Cerpensastra

Yahweh and Moses

 

(Sekuel: Ehyeh Asyer Ehyeh)

Oleh: Semma

  

Ilustrasi (Gambar: Pinterest.com)

Aku adalah sembahan para iblis

Tempat setan-setan mengadu

Pada titik di mana kalian mendapati yang berbeda
sebenarnya berhubungan

Pada persimpangan di mana yang bisa kalian temukan hanya
jalan yang lurus

Di sanalah kalian akan dapati aku

Sebagai tuhan yang lupa ingatan 

Yahweh duduk
di tempat favoritnya di kafe itu. Pelayan yang biasanya hari itu sedang sakit, digantikan
oleh anak baru yang bahkan tidak tahu bahwa ia datang kemari setiap hari minggu
sore. Mood-nya yang sejak awal sudah berantakan jadi makin rusak karena
harus menjelaskan ulang bagaimana detail kopi yang ia inginkan seraca rinci
pada anak baru itu, dan sialnya setelah penjelasan yang ketiga kalinya, bocah
tengik itu belum paham juga. Maka sebelum  Yahweh mengutuknya menjadi kucing hoki hanya
karena mood yang sedang tidak baik, pada anak ingusan itu ia berkata,

“Bilang saja
pada baristamu, Yahweh datang,” ucapnya disambut anggukan cepat dari si bocah
yang segera berlalu.

***

Ini sudah
kesekian kalinya ia terlambat, pertemuan itu akan kembali dibuka dengan
celotehan tentang kedisiplinan dan sebagainya, baru kemudian wanita itu akan
diam, mendengarkan semua laporan yang harus ia sampaikan pada wanita tersebut.
Sesi laporan itu biasanya berjalan selama 30 menit; 20 menit pertama wanita itu
akan sesekali berdehem, atau mengangguk tanda ia masih fokus memperhatikan,
baru pada 10 menit berikutnya dehemannya berubah jadi menguap dan anggukannya
mulai terlihat terkantuk-kantuk.

Ia sudah
sampai, dan di sanalah wanita itu, dengan tatapan matanya yang tajam seolah
ingin sekali menenggelamkannya bersama Firaun di Laut Merah hanya karena ia
terlambat yang kesekian kalinya.

“Kau
terlambat Moses,” ucap Yahweh ketus.

“Hanya 15
menit, Nona,” jawab Moses setengah takut, menjaga agar dirinya tidak diubah
menjadi asbak Yahweh atau pun dikirim kembali ke dasar laut bersama mayat
tentara Firaun.

***

“Manusia di
zaman ini mulai kurang ajar,” buka Yahweh.

“Sudah mulai
berani mereka mempertanyakan keberadaanku, sudah secerdas apa memangnya manusia
zaman sekarang ini,” lanjutnya.

“Ironisnya
hanya karena mereka tidak dapat mencapai gagasan yang ideal tentangmu, banyak
dari mereka berkesimpulan bahwa kau itu tidak ada,” timpal Moses semangat, ini
adalah sesi paling menyenangkan dalam pertemuan dengan Yahweh, diskusi bebas. Dimana
ia bebas mengeluarkan pendapatnya tanpa takut akan bersanding dengan Mumi Firaun.

“Tidak akan
ada gagasan yang ideal tentangku Moses, semuanya pasti akan memiliki cacat,
mereka itu memalukan, lemah tapi merasa bisa menyimpulkanku sesederhana itu. Bahkan,
hingga akhir zaman nanti manusia masih akan bertengkar apakah aku ada atau
tidak, apakah aku wanita atau pria, apakah aku benar atau tidak, mereka akan
terus mempertengkarkan itu tanpa sadar bahwa hari akhir semakin dekat.”

“Lantas
kapan mereka akan sadar?” tanya Moses kemudian.

“Beberapa
orang sudah menyadari hal itu, kaum-kaum berkepala gundul—yang seumur hidupnya
dihabiskan untuk berpuasa—sudah sejak zaman dulu menyadari betapa lemah dan
tidak layaknya mereka berbicara tentangku. Sayangnya, mereka lebih memilih
bersujud pada ketiadaan daripada aku,” ujar Yahweh santai.

“Manusia
zaman sekarang pun ada yang menyadarinya, entah datang dari kesadaran batin
yang mereka anggap anugerah ataupun perjalanan logika yang berliku. Aku
menyukai seseorang bernama Karen, dia telah menelanjangiku dengan sangat baik;
melihatku dari setiap sisi, tapi ia tidak memperkosaku, ia justru bersujud dan
menerima ketidak sanggupannya terhadapku,” lanjutnya.

“Dia manusia
yang keren, sedikit dari sekian banyak,” Moses mengomentari.

“Tidak hanya
itu, ia bahkan membuat buku tentangku, mencoba menyadarkan semua orang tentang
betapa pentingnya me-Yahweh-kan seorang Yahweh,” timpal Yahweh sembari
mengeluarkan sebuah buku bersampul hitam dari tasnya. Moses mengamati buku itu
lalu mengernyitkan dahi.

“Ini
sejarahmu?” tanya Moses—masih tidak yakin ada manusia yang berusaha sejauh itu
untuk mencari Yahweh.

“Yups, dan
usahanya yang keras itu cukup untuk membuatku jatuh cinta padanya. Belum ada
manusia yang berusaha sekeras dia. Ia patut diacungi jempol,” jawab Yahweh
dengan wajah yang agak memerah.

“Tapi dia
juga membahas El,” Moses mulai berhati-hati kali ini.

Seketika
Yahweh tersentak, nama itu lagi, ia muak mendengarnya. Sedekat apa Karen dengan
El? Itu selalu menjadi pertanyaan dalam benaknya, ia cemburu wanita itu dekat
dengan yang eksistensi lain selain dirinya, dan mengapa harus El?—saingan
terbesar dalam segala hal. Tapi yang sedikit menghiburnya adalah dalam buku
bersampul hitam itu Karen lebih banyak membahas dirinya ketimbang El, dan itu
selalu membuatnya merasa unggul, pun semakin menyukai gadis itu.

Ia sendiri
belum pernah bertemu dengan El, mereka berdua memang bersaing dengan cara yang
tidak biasa, Yahweh tidak pernah bertemu El, begitu juga sebaliknya, namun
sudah menjadi rahasia umum bahwa persaingan keduanya sangatlah sengit, siapa
yang lebih kuat? Siapa yang lebih baik? Siapa yang lebih nyata? Hal-hal itu
selalu menjadi perdebatan yang tidak pernah berakhir oleh para pengikut
keduanya.

“Permisi
Nona, ini pesanan anda, maaf menunggu lama,” tiba-tiba bocah tadi sudah datang
membawa kopi pesanan Yahweh, gadis itu langsung menyambar cangkir kopi itu,
menyeruputnya hingga habis lalu beranjak pergi, bagaimana pun nama El selalu
membuat mood-nya bertambah buruk.

Moses pun
ikut berdiri dan berniat mengejar, namun …

“Paman, maaf
bukunya terjatuh,” suara itu mencegat langkahnya, ia berbalik, mengambil buku
tersebut dari bocah pelayan itu.

“Kau anak
baik, siapa namamu,” tanya Moses.

Dengan
senyum ramah yang manis anak itu menjawab.

“Namaku El.”

 

Artikel Terkait