Al-IkhlasAlmamaterEsaiTentang KKS

Nasaruddin Umar, Inspirasi Islam Nusantara, Fleksibilitas, Kreativitas, dan Universalitas Dakwah

         Gaya khas Islam
nusantara yang kita hirup hari ini identik dengan kekayaan akan toleransi dan mudah berbaur dengan beragam kultur budaya,
ini tentunya tak lepas dari beragam perjuangan yang telah jauh waktu ditanam
oleh para tokoh Islam. Pada eranya, model dakwah Walisongo yang sederhana dan
sarat akan pendekatan tasawuf telah terbukti ampuh dan sukses membangun
masyarakat Islam yang moderat. Begitu pun napak tilas sejarah para ulama
pendiri pondok pesantren yang kaya makna dan membekas dalam benak kita, umat Islam Indonesia.

Model Islam seperti ini sangat menjunjung
tinggi nilai-nilai toleransi beragama dan mendapat perhatian khusus di kalangan
penganut Islam di Indonesia. KH. Said Aqil Siraj yang merupakan Ketua Dewan
Eksekutif Nahdatul Ulama (NU) dalam hal ini menggambarkan Islam Nusantara
sebagai Islam yang fleksibel dan tak menghapus budaya lokal. Islam yang tidak
memusuhi tradisi dan tak menghilangkan kultur.

Paham Islam nusantara inilah yang banyak
diadopsi oleh para ulama kontemporer. Salah satu yang gencar dan sering
menerapkannya adalah Prof.Dr. KH. Nasaruddin Umar, MA. Ulama berdarah Sulawesi
yang juga dikenal sebagai penulis aktif yang memecahkan rekor Museum Rekor
Dunia Indonesia (MURI) sebagai penulis artikel terbanyak yaitu enam ribu artikel dalam
kurun waktu lima tahun yang diterbitkan oleh beberapa media nasional.

Prof. Nasaruddin Umar lahir di Ujung-Bone,
Sulawesi Selatan, pada tanggal 23 Juni 1959. Lahir dari keluarga agamis membuat
masa kecilnya sarat akan nilai-nilai filosofis agama. Oleh Alm. H.Andi Muhammad
Umar dan Alm. Hj. Andi Bunga Tungke, ia ditanamkan benih Islam dan semangat
juang yang nantinya mampu menghadirkan wajah baru pada Islam modern. Di tanah
ini pulalah orangtuanya kelak membangun sebuah pondok pesantren yang hari ini
kita kenal dengan nama pondok pesantren Al-Ikhlas yang didirikan pada tanggal
18 September 2000.

1. Rekam jejak Prof. Nasaruddin Umar dan Relevansinya bagi Pemuda
Milenial.

Namanya yang kian dikenal hari ini tentunya
menyimpan kisah perjuangan yang tak kalah menariknya, dari tanah kelahirannya
ia mengembara menuntut ilmu menggunakan sepeda kuno ke pondok pesantren
As’adiyah, Sengkang, yang juga didirikan oleh seorang ulama karismatik bernama KH.
Muhammad As’ad. Setelah menempuh pendidikan agama di sana sampai lulus, ia
melanjutkan studinya ke Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Alauddin Ujung
Pandang dengan mengambil studi Fakultas Syari’ah pada tahun 1980. Berkat
keuletan dan kegigihannya dalam belajar, ia akhirnya lulus dengan menyandang gelar
sebagai sarjana muda dan mahasiswa teladan pada tahun 1984.

 Tak
berhenti sampai di situ, ia melanjutkan studinya pada program pasca-sarjana di
Universitas Islam Negeri(UIN) Alauddin pada tahun 1990. Sama seperti
sebelumnya, ia pun turut menorehkan prestasi dengan mampu lulus tanpa tesis di
tahun 1992, hal yang jarang dicapai oleh mahasiswa kala itu.

Torehan yang ia raih semasa kuliah tidak
membuat semangat dan dirinya merasa puas begitu saja, hal itu terlihat jelas
di tahun berikutnya, di mana pada 1993 ia mendaftarkan diri pada program doktor
di Institut Agama Islam Negeri(IAIN) Syarif Hidayatullah. Selama masa
kedoktoralannya, ia menjadi satu-satunya mahasiswa yang dikirim sebagai utusan
pertukaran pelajar ke Universitas McGill, Montreal,  Kanada(1993-1994), di tahun berikutnya, ia
sekali lagi dijadikan utusan pertukaran pelajar di Negeri Kincir Angin,
Belanda. Tepatnya pada Universitas Leiden(1994-1995), dan sandwich program di
Paris University, Prancis(1995). Ia meraih gelar Doktor (phD) dengan disertasi
yang bertajuk “Perspektif Gender dalam Alquran” yang selain itu ia juga
dinobatkan sebagai lulusan doktoral terbaik pada tahun 1998.

