Cerpensastra

Gawai, Spidol, dan Sebilah Kapak

      

Bocah
itu baru membuka mata ketika iPhone miliknya berdenting
berkali-kaliTerpaksa bangun dari tidurnya. Sesaat kemudian ia
tahu kalau Sang Juragan baru saja mengirim lokasi baru untuk semua
pegawai.

 

Matahari
sempurna menampakkan diri di ujung langit. Menyebarkan cahaya yang menerangi
pagi pertama di bulan suci.

         

“Yesss!”,
soraknya gembira, padahal beleknya masih ada.

         

Aksa
langsung beranjak dari kasur untuk siap-siap berangkat kerja. Sejenak, ia
membuka lemari, matanya berbinar menatap seragam kerjanya yang berbeda.
Bahkan terhitung tak masuk akal jika ingin disebut sebuah seragam. Pekerjaan
itu memang tak membutuhkan kemeja rapi dan celana necis, hanya butuh baju
bolong-bolong penuh noda.

         

Tapi
jangan salah, pakaian jelek itu justru yang menjadi sumber uangnya. Apa pun
yang ia mau, bisa dibeli dengan uang sendiri. Penghasilannya memang besar bukan
main. Apalagi saat bulan puasa, anak itu bahkan biasa dapat tiga juta dalam
sehari. Bulan suci sebagai momen ibadah dan mencari pahala, ia manfaatkan
sebagai jalan lurus untuk jadi kaya.

 

Selain
tidak membutuhkan seragam yang rapi, pekerjaan itu juga hanya perlu keterampilan yang
sepele. Ia mampu membuat uang datang kepadanya walau ia hanya duduk diam saja.
Keterampilan untuk bertingkah seperti tak punya harta dan asa. Atau
berpura-pura terancam mati karena belum makan tiga hari.

 

Di
depan cermin, Aksa mengacak-acak rambutnya yang kering dan bau. Ia sengaja
membuat beberapa goresan halus di kulit agar terlihat seperti luka. Lalu
tiba-tiba ponselnya kembali berbunyi.

 

“Selamat
ya, bro. Lu dapat lahan yang subur”, pesan dari rekan kerjanya.

 

“Citra
Garden, Bro! Siapa yang tidak mau mengemis di jalan masuk perumahan elite itu.
Sebentar lagi gua akan melompat masuk dalam lautan orang kaya,” balas Aksa
bangga kemudian melanjutkan aktivitasnya.

 

Sentuhan
terakhir, ia membalut kakinya dengan perban yang sudah menguning. Menetesinya
dengan obat merah agar terlihat seperti luka berdarah. Lalu mengolesi perban
itu dengan terasi basi untuk mengundang lalat datang mengerumuni. Persis
seperti gelandangan.

***

Beberapa
jam berlalu, banyak sekali mobil bagus yang melintas di depannya. Namun tak ada
satu pun yang berhenti untuk memberi uang atau makanan.

 

“Apaan
ini! Belum cukup 50 ribu. Dasar orang kaya pelit!”, Aksa menyumpah marah. Hari
ini, di tempat yang elite ini, harapannya seperti diludahi.

 

Di
tengah kemarahannya, Aksa melihat ada seorang pria paruh baya yang perlahan
mendekat. Bapak itu memakai topi jerami bundar di kepalanya. Ia tidak berjalan
dengan kaki, melainkan menyeret tubuhnya dengan papan roda. Kedua kakinya
buntung. Melihat peralatan kebun yang terikat di punggungnya, sudah jelas kalau
bapak itu bukan pengemis.

 

“Kamu
baik-baik saja, Nak? Saya baru melihatmu di sini,” bapak itu khawatir melihat
keadaan sang bocah.

 

“Minggu
lalu aku kecelakaan di sekitar sini, Pak, tabrak lari. Sekarang tidak bisa
apa-apa karena kakiku masih sangat sakit. Aku hanya bisa duduk di sini,
mengharap masih ada orang yang peduli,” ucap Aksa berbohong mencari iba.

 

“Kasihan
sekali kamu, Nak. Orang tuamu ke mana, apa mereka tidak mencarimu?” Ia duduk di
samping Aksa.

 

“Dulu
aku pernah punya orang tua, Pak. Anak tunggal. Tapi ayah selingkuh waktu aku
berumur lima tahun. Setelah ketahuan, ayah pergi bersama jalang itu. Ibuku
stres melihat kelakuan ayah, makin frustasi karena tidak tahu bisa dapat makan
dari mana. Lalu akhirnya ibu bunuh diri, putus asa melanjutkan hidup. Membuang
dan membiarkanku sendirian di dunia yang kejam ini.”

