Uncategorized

Berdaya Menjaga Martabat Manusia?

Ilustrasi Santri (Gambar: dok. Wawasan)

Oleh: Muhammad Alim Nur

     ”Berdaya
Menjaga Martabat Manusia” merupakan tema Hari Santri Nasional tahun ini.
Menurut saya tema kali ini mengandung makna dan pesan bahwa santri adalah
pribadi yang selalu siap sedia berdiri di garda terdepan untuk mengabdikan
hidupnya untuk bangsa dan negara, serta menjaga martabat kemanusiaan adalah
esensi daripada mengamalkan  Nilai-nilai
agama.

 

     Indonesia
memiliki sejarah tentang bagaimana para laskar santri dan tokoh pesantren
membulatkan tekad dalam melakukan jihad membela tanah air, yang kita kenal
dengan nama Resolusi Jihad. Pondok pesantren saat itu dijadikan sebagai markas
perjuangan. Sebagian besar dari kelompok santri dan rakyat, baik dari kalangan
tua dan muda, mempertaruhkan nyawa untuk kepentingan bangsa dan negara.

 

Lantas apakah tema ini sudah
menggambarkan realita yang sedang terjadi di lingkungan pesantren di negara
kita saat ini? Menurut saya belum, karena masih banyak yang tidak amanah dalam
menjaga martabat manusia, seperti kasus pelecehan seksual yang banyak terjadi
di lingkungan pesantren yang menghebohkan penjuru Indonesia.

 

 Dalam
perkembangannya, esensi Resolusi Jihad telah memudar, menjadi bias, dan bahkan
mengalami distorsi. Pesantren yang harusnya terdepan membela dan menjaga tanah
air, malah
perusak lahir dari rahimnya. Para pembesar pesantren
yang harusnya menanamkan nilai kemanusiaan pada santrinya, justru menjadi aktor
yang melecehkan martabatnya. Menjaga martabat santri sama artinya dengan
menjaga martabat kemanusiaan.

 

Reputasi pesantren tergadaikan akibat kasus kejahatan
yang dilakukan oleh oknum yang melakukan pelecehan seksual berkedok menjalankan
ajaran agama. Jangan sampai khazanah kesucian pesantren tergerus dan tercemari
oleh perilaku oknum pesantren, apalagi jajaran guru atau pimpinannya yang
menjadi oknum. Justru merekalah yang wajib menjaga marwah dan nama baik
pesantren.

 

Penulis melihat bahwa permasalahan yang paling banyak
terjadi di lingkungan pesantren adalah kekerasan seksual terhadap santri,
terutama santriwati. Seperti yang dilakukan oleh anak pengasuh pondok terkenal
yang tidak perlu saya sebutkan namanya dan kas
us pimpinan pesantren yang menghamili beberapa
orang
  santrinya. Mereka melancarkan aksi
bejatnya dengan modus mengamalkan nilai agama. Menurut saya orang seperti ini
harus di bumihanguskan. Mereka terlalu menggembar-gemborkan tentang keesahan
Tuhan, sampai lupa cara memanusiakan manusia.

 

           Pesantren
yang selalu mengedepankan penghormatan kepada pengasuh merupakan bentuk dari power
relation imbalance.
Pada akhirnya santri sering hanya dijadikan sebagai
objek keuntungan, bahkan ironinya sampai menjadi objek pelampiasan nafsu
birahinya. Menurut saya, para pelaku yang seperti ini harus diadili
seadil-adilnya karena menggunakan nama pengasuh atau pembesar sebagai alat
penyalahgunaan kekuasaan. Pembesar pesantren harusnya menjadi pelopor
dan duta penanaman nilai-nilai moral kemanusiaan, bukan malah menjadi
aktor penyebab dekadensi moral.

 

Perlu kita pahami dan tanamkan bahwa bagaimana agama
bukan hanya sekadar ilmu penafsiran atau ilmu pemahaman semata, akan tetapi
juga  sebagai transformasi dari pikiran
Tuhan kepada kehidupan manusia yang mengintegrasikan wawasan keislaman untuk
menegakkan martabat manusia.

 

Dalam kitab Min al-Aqidah ila al-Tsauroh al-Muqodiimat
al-Nadzariah,
karangan Hassan Hanafi, beliau mengatakan bahwa kalimat syahadat
mengandung dua persoalan pokok. Pertama, penafian atau peniadaan. dan yang
Kedua adalah penetapan.

 

Tindakan meniadakaan, seseorang hendaknya membebaskan
manusia dari berbagai bentuk pemaksaan, penganiayaan, otoritarianisme, dan
kekejaman. Tindakan penetapan, di dalamnya diletakkan perasaan yang kokoh terhadap Tuhan dengan prinsip tunggal.

 

Menurut saya, upaya yang dilakukan oleh Hassan Hanafi
mengajarkan kepada kita bahwa dalam kalimat syahadat terkandung nilai
kemanusiaan dan ketuhanan yang dibawa melalui risalah kenabian.

 

Kemanusiaan harus diwujudkan melalui pemenuhan hak
dasar manusia dalam kerangka kehidupan sosial sebagai warga negara dengan adil.
Menjaga martabat kemanusiaan terhadap siapapun dan tanpa tendensi apapun.

 

Dalam lingkungan pesantren misalnya, kemanusiaan di
tempatkan sebagai pemenuhan kebutuhan santri dalam rangka pembentukan kebaikan
bermasyarakat. Secara individu, santri bukanlah pusat realitas karena setiap
individu yang lahir ada dan eksis dalam konteks kemasyarakatan yang menyeru dan
memberikan keteladanan.

  

 Penghormatan
kepada santri dan individu lainnya merupakan bagian dari pemuliaan nilai-nilai
kebaikan yang berjalan beriringan dengan kultur budaya kebangsaan. Kemanusiaan
merupakan senjata bagi pesantren untuk perjuangan santri agar berdaya dan
bermanfaat bagi bangsa dan negara sebagai wujud pengejawantahan nilai-nilai
keislaman

 

Tidak bisa dipungkiri bahwasanya sebuah keniscayaan
tindakan kekerasan asusila dalam lingkungan pesantren itu akan tetap ada, dan
ini hanya dilakukan oleh sebagian kecil dari sekian banyak pesantren di
Indonesia yang tetap menjunjung tinggi harkat dan martabat kemanusiaan pada
santrinya.

 

Untuk menjernihkan opini publik tentang integritas
pesantren dan santri, maka saya menyarankan dan mengajak kepada masyarakat
untuk memperhatikan track record daripada pesantren melalui jalur
informasi yang akurat, dan melihat ulama dan tokoh masyarakat yang terpercaya
dan amanah yang menjadi tauladan bangsa Indonesia.

 

           Maka
sejalan dengan tema Hari Santri Nasional tahun ini, “Berdaya Menjaga Martabat
Manusia” semoga bisa menjadi momentum untuk melahirkan generasi emas, cerdas,
berakhlak mulia dan menjadi role model untuk mencetak manusia yang
berkarakter. Serta menjadi bahan evaluasi bersama agar tidak terlalu fokus pada
pengokohan Tuhan Sampai memarginalkan urusan kemanusiaan, sekian.


Editor: Fakhrur Riza

Artikel Terkait