Ilustrasi Pendidikan (Gambar: cendikiakids.wordpress.com) |
Oleh: Ryan Saputra
Indonesia adalah negara yang penuh dengan
sejuta potensi luar biasa. Di masa silam, negeri ini dikenal sebagai bangsa
yang penuh akan corak budaya dan interaksi sosial yang unik, di mana setiap
pelancong luar akan dibuat kagum akan budi pekerti sebagai ciri khas bangsa
kita saat itu. Atas dasar inilah, mindset orang-orang Barat dan Timur
menggambarkan bahwa bangsa Indonesia itu memiliki budi pekerti yang begitu
luhur.
Apa sebenarnya budi pekerti itu? Budi pekerti
memiliki persamaan makna dengan kata akhlâq dalam bahasa Arab, dan etics
dalam bahasa Inggris. Secara umum, budi pekerti berarti sifat batin manusia
yang mempengaruhi segenap pikiran dan perbuatannya. Dari sini dapat kita
ketahui bahwa budi pekerti itu merupakan suatu hal yang hidup beriringan dan
memberi pengaruh yang signifikan terhadap tiap insan.
Mari kita tinjau juga kehidupan di masa
modernisasi saat ini. Kita lihat begitu banyak orang yang penuh prestasi, berbagai
cara dilakukan demi meningkatkan kecerdasan intelektual semata, jenjang
pendidikan telah diraih setinggi-tingginya, dengan tujuan untuk mendapatkan
pekerjaan yang layak dan berbagai kesenangan yang sifatnya material semata.
Jika kita menggali konsep kehidupan di masa modernisasi saat ini secara
mendalam, timbullah sebuah tanda tanya besar dalam benak kita, jika memang
tujuan setiap insan di era ini adalah peningkatan kecerdasan intelektual,
mengapa negeri ini masih belum bisa damai dan tenteram?
Berdasarkan hasil penelitian para ahli jiwa
modern, kecerdasan seorang insan dibagi menjadi tiga kategori, yaitu:
1.
Kecerdasan
Intelektual
Kecerdasan intelektual merupakan kecerdasan
insan yang meliputi kemampuan berpikir, berhitung, bernalar, berimajinasi, dan
mengolah informasi dari sesuatu yang telah ditangkap oleh panca indera.
2.
Kecerdasan
Emosional
Kecerdasan emosional merupakan kecerdasan
insan yang meliputi kemampuan pengendalian emosi, perasaan, kejiwaan,
pengendalian tingkah laku, serta kemampuan untuk melakukan interaksi sosial
dengan sesamanya.
3. Kecerdasan Spiritual
Kecerdasan spiritual merupakan kecerdasan insan yang dapat mengolah
informasi yang bersifat astral (ghâib), kepercayaan dan keyakinan (aqidâh/faith), dan segala sesuatu yang menyangkut
hubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa.
Dari
sini kita dapat menyimpulkan bahwa, budi pekerti menempati posisi yang sangat penting dalam
menentukan kecerdasan setiap insan. Karena jika kita melihat keadaan dunia
pendidikan sekarang ini, khususnya di Indonesia sudah banyak ajaran-ajaran yang
telah merasuki para penerus bangsa, baik itu karena faktor eksternal maupun
dari segi faktor internal. Bahkan, kita tidak menyadari bahwa ajaran-ajaran
yang telah merasuki generasi penerus bangsa ini tidak sesuai dengan budaya
negeri kita.
Padahal
jika kita mengingat sejarah Indonesia dulu, banyak tokoh-tokoh pengajar dan
pendidik yang luar biasa, salah satunya adalah yang kita kenal dengan ‘Bapak
Pendidikan’, yaitu Ki Hajar Dewantara. Sebenarnya apa yang bermasalah dengan
pendidikan nasional yang belum berhasil membangun karakter bangsa sesuai dengan
yang dicantumkan dalam Pancasila, UUD 1945, dan UU No. 20 Tahun 2003?
Jawabannya sederhana saja, karena saat ini orang-orang sedang mengalami krisis
budi pekerti atau kurangnya pendidikan karakter.
Bisa
kita bercermin di negara-negara Barat, di era modernisasi ini bagaimana mereka
mempraktekkan ajaran Islam ke dalam sendi-sendi kehidupan dan interaksi sosial
(muâmalah) yang mereka terapkan, karena mereka percaya dengan budi
pekerti akan mengantarkan seseorang untuk menjadi insan yang cerdas secara
emosional maupun intelektual. Alasan mengapa budi pekerti begitu penting ialah
karena budi pekerti merupakan sebuah fase yang harus kita tempuh terlebih
dahulu untuk mendapatkan kecerdasan intelektual (Buya Hamka, 2018: 44). Budi
pekerti tidaklah hanya sesama insan, namun bagaimana berbudi pekerti kepada
Tuhan Yang Maha Esa dan kepada seluruh ciptaan-Nya selain dari insan itu
sendiri.
