Tradisi Talude (Gambar: id.wikipedia.org) |
Oleh: Fikran Datukramat
Budaya adalah peninggalan yang diwariskan oleh nenek
moyang kita, yang harus kita jaga dan kita lestarikan, sehingga budaya tersebut
tidak akan luntur ataupun hilang dari kehidupan kita. Indonesia merupakan
Negara yang terkenal dengan keanekaragaman budayanya. Negara kepulauan yang
terdiri dari 35 provinsi ini memiliki beranekaragam budaya yang berbeda di setiap
daerah. Itulah yang membuktikan bahwa Indonesia kaya akan budaya, seperti yang
kita tahu bahwa Indonesia memiliki beragam suku, mulai dari Sabang sampai Merauke,
setiap suku mempunyai budaya berbeda dengan cirinya yang sangat khas.
Ketika mendengar sebutan Sulawesi
Utara, pasti yang pertama kali terlintas di pikiran kita adalah patung Yesus
tertinggi ke-4 di dunia, yang terletak di puncak perumahan Citraland Manado.
Namun siapa sangka? Ternyata selain itu, ada juga ikon dari segi tradisi
Sulawesi Utara yang menurut saya unik untuk kita bahas, yaitu tradisi Tulude Sangihe.
Tetapi sebelum masuk ke situ, perlu adanya kita ketahui dahulu pengertian dari
tradisi ini.
Tradisi atau kebiasaan (latin:
traditio, “diteruskan”) adalah sesuatu yang telah dilakukan untuk sejak lama
dan menjadi bagian dari kehidupan suatu kelompok masyarakat, biasanya dari
suatu negara, kebudayaan, waktu, atau agama yang sama. Hal yang paling mendasar dari tradisi adalah adanya
informasi yang diteruskan dari generasi ke generasi baik tertulis maupun
(sering) lisan, karena tanpa adanya ini, suatu tradisi dapat punah. (Tradisi,
id.m.wikipedia.org)
Kemudian coba kita telaah apa itu upacara adat Tulude. Upacara adat Tulude merupakan warisan para leluhur
masyarakat Nusa Utara (Kepulauan Sangihe, Talaud, dan Sitaro), Sulawesi Utara.
Telah berabad-abad acara sakral dan religi ini dilakukan oleh masyarakat etnis
Sangihe dan Talaud sehingga tidak bisa dilupakan oleh generasi di sana hingga
kini. Tradisi ini telah terpatri dalam khasanah adat, tradisi, dan budaya masyarakat
Nusa Utara. Bahkan, tradisi budaya ini secara perlahan dan pasti mulai diterima
bukan saja sebagai milik masyarakat Nusa Utara, dalam hal ini Sangihe, Talaud,
dan Sitaro, tetapi telah diterima sebagai suatu tradisi budaya masyarakat
Sulawesi Utara. Hal ini bisa dilihat dari fakta bahwa adanya komunitas
masyarakat etnis Sangihe-Talaud, maka di sana akan ada pula hajatan Tulude.
Kata Tulude atau menulude berasal dari kata suhude yang
dalam bahasa Sangir berarti “tolak”. Secara luas, Tulude berarti menolak untuk
terus bergantung pada masa lalu dan bersiap menyongsong tahun depan. Tulude
diselenggarakan sebagai ucapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
limpahan berkah yang telah diberikan Tuhan selama satu tahun berlalu. Upacara
adat Tulude merupakan wujud ungkapan syukur orang Sangir karena telah diberkati
oleh Sang Pencipta atau dikenal Mawu Ruata Ghenggona Langi (Tuhan Yang
Mahakuasa) ketika memasuki tahun yang baru. Secara historis, upacara adat
Tulude yang pertama dilaksanakan di Manuwo (Salurang) Kecamatan Tabukan Selatan
dalam masa pemerintahan Kulano Manentonau pada permulaan abad ke-16. Upacara
Tulude menghimpun segenap masyarakat untuk berperan dengan membawa makanan.
