Al-AzharMasisirOIAAPPMIpusiba

Rangkaian Polemik Maba, Mulai dari Tidak Muqayyad, Hingga yang Jurusannya Nyasar

 

Ilustrasi (Gambar: Sumber hipwee.com)

Seperti yang kita tahu, kedatangan Mahasiswa
baru
tahun 2022
ini melahirkan polemik yang cukup komple
ks di kalangan Mahasiswa Indonesia di Mesir
(Masisir). Mulai dari mepetnya jadwal kedatangan dengan waktu ujian,
permasalahan ijra’at atau daftar ulang kuliah, serta
berbagai problematik lainnya menjadi warna yang menghiasi kedatangan Maba di
tahun ini.

 

Dampak eksplisit dari pemberangkatan Maba yang
terkesan rancu dan kacau ini secara perlahan mulai terlihat seiring dengan
berjalannya waktu. Berbagai keluh kesah, pertanyaan, serta keheranan akhirnya
mulai dilontarkan oleh masyarakat, tak terkecuali Maba itu sendiri. Yang di
mana dengan statusnya yang masih baru di negeri orang, harus ikut nyemplung
dalam lautan permasalahan ini sebagai tokoh utamanya.

 

Berikut beberapa keluhan yang dilontarkan Maba
terkait proses keberangkatan serta kedatangan mereka di tahun 2022 ini.

 

Penetapan
Jadwal Keberangkatan yang Tiba-
Tiba

Rahmadi
Prima selaku Kepala Biro Kesekretariatan (KSK) juga PLT. Wasekjen Persatuan
Pelajar dan Mahasiswa Indonesia (PPMI) Mesir menyebutkan bahwa jadwal
keberangkatan Maba tahun ini yang mepet dengan jadwal ujian menimbulkan begitu
banyak masalah.

 

Salah
satunya adalah masalah ijra’at. Prima menjelaskan bahwa pada dasarnya
status Maba yang datang sebenarnya sudah terdaftar di kantor pusat Al-Azhar.
Namun untuk memperoleh status muqayyad atau izin tinggal
, para Maba harus terdaftar di
fakultas masing-masing di mana untuk itu mereka harus melakukan ijra’at.

 

Masalahnya
adalah kedatangan Maba begitu mepet dengan masa ujian, di mana dengan estimasi
jumlah mereka, waktu yang tersedia, serta ribetnya regulasi untuk ijra’at
sudah sangat tidak mungkin untuk menyelesaikannya.

 

Dilema juga
menghantui para Maba itu sendiri, karena meski sempat ijra’at, mereka
harus menghadapi ujian di depan mata. Padahal status mereka sendiri masih
Mahasiswa yang belum genap sebulan menginjakkan kaki di Mesir. Maka dari itu
dari keterangan Prima, beberapa Maba memutuskan untuk tidak ijra’at.

 

Ketidakinginan
Maba untuk ijra’at ini menurut Prima disebabkan oleh beberapa hal diantaranya
tidak mau
karena tidak siap
untuk mendapatkan status rasib
(red- tinggal tingkat). Dan juga memang ada yang tidak bisa karena
kurangnya beberapa hal serta tidak cukupnya waktu.

 

“Masalahnya
yang enggak ijra’at ini, mereka ini tuh enggak muqayyad, yang
artinya mereka enggak dapat tadarruj dirasi buat ngurus visa, status
mereka selama 6 bulan ini kosong pasti, dan saat mereka mau ngurus visa tahun
depan mereka dipastikan kena garamah (red- denda), nah ini
yang masih jadi pertanyaan, gimana nih solusinya,” ucap PLT. Wasekejen PPMI tersebut.

 

Rasib
Mutamayyiz tapi tetap diberangkatkan?

Hal ini dialami oleh Luthfi di mana kasus ini
pada awalnya terjadi saat namanya ada di ifadah
najah
(red- bukti kelulusan) yang dikeluarkan oleh Pusiba, namun
tidak ada di ifadah najah yang
dikeluarkan oleh Markaz Syekh Zayed.

 

Luthfi menjelaskan, ia dan kawan-kawan
diberitahu oleh pihak Pusiba bahwa keduanya sama saja, namun ammu syu’un (red- pengurus administrasi universitas) tetap tidak mau menerima selain dari ifadah najah yang dikeluarkan oleh Markaz Syekh Zayed. Yang di mana dalam ifadah najah yang dikeluarkan Markaz Syekh Zayed itu nama Luthfi serta beberapa kawannya
tidak ada.

 

Maka pergilah ia melapor langsung ke Markaz Syekh Zayed. Di mana di situlah
ia diberitahu bahwa ia rasib di tingkat mutamayyiz.

 

“Itu kan setiap kenaikan tingkat di tahdid mustawa diperlihatkan nama-nama
yang tidak lulus, nama saya enggak ada sama sekali,” jelas Luthfi yang mengaku
heran mengapa bisa ia masuk dalam kategori rasib di tingkat mutamayyiz, yang artinya belum bisa masuk kuliah.

 

Ia juga mengungkap bahwa yang mengalami kasus
demikian bukan hanya dirinya, melainkan banyak dari Maba yang lain. Bahkan
dalam data yang ada di Markaz Syekh
Zayed
, tidak sedikit Maba yang masih berstatus mutaqaddim tapi diberangkatkan ke Mesir.

