AGH. Abdurrahman Ambo Dalle |
AGH. Abdurrahman Ambo Dalle, adalah organisator
sekaligus salah satu tokoh pembesar Islam yang lahir lima tahun sebelum
kolonial Belanda mengubah sejarah Sulawesi Selatan. Ulama yang berdarah bangsawan Bugis ini sejak kecil telah bercita-cita untuk menyiarkan
Islam guna menghapus paham animisme yang masih sangat kental di daerahnya. Kedatangan Islam melalui dakwah yang ia
bawakan berhasil mengakomodasi banyak tatanan, nilai dan tradisi, yang mana
ketika Islam datang, Indonesia tidak
kosong dengan kultur budaya.
Siar yang ramah dan tinggi toleransi, menjadikan
dakwah Gurutta Abdurrahman Ambo Dalle berhasil membawa Darud Da’wah Wal Irsyad
sebagai salah satu pusat peradaban ilmu hingga memiliki cabang hampir ke
seluruh penjuru Indonesia Timur. Dalam
sepak terjangnya, semangat dan pengorbanan dalam membangun peradaban serta
pengabdian yang total juga kepemimpinan yang adil menjadi nilai tersendiri,
lekat di jiwa murid dan para pecintanya.
1. Sejarah Perjalanan Hidup Ambo Dalle
Semerbak keindahan memenuhi mata yang memandang. Hamparan
sawah, kicauan burung dan gemercik air juga angin sepoi adalah warna kedamaian
yang terpancar di sebuah kampung bernama Ujung E, tepatnya Kec. Tanasitolo, sekitar
7 km dari Kota Sengkang. Di kampung yang
rancak inilah pada hari Selasa tahun 1900, lahir seorang bayi laki-laki dari pasangan
yang berdarah bangsawan Bugis, Puang Ngati Daeng Patobo dan Puang Candara Dewi.
Bayi kecil ini diberi nama
Ambo Dalle, dalam bahasa bugis Ambo artinya bapak dan Dalle artinya rezeki, dengan
harapan putra tunggalnya itu kelak mendatangkan rezeki yang melimpah. Adapun
nama Abdurrahman didapatkannya ketika berada di jenjang sekolah agama. Lahir di
lingkungan bangsawan, membuat Ambo Dalle
kecil mendapatkan didikan yang baik dan sangat ketat. Jika dilihat dari sikap Puang
Ngati dan Puang Cendara yang tidak memanjakannya, tidak heran jika pada usia tujuh tahun ia sudah menghafal
Alquran dengan baik yang membuatnya populer di kalangan masyarakat dan didatangi banyak anak-anak
untuk belajar mengaji.
Jiwa yang selalu haus ilmu
ditunjukkan Abdurrahman sejak ia dini, terlihat hampir setiap hari ia berangkat
ke Sengkang, Kabupaten Wajo yang berjarak 7 km dari kediamannya untuk mengikuti
pelajaran di sekolah Volk-Scholl, tak hanya itu, ia juga mengambil kursus
bahasa Belanda di HIS (Holland Inlands Scholl). Namun, fokusnya untuk memperoleh pengetahuan
tidak menjadikan ia buta dengan kebutuhan jasmani, di mana waktu luang yang ia
miliki digunakan untuk berolahraga,
yaitu sepak bola. Ia dikenal sebagai pemain yang tangkas, bahkan oleh
teman-temannya ia dijuluki “Si Rusa” karena larinya yang kencang.
Berangkat dari hal ini, bisa kita lihat bahwa
setingkat ulama pun tidak hanya menghabiskan masa mudanya dengan berkutat
dengan buku saja, tapi juga dengan bermain dan olahraga sebagai bentuk perhatian terhadap
kesehatan dan me-refresh otak. Ini pun selaras dengan pepatah Arab yang mengatakan:
عقل السليم في جسم السليم
Lalu, ketika banyak ulama dari Negeri Wajo kembali
dari belajar di Mekah dan membuka pengajian Nahwu, Saraf, Fikih, juga Tafsir, Pemerintah
Kerajaan Wajo merasa senang karena Arung Matoa dan Arung Enneng sangat menyukai
ulama. Itulah sebabnya kerajaan saat itu sering menjadikan mereka sebagai tamu
dan tak jarang mereka tinggal bersama beberapa waktu untuk memberikan
pengajian. Kesempatan itu tentunya tidak dilewatkan oleh Ambo Dalle, dengan menghadiri
halaqah yang dihadirkan oleh para ulama saat itu.