Oleh karena itu, upacara Tulude ini juga dijuluki “Saliwangu Banua” yang
berarti pesta rakyat makan bersama. (Upacara Tulude, academia.edu)
Tradisi tulude sendiri dalam perkembangannya mengalami
perubahan tatkala masa kolonial berlangsung. Awalnya, upacara adat Tulude
dilaksanakan oleh para leluhur pada setiap tanggal 31 Desember sebagai
penghujung akhir tahun. Pengertian Tulude itu sendiri adalah melepaskan,
meluncurkan, menolak, atau mendorong, dalam hal ini melepaskan tahun yang lama
dan siap menerima tahun yang baru. Dalam tradisi leluhur masyarakat Sangihe dan
Talaud, acara tolak tahun ini diwujudkan dengan upacara di tepi pantai dengan
melepaskan, meluncurkan, atau mendorong sebuah perahu kecil yang terbuat dari
kayu latolang (sejenis kayu yang tumbuh lurus tinggi tak bercabang) dengan
muatan tertentu. Perahu ini oleh tokoh adat didorong, dilepas, atau dihanyutkan
ke laut sebagai simbol, segala sesuatu yang buruk di tahun yang akan lewat
dibuang atau dihanyutkan ke laut agar tidak lagi menimpa warga desa setempat di
tahun yang baru.
Ketika agama Kristen dan Islam masuk ke wilayah Sangihe
dan Talaud pada abad ke-19, upacara adat Tulude ini telah diisi dengan
muatan-muatan ritual agama samawi berupa penginjilan. Kemudian, atas dasar
kesepakatan adat, maka perayaan Tulude dialihkan ke tanggal 31 Januari tahun
berikutnya. Hal ini dilakukan karena umat Kristen di Sangihe dan Talaud
sebelumnya telah disibukkan dengan acara ibadah malam Natal dan Tahun Baru. (budaya-indonesia.org/Upacara-Adat-Tulude)
Akhirnya pada tahun 1995 melalui
temu budaya yang disponsori tokoh adat etnis Sangihe dan juga atas kesepakatan
Pemerintah Kabupaten dan DPRD Sangihe-Talaud disepakati bahwa tanggal 31
Januari merupakan hari besar atau pesta rakyat dalam rangka perayaan Tulude. Selain
karena alasan teknis keagamaan, perayaan Tulude yang dilaksanakan pada 31
Januari juga diadasarkan pada alasan bahwa Kata “Tulude” sendiri mengacu pada
posisi bintang fajar (Kadademahe) yang tegak lurus 90⁰ yang diyakini terjadi
tepat pada pukul 00.00 tanggal 31 Januari setiap tahun, atau nama bulan keempat
di langit menurut perhitungan ilmu astronomi etnis Sangihe. Bulan keempat, yaitu Tulude, menurut dialek masyarakat
Tagulandang disebut “Tuluri”, sedangkan menurut dialek masyarakat Talaud
disebut “Lattu” (Upacara Tulude, academia.edu)
Tradisi Tulude (antarafoto.com) |
Upacara diawali dengan Sasake Pato
yaitu melambangkan beberapa petinggi (pejabat pemerintah, tokoh adat) menaiki
perahu, memimpin perahu yang meluncur dengan berani, meluncur ditengah lautan
yang terombang-ambing gelombang, dan harus mengemudikannya dengan baik, lurus tak
berbelok, menuju Pantai Bahagia. Kemudian
petinggi tersebut turun dari perahu yang disertai sorak sorai, berjalan
diiringi bunyi-bunyian tambur dan tagonggong. Upacara adat ini dihelat melewati
beberapa tahapan. Dua minggu sebelum digelar, seorang tetua adat menyelam ke
dalam lorong bawah laut yang berada di Tahapan Upacara Gunung Banua Wuhu. Tetua
adat ini membawa sepiring nasi putih dan emas yang dipersembahkan kepada Banua
Wuhu yang bersemayam di lorong tersebut. Usai menggelar ritual penyelaman
tersebut, dimulailah rangkaian perhelatan upacara Tulude yang diawali dengan
pembuatan kue adat Tamo di rumah salah seorang tetua adat, sehari sebelum
pelaksanaan.
Di balik semua itu, satu hal yang
membuat saya tertarik dari salah satu ciri khas upacara ini adalah
kue tamo. Kue yang terbuat dari olahan beras ketan yang kemudian dicampur dengan gula merah dan santan lalu dibentuk menonjol keatas seperti nasi tumpeng. Menariknya karena pembuatan kue ini tidak bisa dilakukan oleh semua orang, tetapi harus di
kediaman seorang Mayore Labo, Pemimpin Adat, yang nantinya berhak memotong kue
tersebut. Dan juga Kue Tamo ini memiliki banyak makna yang mendalam. Pertama, sebagai bentuk pernyataan
syukur atas perlindungan Tuhan Semesta Alam pada tahun yang sudah berlalu.
