakilan
Pelajar Islam Indonesia
(Pwk PII)
Republik Arab Mesir mengadakan kajian yang membahas Omnibus Law
dengan judul “Omnibus Law Untung atau Buntung?” Adanya acara ini menurut
PII, adalah untuk membuka cakrawala wawasan kita, bahwasanya tidak serta-merta
ketika mendengar isu langsung kita demo.

Pamflet Kegiatan (Gambar: Dok. Pwk PII Mesir) 


Sebagaimana kutipan di awal, Muhammad Aufa
kembali melanjutkan dalam penuturannya, “Secara teoritis, dalam usul fikih dibahas,
‘menghindari kemudaratan itu lebih diutamakan daripada mengambil maslahatnya’
yang mana kita lihat dalam rancangan Omnibus Law ini, walaupun pasal-pasal yang
memiliki mudarat itu sedikit, namun kemudaratan yang ditimbulkan
kedepannya itu lebih besar daripada maslahat yang ditimbulkan.”

Menurut Muhammad Ghifari yang juga kontra
terhadap Omnibus Law dalam diskusi tersebut, setidaknya ada tiga alasan kenapa
Omnibusw Law ini dianggap cacat. Pertama, Omnibus Law berpotensi
mengabaikan ketentuan formal pembentukan undang-undang
. Kedua, Omnibus Law mempersempit keterbukaan dan partisipasi
publik dalam pembentukan undang-undang
. Ketiga, Omnibus Law bisa menambah beban
regulasi jika gagal diterapkan.

Berdasarkan tulisan yang dibuat oleh Muhammad Aufa,
Muhammad Ghifari, dan Nadya Rahma, dari awal, semenjak Omnibus Law UU Ciptaker
ini disahkan pun telah ada ketidakjelasan di dalamnya, bahwa RUU Ciptaker yang
beredar di publik ini mengalami 6 kali revisi dengan berbagai jumlah halaman
yang berbeda. “
Lalu kemarin yang disahkan pada jam 1 malam itu yang mana? Terbukti dari
sini ada yang bermasalah, ada yang disembunyikan” ungkap Ghifari.

Ghifari menambahkan, hal ini diperkuat dengan adanya inkonsistensi klaster pendidikan dalam
RUU tersebut, yang mana setelah ada respon dari masyarakat, klaster pendidikan
ini hilang lagi dalam draf terbaru yang diterima NU dan Muhammadiyah di Istana.
apabila diajukan banding, kita yang salah. Karena asas yang dipakai dalam hukum
ini adalah nullum dilectum nulla poena sine praevia lege poenali  (tidak ada tindak pidana [delik], tidak ada
hukuman tanpa [didasari] peraturan yang mendahuluinya) jadi sebagai mahasiswa
atau akademisi, dalam hal pendidikan terhadap UU Ciptaker ini tidak bisa komen.

Pada intinya RUU Ciptaker ini sebenarnya
adalah upaya besar-besaran untuk masa depan Indonesia yang lebih maju. Tapi sayangnya
narasi yang seperti ini menurut Nadya Rahma selaku pembicara di diskusi
tersebut, justru pada realitasnya berbanding terbalik dari apa yang digaungkan
pemerintah, karena berdasarkan data yang telah dikaji, Omnibus Law ini bukannya
mensejahterakan rakyat, tapi malah sebaliknya.
(Azhar)

Artikel Terkait