Uncategorized

Kemenag Hanya Penghambat? Pusiba Bukan sebuah solusi

 

Ilustrasi (Gambar:  dok. Wawasan)

Oleh: Muhammad
Alim Nur

(Ketua 1 KKS
Mesir)

 

Dinginnya Kairo
tidak menjadikan niatku surut untuk tetap menyuarakan fakta dan kebenaran yang
tersembunyi. Malam yang begitu sunyi, bintang di langit menjadi kekasih sunyi, dan
bulan akan selalu menjadi doa yang selalu menemani, akan kebenaran yang selalu
tersakiti.

 

Tulisan ini saya
sajikan dengan segelas kopi dan sedikit sentuhan musik yang menari di dalam hati.
Tentang jiwaku muak dengan Pusiba yang tiada hati, yang kerjanya hanya selalu
menyakiti.

 

Saya tertarik
untuk membedah tulisan KH. Imam Jazuli, Lc.,MA, yang berjudul Kemenag Hambat
Studi ke al-Azhar, Pusiba hadir Beri Solusi
. Jika dilihat dari segi kapasitas
dan jam terbang, apalah daya saya masih anak rebahan. Apalagi beliau
Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia di Cirebon. Saya sangat jauh di
bawah beliau. Akan tetapi jika berbicara fakta dan data, saya tidak surut
walaupun hanya dengan terbata-bata. Saya tidak menyerang penulisnya, akan
tetapi saya menyajikan fakta dari isi tulisannya. Argumen harus dibalas dengan
argumen, dan tentunya harus dengan fakta.

 

Masyarakat
Indonesia membutuhkan manajemen Pusiba yang kooperatif, tidak egois, dan tidak
merugikan khususnya Calon Mahasiswa Baru (Camaba) al-Azhar dari Indonesia.
Sampai saat ini, Pusiba belum mengubah kebijakan lama yang sudah tentu
merugikan orang banyak dua tahun terakhir.

 

1. Asal-usul Pusiba

 

Pada tahun 2019
Kemenag menutup ujian seleksi dengan alasan Covid-19, sehingga orang-orang
khawatir kalau di tahun ini tidak ada pengiriman Camaba ke al-Azhar. Dan Pusiba
lahir  beri alternatif bagi Camaba untuk
tetap bisa kuliah di al-Azhar. Lalu apakah Pusiba bisa menjadi solusi? Belum
tentu.  

 

Kebijakan seleksi
Kemenag itu sudah merupakan tugasnya sebagai lembaga negara Republik Indonesia.
Dan kebocoran soal ujian sudah menjadi rahasia umum di negara kita. Soalnya
hanya mirip tetapi tidak sama, itu istilah saya untuk soal ujian Kemenag yang
bersileweran di luar sana.


Kebijakan
Kemenag untuk menutup Seleksi Timur Tengah karena alasan Covid-19 sudah sangat
tepat, mengingat mereka sebagai lembaga negara yang seharusnya menjaga hubungan
bilateral dengan baik, dan ketika memaksakan maka akan berefek pada hubungan
politik negara yang saat itu Mesir juga menetapkan kebijakan lockdown.

 

Camaba yang
lulus dari seleksi Kemenag, harus kembali mengikuti ujian penentuan tahdid
mustawa
(penentuan level) pra-kuliah di Markas Syekh Zayed di Mesir untuk
bisa menyandang status sebagai mahasiswa al-Azhar. 

 

Bukan meragukan
lulusannya sehingga harus ikut seleksi lagi, tetapi itu sudah menjadi regulasi
al-Azhar. Dan ini tidak bisa menjadi tolok ukur untuk menilai bahwa seleksi
Kemenag abal-abal karena lulusannya harus ikut seleksi lagi untuk masuk
al-Azhar. Karena itu sudah menjadi regulasi Kemenag sebagai  sebuah lembaga negara untuk membuka seleksi
dan menyaring yang betul-betul berkompeten dan berkualitas, tidak peduli latar
belakangnya dari pesantren mana.

 

Apakah hadirnya
Pusiba sudah menjadi solusi untuk bisa langsung kuliah di al-Azhar? Justru di
situlah awal mula permasalahannya dimulai.

 

Sebelum
bercerita terlalu jauh, ingin mengupas cikal bakal terbentuknya Pusiba. Kopiku
yang mulai dingin kembali hangat karena panasnya sentuhan problematika
kedatangan Camaba. Mari kita kupas.

 

Pusat Studi
Islam dan Bahasa Arab atau Pusiba Indonesia merupakan satu-satunya cabang
Markas Syekh Zayed yang ada di luar Mesir, dan eksistensinya diakui oleh
al-Azhar. Pusiba diberi mandat untuk mempersiapkan calon mahasiswa baru
al-Azhar di Indonesia, terutama penyiapan kemampuan bahasa Arab. Lantas Pusiba
inisiatif siapa? Kemenag RI.