Kedua, permohonan berkat dan kesuksesan untuk tahun baru yang sedang dijalani.
Ketiga, permintaan agar dijauhkan dari penyakit, bencana, dan perselisihan
dalam masyarakat. Tatuwang Tamo adalah
tahap puncak dari prosesi upacara Tulude. Tahapan Tatuwang Tamo diawali dengan
Sasalamate Tamo, yakni rangkaian doa atau ungkapan hikmat atas kue Tamo yang
akan dipotong dan dibagi-bagikan. Pemotongan kue oleh Mayore Labo harus
dilakukan dengan khusuk dan doa-doa yang dipanjatkan menggunakan bahasa adat.
Acara Tulude biasanya disertai
dengan acara kesenian seperti tarian Empat Wayer, Masamper, dan Cakalele.
Tarian Masamper dan Empat Wayer biasanya juga digelar dalam acara pernikahan
dan hari ulang tahun, sedangkan tari Cakalele dilakukan saat menyambut tamu
yang dihormati. Tarian Cakalele juga merupakan tarian perang, penari membawa
parang serta sapu tangan (lenso) yang melambangkan martabat penduduk yang harus
dijaga. Meski tradisi Tulude dan tari-tarian tersebut adalah bukan tradisi asli
Marore melainkan tradisi Sangir, tetapi upaya masyarakat Marore yang juga
adalah keturunan Sangir dalam melestarikan tradisi tersebut patut diapresiasi.
Upacara ini sangat bermakna di tengah upaya mengoptimalkan kearifan lokal untuk
menciptakan rasa kebersamaan. Dengan tetap mempertahankan tradisi tersebut maka
masyarakat telah melakukan pewarisan nilai-nilai atau norma-norma tradisional.
Upaya tersebut merupakan bentuk ketahanan budaya masyarakat Marore di tengah arus
globalisasi dunia.
Upacara Tulude yang digelar oleh
masyarakat Sangihe yang khususnya hidup di Pulau Marore menunjukkan bahwa
Indonesia begitu kaya akan budaya. Di beranda luar negeri ini, nyatanya
kearifan lokal masih terus tumbuh dan lestari. Pergelaran upacara Adat Tulude
ini menjadi salah satu identitas keberagaman budaya dan wadah pemersatu
masyarakat di tengah keterbatasan yang dimilikinya. Dalam melestarikan
peninggalan warisan para leluhur dan sebagai penangkal arus modernisasi dalam
menjaga khazanah kearifan lokal, budaya harus mengakar, dalam menghadapi arus
globalisasi, serta memupuk rasa kebersamaan, kekeluargaan, persaudaraan, dan
juga sebagai aset di bidang pariwisatam. (Tulude manifestasi, seputarsulut.com)
Saya juga sempat tercengang, ternyata
upacara Tulude ini telah dimasukkan ke dalam Pagelaran Budaya Jakarta
Utara yang kemudian digelar di Gor Jakarta Utara di tahun 2018. di sini
terbukti bahwa setiap suku yang berada di Indonesia tidak hanya peduli terhadap
budaya dan adat mereka sendiri, tetapi mereka tetap selalu peduli,
berkontribusi dan menghormati satu dengan yang lainnya. Tentu ini yang
memperkuat rasa memiliki akan NKRI.
Simpulnya adat tulude merupakan upacara yang sangat sakral yang
ada di Sangihe. Adat ini sudah ada sejak kepulauan Sangihe masih tergabung
dengan kepulauan Talaud. Pada akhirnya upacara ini ditetapkan pada tanggal 31 Januari
sebagai hari lahir Sangihe karena ketika itu diselenggarakannya Perda untuk
penetapan Hari Lahir Sangihe yang sebelumnya upacara adat ini sering
dilaksanakan di penghujung tahun. Dalam upacara adat Tulude akan ditampilkan
seluruh keanekaragaman serta ciri khas dari sangihe mulai dari tarian, makanan,
serta alat musik. Sampai sekarang upacara adat ini masih sering dlaksanakan
oleh generasi ke generasi.