Berbagai prestasi lainnya yang juga pernah ia
torehkan diantaranya menjadi sarjana tamu pada tiga universitas berbeda, ditiga
negara yang berbeda. Shopia University, Tokyo, Jepang (2001). Saos University
of London, Inggris (2001-2002). Dan di Georgetown Univesity, Washington DC, USA
(2003-2004). Prof. Nasaruddin juga merupakan anggota tim penasihat
Inggris-Indonesia yang didirikan oleh mantan perdana menteri Inggris, Tony
Blair.

Salah satu karyanya yang menarik jadi
perbincangan adalah disertasi doktoralnya yang berjudul “Argumen Kesetaraan Gender, Perspektif Alquran”.  Dalam jurnal terkait,
karya Sakdiah Sakdiah. Ia mengungkapkan Prof. Nasaruddin mengangkat tema ini
dilatarbekangi oleh kegelisahan intelektualnya. Melihat ayat-ayat Alquran yang
seringkali dijadikan alat justifikasi paham patriarkisme, paham yang menempatkan
perempuan pada gender kedua dan sebaliknya, menempatkan laki-laki pada titik
sentral dalam hal ritual maupun sosial.

         Menurutnya, masih
terjadi ambiguitas pemahaman apakah gender bersifat nature (kodrat) atau nuture (kontsruksi
sosial). Menanggapi hal itu, Nasaruddin melakukan penelitian terhadap ayat-ayat
Alquran yang membahas tentang relasi antara Laki-laki dan perempuan melalui  analisis tematik (tafsir maudhu’i)
dengan berbagai pendekatan seperti semantik-linguistik, normatif-teologis, dan
sosio-historis. Hasilnya, Alquran tidak secara tegas menyatakan dukungan
terhadap kedua paradigma gender baik nature dan nuture. Secara
garis besar, Alquran mengakui adanya perbedaan antara laki-laki dan perempuan,
tetapi perbedaan itu justru tidak serta merta menguntungkan salah satu pihak
dan memarjinalkan pihak yang lain. Perbedaan nyatanya justru menjadi pendukung
obsesi Alquran terkait dengan kehidupan yang harmonis, seimbang, dan dipenuhi
kebajikan.

         Sepak terjang Prof. Nasaruddin Umar dikancah pendidikan tidak hanya hadir sebagai bahan bacaan
belaka dan dituangkan pada beberapa forum diskusi, tapi juga menjadi pendorong
bagi pemuda zaman milenial untuk terus memupuk benih kesuksesan sejak jauh-jauh
hari. Prof. Nasaruddin adalah replika nyata bagaimana prestasi bukan dijadikan
tujuan utama sehingga menganggap langkah kita sudah berhenti sampai disitu, melainkan
sebagai barometer untuk mengukur seberapa jauh kita melangkah, lalu bersiap untuk
memulai langkah yang baru. Dengan metode
ini, bukan tidak mungkin akan banyak prestasi yang kian menghampiri.

Menjadi intelektual muslim yang ahli di bidang
tafsir, secara implisit menjadi landasannya  sebagai guru besar ilmu tafsir pada
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatulah, Jakarta. Selain sebagai
seorang guru besar, ayah tiga orang anak ini juga adalah seorang Rektor pada
Institut Perguruan Tinggi Ilmu Alquran (PTIQ) Jakarta. Selain sebagai seorang
akademis, Prof Nasarudin yang saat ini menjadi Imam Besar Istiqlal juga dikenal
aktif membawakan berbagai diskusi dan kajian.

Satu hal yang menarik dari Prof. Nasaruddin
Umar yakni metode dakwahnya yang cenderung kepada sisi filosofis ajaran islam
melalui pendekatan tasawuf yang membuat dakwahnya mampu diterima pada banyak
kalangan, model dakwah yang sejalan dengan konsep yang diusung oleh Walisong, serta
kemelekannya terhadap globalisasi menjadikannya satu dari sedikit sosok yang
memandang kefleksibelan dakwah dan kerelevanannya dengan masyarakat merupakan
hal yang tak bisa dipisahkan dalam dakwah itu sendiri.