Membuat orang untuk berkarakter adalah tugas pendidikan. Esensi pendidikan
adalah membuat manusia dengan sebenar-benarnya manusia, yaitu menjadikan
manusia yang baik dan berkarakter. Ki Hajar Dewantara pernah berkata, “dengan
adanya budi pekerti, tiap-tiap manusia berdiri sebagai manusia merdeka
(berpribadi), yang dapat memerintah atau menguasai diri sendiri. Inilah manusia
beradab dan itulah maksud dan tujuan pendidikan dalam garis besarnya.”
Pendidikan terwujud melalui proses
pembelajaran. Proses pembelajaran ini terjadi tidak hanya sekedar pada tahap
transfer pengetahuan (knowledge) semata,
melainkan juga pada tahap transfer keterampilan (skill) hingga pada tahap transfer nilai-nilai (values), yaitu nilai-nilai kehidupan pada umumnya dan nilai-nilai
spiritual keagamaan. Tahap inilah yang pada akhirnya mengarah kepada
pembentukan karakter (character).
Salah satu mantan presiden Amerika
Serikat, Theodore Roosevelt memiliki pemikiran yang menarik terhadap adanya
pendidikan karakter ini. Ia mengatakan bahwa mendidik seseorang tanpa mendidik karakternya
adalah cara mendidik yang menyebabkan ancaman terhadap lingkungan masyarakat.
Artinya, orang yang cerdas dan memiliki intelegensi yang tinggi, ketika memiliki
karakter yang rendah, justru akan menyebabkan ancaman bagi lingkungan sekitarnya.
Ketika tingkat karakter individu rendah, akan menyebabkan individu tersebut
dapat menimbulkan kerusakan, mereka akan melakukan apapun yang mereka mau tanpa
mempedulikan lingkungan sekitar.
Pendidikan pada akhirnya adalah pembangunan
karakter. Proses pembelajaran yang bermuatan pendidikan karakter itu dapat kita
implementasikan dari ajaran pendidikan yang dikemukakan oleh Ki Hajar Dewantara
melalui Trilogi Pendidikan yang diajarkannya, yaitu tut wuri handayani, ing madya
mangun karsa, ing ngarsa sung tulada. Arti dari semboyan Trilogi Pendidikan
ini adalah:
Tut
Wuri Handayani, (dari belakang, seorang guru harus bisa
memberikan dorongan dan arahan);
Ing Madya Mangun Karsa,
(di tengah atau di antara murid, guru
harus menciptakan prakarsa dan ide); serta
Ing Ngarsa Sung Tulada, (di depan, seorang pendidik harus memberi
teladan atau contoh tindakan yang baik).
Maka dari itu, sangatlah penting bagi
lingkungan sekolah untuk dapat menekankan pendidikan karakter dengan baik dan
efisien, sehingga menghasilkan lulusan yang cerdas, berkeilmuan tinggi, dan
peduli dengan lingkungan. Sudah waktunya guru-guru meninggalkan metode lama
mengajar yang hanya sekadar melaksanakan tuntutan tugas dan mengejar target
kurikulum semata. Guru yang bukan hanya sekedar mengajar, tapi juga dengan
mendidik.
Aktualisasi
ajaran Ki Hajar Dewantara di era globalisasi ini untuk membangun karakter
bangsa, sudah sangat mendesak diterapkan. Kalau itu dilakukan, Indonesia akan
bebas dari predikat negara terkorup, birokrasi terburuk, dan lainnya yang
semuanya itu disebabkan lemahnya sistem pendidikan yang berkarakter budaya
Indonesia. Perlu langkah bersama untuk mewujudkannya sehingga Indonesia berubah
jadi bangsa berkarakter tinggi.
Dari paparan diatas, dapat kita tarik
kesimpulan bahwa karakter merupakan hal yang sangat kita butuhkan untuk
memajukan negara dan membentuk pribadi yang lebih baik lagi. Sebagaimana syair
Syauqi Beq sebagai berikut:
وَإِنَّمَا الْأُمَمُ الْأَخْلَاقُ مَا بَقِيَتْ *
وَإِنْ هُمُّ الْذَّهَبَاتُ أَخْلَاقُهُمْ ذَهَبُهُ
Diterjemahkan
oleh Prof. Dr. Buya Hamka ke dalam sebuah pantun yang berbunyi:
Tegak
rumah karena sendi
Runtuh
sendi rumah binasa
Sendi
bangsa ialah budi
Runtuh
budi runtuhlah bangsa
Selamat Hari Pendidikan
“Serentak
bergerak, wujudkan merdeka belajar.”
Referensi:
Hamka, B. 2016. Lembaga Budi. Jakarta: Republika
Penerbit.
Hamka, B. 2015. Tasawuf Modern. Jakarta: Republika
Penerbit.
Hoetomo M.A. 2005. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Surabaya:
Mitra Belajar.
Wandy, Ringgana. 2021. Pentingnya Guru Menerapkan Pendidikan
Karakter untuk Peserta Didik https://www.ruangguru.com/blog/pentingnya-pendidikan-karakter-untuk-anak
(diakses 1 Mei 2021)