Ambo Dalle
muda melanjutkan pendidikannya dengan merantau ke Makassar di mana sekolah
Syarikat Islam menjadi pilihannya saat
itu. Kemudian pada tahun 1928, ketika Muhammad As’ad Bin Abdul Rasyid Al Bugisy,
seorang Ulama Wajo pulang ke tanah air dan membuka pengajian, bersamaan dengan Ambo Dalle
yang telah kembali ke Sengkang. Disitulah awal kedekatan antara guru dan murid
ini terjalin, setiap kali putra semata wayang Puang Ngati ini mengikuti
pengajian, diam-diam Sang Maha Guru
As’ad sering mengamati.
Ambo Dalle dianggap sebagai murid yang cerdas.
Setiap kali diberi pertanyaan dari berbagai pelajaran yang sifatnya dadakan,
jawabannyalah yang dianggap paling benar. Bahkan ilmunya dianggap setara dengan
gurunya.
”Mulanya saya sekelas dengan Gurutta, tapi beliau
sering naik kelas lebih cepat karena sangat cerdas,” ungkap AGH. M. Abduh
Pabbajah.
Di sisi lain, melalui saran Arung Enneng,
pengajian yang mulanya bersifat halaqah
mulai berkembang dengan dibukanya madrasah, di samping tetap
mempertahankan sistem lama. Dengan tingkatan awaliyah, ibtidaiyah, iddadiyah
dan tsanawiyah yang kemudian bernama Madrasah Arabiyah Islamiyah (MAI). Di
mana Ambo Dalle tak lain yang ditunjuk sebagai pimpinan perguruan.
Sementara itu, kemunculan DDI sendiri dimulai
karena ketertarikan seorang Raja dari Kesultanan Soppeng Riaja, H. M. Yusuf Andi Dagong Petta
Soppeng. Ia juga bermaksud mendirikan perguruan yang sama yang didirikan
Gurutta As’ad karena khawatir dengan keadaan agama rakyatnya. Meskipun sempat mengalami penolakan,
permintaan pada Gurutta As’ad akhirnya diterima. Rabu, 29 Syawal 1357 H atau 21
Desember 1938 M , Ambo Dalle memulai babak baru, pindah ke Mangkoso sebagai
guru utusan sang Ulama Sengkang.
Setelah melalui perjalanan yang panjang, atas kesepakatan sejumlah ulama pendukung MAI di Watang Soppeng, tanggal 7
Februari 1947 terbentuk sebuah organisasi pendidikan, dakwah dan sosial
kemasyarakatan bernama Darud Da’wah Wal Irsyad (DDI), dan Gurutta Ambo
Dalle ditunjuk sebagai ketua bersama Gurutta Abduh Pabbajah. Dengan ini, MAI Mangkoso yang sudah berkembang terintegrasi
dengan organisasi baru itu.
Menebarkan kasih sayang kepada umat dengan
pendekatan serta jihad yang indah melalui jalan dakwah, itulah yang
dilakukan putra tunggal Puang Cendara
dalam menyiarkan Islam. Ambo Dalle yang kerap disapa Gurutta oleh para
santrinya yang artinya guru kita, mengayuh sepedanya 35 km demi mengajar murid-
muridnya dan menemui umatnya untuk berdakwah. Pengabdiannya yang total dan kepemimpinan yang
adil, lekat di jiwa para murid dan pecintanya. Dalam mengayomi dan melayani
umat, Gurutta telah menunjukkan cerminan yang mana sangat diharapkan adanya
pemimpin dan ulama seperti beliau.
2. Diculik DI/TII Selama 8 Tahun.
Piagam
Makalua sebagai konstitusi awal negara Republik Islam Indonesia berisi 11 bab
dan 56 pasal. Salah satu bab itulah yang
menjadi sebab Abdul Qahhar Muzakkar, ketua DI/TII harus merekrut sebanyak
mungkin ulama dan tokoh pendidikan, guna membantunya dalam menjalankan aturan
di tengah masyarakat Darul Islam, yakni bab 11 pasal 56 tentang pelaksanaan hukum syariat Islam. Gurutta Ambo
Dalle adalah salah satu ulama yang sangat dibutuhkan saat itu, sehingga ia
melakukan aksi penculikan untuk mengajak beliau bergabung.