         Di tengah padatnya
jadwal terbang seorang Prof. Nasaruddin, ia juga dikenal aktif menyisihkan
sebagian waktunya untuk mengunjungi para santrinya yang dengan bangga ia sebut
sebagai “Malaikat-malaikat kecil Allah”. Di setiap kunjungannya, ia menekankan
pentingnya improvisasi pemuda islam dengan pesatnya perkembangan global, demi
terwujudnya generasi islam milenial yang menyatu, berbaur, namun juga tak mudah
lapuk.

2. Kata mereka tentang Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar, MA

Penghargaan MURI (Gambar: dok. Wawasan)

 

 Mahfud MD selaku Menteri Koordinator Bidang
Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) pernah memberikan selayang pandang
terkait Prof.Nasaruddin yang pada saat itu meraih penghargaan Museum
Rekor-Dunia Indonesia (MURI).

“Itu jarang ada di Indonesia. Ulama yang
ngomong saja banyak, yang nulis saja ada. Tapi yang ngomong dan nulis dengan
sama-sama produktif itu sulit ya. Banyak orang yang bisa ngomong, bisa nulis,
tapi enggak seproduktif beliau,” kata Mahfud MD dalam artikel berjudul ”Dihadiri
Sederet Menteri dan Pejabat, Imam Besar Masjid Istiqlal Prof. Dr.KH. Nasaruddin
Umar Luncurkan Buku dan Doa Untuk Bangsa” yang ditulis oleh grid.id.

Dalam lingkungan agama, mantan wakil menteri
agama ini juga aktif sebagai ketua yayasan pondok pesantren Al-Ikhlas Ujung,
Bone, Sulawesi Selatan. Kru Wawasan dalam hal ini menyempatkan waktu untuk
mewawancarai kerabat dekat Prof Nasaruddin di Mesir yang saat ini tengah
menempuh pendidikan di Universitas Al-Azhar Mesir. Ia mengatakan kalau Prof.
Nasaruddin adalah sosok yang sangat memperhatikan pendidikan terkhusus bagi
keluarganya.

“Terlebih kan dulu dia (Prof. Nasaruddin)
membantu orang tuanya sekolahkan adik-adiknya. Sampai-sampai rela tidak nikah
dululah, menunda nikahnya, pokoknya tidak mau menikah karena ada prinsipnya,
kalau tidak salah dia tidak mau menikah sampai sarjana semua adeknya,” Ucapnya
dengan logat khas Sulawesi setelah diwawancarai oleh kru Wawasan via online
pada kamis 15 September 2022.

Hal yang sama juga diungkapkan langsung oleh
Nurul Mutawadhiah yang dalam hal ini adalah murid langsung Prof. Nasaruddin sesaat
sebelum keberangkatannya ke Mesir, Nurul beserta rombongan mendatangi ruang
kerja ketua yayasan pesantren Al-ikhlas, yaitu di masjid Sunda Kelapa untuk mappatabe’ (tradisi
masyarakat Bugis berupa meminta berkah dan doa restu). Ia mengungkapkan kalau Ayahanda Prof sangat menaruh perhatian khusus kepada murid-muridnya. Di tengah
kesibukannya, ia tetap menghadirkan kehangatan dengan memberikan jamuan,
nasihat serta pesan-pesan bijak.

3. Prof. Nasaruddin dan urgensitasnya untuk Milenial

Pada akhirnya, dengan menelusuri napak tilas
sejarah Prof. Nasaruddin Umar akan
menarik kita kembali pada tujuan awal kita sebagai penuntut ilmu bahwa
tidak ada pencapaian yang bergengsi kecuali setelah merasakan jatuh bangunnya
perjuangan.

Ia secara tidak langsung memahamkan kita
kalau dakwah tidak cukup hanya dengan berdiri diatas mimbar, tapi juga dengan
pena yang kemudian dituangkan kedalam kertas sehingga menjadi tulisan yang tak
akan tenggelam termakan zaman. Imam besar masjid Istiqlal ini menitipkan pesan
tersirat untuk generasi islam milenial bahwa ladang dakwah tidak terbatas hanya
pada mengelilingi masjid-masjid dan mengisi kajian-kajian agama, tapi juga
diplomasi antar meja ke meja, kepekaan terhadap media sosial, dan menghasilkan
karya yang nantinya akan memercikkan benih inspirasi ke orang sekitar.

         Oleh: Andi Fakhrur Riza

Editor: Ichsan Semma

Artikel Terkait