 

Setelah mengetahui hal tersebut, Luthfi dan kawan-kawan
yang was-was akhirnya mencoba menghubungi pihak Pusiba. Di mana mereka mengaku
mendapatkan respons yang sangat lambat.

 

Namun, akhirnya setelah penantian yang
diwarnai dengan rasa khawatir dan was-was. Nama-nama yang bermasalah tersebut,
akhirnya terdaftar dalam ifadah najah dari
Markaz Syekh Zayed dengan status nihayah dirasah dan bisa melanjutkan
proses ijra’at-nya.

 

Luthfi sendiri mengaku tidak mendapatkan
penjelasan secara spesifik terkait masalah ini. Yang terpenting baginya adalah proses
ijra’at-nya bisa berjalan lancar dan sesuai dengan prosedur yang telah
ditetapkan. Namun bagi masyarakat awam, adanya kasus seperti ini bisa menjadi tolok
ukur utama perihal keberangkatan Maba yang terkesan rancu dan buru-buru.

 

(Gambar: Sumber dari Egyptianstudentinformation.com)


Ada Maba yang Salah Jurusan

Kasus ini dialami oleh Muhammad Fadhil Syapar,
di mana ia yang awalnya telah mengurus dan mempersiapkan segala keperluan
administrasi dan kesiapan ujiannya untuk jurusan syariah islamiyyah,
namun di detik-detik terakhir dimulainya ujian, ia baru tahu kalau ternyata ia
terdaftar di jurusan Ushuluddin.

 

Fadhil bercerita bahwa ia sempat heran karena
sehari menjelang ujian, raqm julus
(red- nomor mahasiswa)nya belum keluar. Ia pun pergi ke pusat pengurusan administrasi untuk mencari namanya.
Di situlah ia tahu bahwa namanya tidak ada di Syariah Islamiyyah melainkan
di Ushuluddin.

 

Fadhil memang mengakui bahwa awalnya mereka
diminta untuk memilih dua opsi jurusan, saat itu Fadhil memilih jurusan Syariah
Islamiyyah
sebagai jurusan pertama, dan Ushuluddin untuk jurusan
kedua. Namun ia tidak diberitahu di jurusan apa ia terdaftar secara pasti,
sehingga merasa bahwa jurusannya yang pasti adalah jurusan pertama yang ia
pilih.

 

“Sudah enak sekali itu saya pelajari maddah
Syariah termin 1, dari
waktu di Indonesia, ternyata di Ushul namaku,” keluhnya.

 

Sama seperti Luthfi, Fadhil pun menjelaskan
bahwa yang mengalami kasus serupa bukan hanya dirinya. Ia juga menyayangkan
tidak adanya pemberitahuan terkait jurusan mereka yang pasti, sehingga
menyebabkan kebingungan.

 

“Jadi itu kemarin, sebenarnya masih bisa
ijra’at. Tapi kan sudah terlanjur 2 maddah yang sudah diujiankan. Jadi
yah, sama aja, udah terlanjur rasib,

 

Pada akhirnya Fadhil dan beberapa kawan
terpaksa menunggu setahun lagi untuk masuk jurusan yang mereka inginkan. Di
mana ia sendiri menolak untuk meneruskan di Ushuluddin dan memutuskan
untuk
pindah jurusan tahun depan.

 

Hal ini juga dikonfirmasi oleh Prima yang
mengamini bahwa banyak Maba tahun ini yang jurusannya nyasar. Harusnya masuk ke
sini, tapi malah terdaftar di situ.

 

“Penyebab pertama kali Maba tahu bahwa mereka
salah jurusan adalah kasyfu yang menyebar, jadi anak-anak daftarnya a
atau b itu, di kasyfu Indonesianya beda, aku enggak tahu yang di kasyfu
Indonesia itu opsi kedua mereka, bahkan bukan opsi satu ataupun dua gitu,”
ungkapnya.

 

Prima pun juga mengatakan bahkan ada Maba
yang jurusannya nyasar sangat jauh dari jurusan yang umumnya diambil oleh para
Masisir yaitu jurusan jurnalistik.

 

Yang Kita Perjuangkan

Prima juga mengungkapkan bahwa sekarang ini
PPMI melalui Kelompok Kerja (POKJA) sedang memperjuangkan bagaimana agar penerapan
regulasi serta standarisasi Maba untuk kuliah di Al-Azhar ini lebih rapi dan
jelas.

  

“Jadi setidaknya mereka udah bisa baca kitab,
tanpa bingung ini mubtada’ apa
khabar, gitu,” katanya.

 

Menurut Prima sendiri, pengawasan terhadap
kapasitas Maba baik dari segi kualitas maupun kuantitas harus menjadi perhatian
khusus, dengan penetapan standarisasi yang jelas serta ideal dalam menyaring individu
yang menapakkan kakinya untuk menuntut ilmu di Bumi Kinanah ini, agar  memiliki kapabilitias dan siap untuk berjuang
di negeri orang.

 

“Sebab dengan meningkatnya kuantitas dan
menurunnya kualita
s, kasihan nama Azhar, itu aja sih,” tuturnya. (Ichsan Semma)

 

Artikel Terkait