Dilansir dalam tulisan yang berjudul,” Biografi
Pemimpin Pondok Pesantren DDI Mangkoso” yang ditulis oleh Ahmad Rasyid, sebuah
peristiwa yang cukup membekas dalam napak tilas Gurutta. Ketika beliau
bergabung dalam gerakan DI/TII, dimulai
ketika mobil yang ditumpanginya dihadang oleh sekelompok bersenjata pada
perjalanannya dari Pare-Pare ke Makassar. Gurutta diculik bersama dengan para
santri sekaligus sopir yang menyertainya untuk bergabung dengan DI/TII. Penulis
juga menambahkan bahwa menurut sejarawan Anhar Gonggong, tragedi
penculikan ini hanya rekayasa, di mana sebelum penculikan Gurutta telah ada
komunikasi dengan Abdul Qahhar.
Masa penculikan dalam kurung waktu hampir delapan
tahun (1955-1963), ia jadikan peluang untuk berdakwah meski harus
berpindah-pindah. Beberapa lokasi yang beliau tempati menetap dijadikan ladang
untuk menyiarkan Islam, seperti Gattareng Matinggi, Ranteballa, Salo Bulo, Bajo,
Binturu di Luwu, Soro dan Awo di Wajo, Lambai dan Ranteangin di Kolaka Utara, dan Belawae di daerah
Sidrap.
Perlu diketahui bahwa keadaan masyarakat di daerah tersebut saat itu masih buta dengan
paham akidah yang benar. Hal ini menjadi keresahan Gurutta yang membuat ia bertekad
menetap untuk berdakwah di setiap tempat yang ia datangi selama masa
penculikan. Ini sejalan dengan perkataan AGH. Muhammad Faried Wajedy bahwa
Gurutta Abdurrahman Ambo Dalle adalah seorang ulama yang ikhlas, penuh
dedikasi, serta komitmen dalam menyiarkan Islam. “Beliau adalah seolang ulama yang betul-betul
ikhlas. Bahkan ketika diculik masuk hutan, kerjanya hanya berdakwah, mengajar,
berdakwah, mengajar,” tutur Gurutta Faried.
”Kata murid yang ikut dengan beliau di hutan,
kapan kita tiba di suatu tempat, buka kitabmu kita belajar. Nah bayangkan,
delapan tahun tiada gaji tiada amplop,” lanjutnya.
Gurutta Ambo Dalle pun tak pernah kehabisan cara
untuk mewujudkan cita-citanya dalam menyiarkan Islam. Ketika tentara Jepang
menguasai daerah Mangkoso dan tidak mengizinkan kegiatan belajar-mengajar di Madrasah,
Gurutta memindahkan kegiatan belajar tersebut ke masjid dan rumah-rumah guru.
Idenya yang cemerlang membuat tentara Jepang tidak mengetahui hal tersebut,
dengan mengecat pintu dan kaca jendela lalu melakukan kegiatan belajar pada
malam hari.
Semangat juga komitmen seperti inilah yang harus
dihadirkan dalam diri setiap insan, bukan semata-mata untuk umat, pun negara.
Tapi, terlebih dahulu untuk melahirkan diri yang senantiasa optimis pada apa
yang kita cita-citakan. Gurutta dengan berbekal hati yang ikhlas, berkomitmen untuk
terus berdakwah, menjadikan ia
terus optimis dengan apa yang ia cita-citakan.
3. Warisan yang Harus Dimilki
Puluhan bahkan ribuan karya silsilah tentang Gurutta
Abdurrahman Ambo Dalle, tentunya membuka mata kita bahwa keberhasilan dalam
menyiarkan Islam bukan hanya sebatas dengan bercita-cita saja, namun juga
dibuktikan dengan semangat dan aksi yang tak pernah padam pun surut meski
diterpa angin dan tak pernah hilang ditelan usia.
Sikapnya yang punya komitmen yang kuat, semangat,
juga rasa ikhlas adalah warisan beliau yang tentunya sangat perlu dimiliki
dalam diri, khususnya kita para penuntut ilmu. Bagaimana Gurutta begitu
semangat dalam mencari ilmu pengetahuan, lalu dengan ikhlas menebarkannya
dengan cinta yang menjadi dasar Islam pada setiap sisi di mana kakinya berpijak.
Editor: Ichsan Semma