 

Pada 25 Juni
2016, Menteri Agama RI, Lukman Hakim Syaifuddin berkunjung ke Mesir dan bertemu
Grand Syekh al-Azhar Ahmad Thayyeb dan mengusulkan agar pembinaan dan
pendalaman bahasa Arab di-Azhar dipindahkan ke Indonesia, dan itu disetujui
oleh al-Azhar.


Kemudian Kemenag
memberikan mandat ke Ketua Organisasi Internasional Alumni al-Azhar (OIAA) yang
saat itu dipimpin oleh Prof. Dr. M. Quraish Shihab. Dan barulah pada masa
kepemimpinan TGB. M. Zainul Majdi, Pusiba sudah dimulai, Juni 2019 lalu.

 

Awalnya Kemenag
yang mengusulkan, lalu kemudian diberikan ke OIAA untuk menindaklanjuti, karena
sadar mereka pejabat negara dan kepengurusannya pun terbatas dan bisa jadi ada reshufle
secara tiba-tiba oleh Presiden Republik Indonesia.

 

Lahirlah
Pusiba, sebagai sosok pahlawan kesiangan dengan regulasinya yang bobrok,
hancur, abal-abal, dan merugikan banyak orang. Lalu Kemenag ditikam dari
belakang kalau regulasinya hanya penghambat, seleksinya abal-abal, kualitas
yang lulus seleksi dipertanyakan, dan merugikan banyak orang. Menurut saya ini
sebuah pengkhianatan, dibentuk dan dibesarkan, tapi tak tahu terima kasih. 

 

Jika kualitas
seleksi Kemenag dipertanyakan, saya memberikan usul agar Kemenag mengubah
seleksinya, kembali ke model 2015 lalu. Membuka seleksi perdaerah dan yang
lulus harus mengikuti tes kedua yang diuji langsung oleh duta-duta al-Azhar,
itu mungkin lebih masuk akal. Dan bisa lebih tersaring dan mendapatkan Camaba
yang lebih kompeten dan berkualitas.

 

2. Apakah lulusan
Pusiba layak masuk kampus atau belum?

 

Dapat
dibayangkan, betapa  memprihatinkannya nasib Camaba dua tahun terakhir.
Mereka harus terlambat ijraat di kampus karena regulasi Pusiba yang
tidak jelas. Dan tahun lalu masalah keterlambatan masih bisa dibendung, akan
tetapi tahun ini ombaknya terlalu besar, semua orang sudah angkat tangan. Sejak
kapan rasib menjadi solusi?

 

Apakah
kehadiran Pusiba akan merugikan Camaba al-Azhar dari Indonesia? Tentu tidak.
Publik masih percaya ke Kemenag untuk mengurusi Camaba, karena kinerja OIAA
tidak becus dalam mengelola dan menjadikan Pusiba sebagai solusi dan regulator
yang baik.


Setidaknya ada
beberapa alasan publik masih percaya ke Kemenag. Pertama, membatasi
kuota. Memang al-Azhar tidak membatasi penerimaan mahasiswanya, akan tetapi
sebagai duta  negara Indonesia, Kemenag
harus mengirim Camaba yang betul-betul berkompeten dan berkualitas sehingga
bisa membawa wajah Indonesia di kancah internasional.

 

Kedua, opsi
melanjutkan pendidikan bahasa Arab di Mesir lebih pasti. Semua lulusan seleksi
Kemenag harus mengikuti kembali seleksi  tahdid
mustawa
(penentuan level) di Markas Syekh Zayed. Jika kelas persiapan
pra-kuliah belum selesai, tapi sudah sampai pada level mutaqoddim dan di
sisi lain  ijraat kampus juga
sudah terbuka, maka pihak markas akan memberikan ifadah masyruthoh (bukti
kelulusan bersyarat) untuk segera ijraat di kampus. Akan tetapi dengan
syarat setelah ujian al-Azhar harus kembali menyelesaikan sampai level mutamayyiz.
Ini lebih pasti.

 

Inilah alasan
publik masih percaya ke Kemenag untuk pengurusan dan pemberangkatan Camaba dari
Indonesia.

 

Penulis sendiri
tidak menyarankan Pusiba sebagai alternatif untuk kuliah di al-Azhar, melihat
angka rasib yang sangat tinggi dua tahun belakangan akibat kiriman Camaba
dari Pusiba.

 

Bukan berbicara
tentang layak atau tidak, semua orang berhak dan layak mendapatkan pendidikan
di al-Azhar, akan tetapi regulasi Pusiba yang dikelola oleh OIAA membuat
pendidikan Camaba tidak jelas di Mesir karena keterlambatan pengurusannya.

 

Berangkat dari
kenyataan seperti ini, menurut hemat penulis, Pusiba sudah tidak relevan lagi
untuk ikut ambil bagian, kinerjanya tidak ada yang beres. Kemenag Lebih
pasti, Pak.

 

Artikel Terkait