 

Aksa
pandai berkata-kata, tahu betul bagaimana mempengaruhi orang lain dengan
ucapan. Dan bapak itu termakan omongan liciknya.

 

“Kebetulan
saya baru saja dapat rezeki, Nak. Tadi Pak Reno yang tinggal di perumahan ini
memberi uang waktu berpapasan di pintu gerbang. Ini uangnya untuk kamu saja,
sepertinya cukup untuk beli makan selama beberapa hari ke depan,” Bapak tua itu
menyalami tangan Aksa dengan selipan uang dua ratus ribu. Aksa tercengang
melihat jumlahnya.

 

Fix,
orang yang tinggal di sini kalo sedekah pasti gak sedikit. Bapak ini saja bisa
dapet dua ratus ribu cuman dari satu orang’, ucapnya dalam hati.

 

Setelah
pertemuan itu, mereka jadi sering bertemu dan mengobrol. Aksa kemudian tahu
kalau bapak itu bernama Harun, sebagai tukang kebun di kompleks perumahan ini.

***

Selama
beberapa hari nangkring di tempat itu, Aksa merasa kalau
penghasilannya terus merosot. Tidak pernah sampai target. Belum lagi setoran ke
Juragan yang makin hari makin tinggi.

 

Belakangan
Aksa menyadari bahwa penduduk perumahan ini merasa lebih kasihan kepada Pak
Harun. Meski tak punya kaki, ia rajin sekali merawat tumbuhan di pinggir jalan
perumahan ini. Akibatnya, Aksa yang sebagai pengemis jadi tidak dapat jatah
apa-apa.

***

“BEGO!
Lu udah berbulan-bulan jadi pengemis, tapi yang lo dapet cuman segini. Ini mah
cuman cukup buat nasi padang doang. Pokoknya gua enggak mau tau, mulai besok lu
harus setor lima ratus ribu per hari,” bentak Juragan marah melihat setoran
Aksa yang cuman secuil.

 

“Suuusah,
Gan. Di tempat itu ada bapak-bapak yang enggak punya kaki. Orang-orang udah
akrab sama dia, makanya dia yang sering dikasih”.

 

“Itu
mah urusan Lu! Makanya tuh otak dipake, pikirin dong caranya bisa dapetin uang.
Kalau sampe besok-besok setoran Lu kurang lagi, gua pecat Lu! Nanti gua cari
orang baru.”

 

Aksa
tersiksa keadaan, ia tidak punya ide apa-apa untuk mengendalikannya. Beberapa
hari kemudian, penghasilannya tetap kurang. Tapi karena takut dipecat, maka ia
terpaksa mencomot tabungan untuk menutupi uang setoran yang kurang. Waktu terus
berjalan, namun ia tetap tak berpenghasilan.

 

Keadaan
pun semakin lama semakin mencekam. Segalanya tiba-tiba menjadi sulit. Seperti dikekang,
nafas Aksa sesak karena dililit waktu yang semakin sempit. Ia tak punya banyak
pilihan, kelanjutan bisnis dan hidupnya terancam mati. Di tengah kegelisahan
yang menggerogoti nalar, ide tak masuk akal muncul dalam otaknya.

 

Aku
harus melakukan sesuatu’, gumamnya. Aksa menyeringai licik. Sial, kalau sudah
begini, apa pun yang anak itu rencanakan pasti bukanlah hal baik.

 

Hingga
di suatu siang yang terik, ketika matahari tepat berada di atas kepala, Aksa
datang ke lokasi ngemisnya dengan baju normal seperti orang biasa, bukan setelan
gembel 
yang penuh noda dan robekan. Bocah itu berjalan cepat sambil
mengendap-endap. Ia hanya memikirkan satu hal, bahwa untuk menjadi pemenang
maka harus menyingkirkan saingan.

 

Jalanan
ke pintu gerbang perumahan itu padat. Kendaraan ramai melintas. Melihat semua
mobil bagus dengan jalanan yang mulus, wajar saja kalau mereka ngebut.

 

Di
tengah bising kendaraan, terlihat Pak Harun sedang mencabut-cabuti rumput di
trotoar, duduk manis di atas papan rodanya. Yang ia tidak tahu, papan roda
itulah kendaraan yang akan mengantarnya ke suatu tempat yang sunyi tapi nyaman.
Tempat yang tak pernah ia kunjungi sebelumnya.

 

Aksa
bersembunyi di balik pohon besar. Perlahan mencoba mendekati Pak Harun yang
sedang fokus bekerja. Sesekali memperhatikan keadaan sekitar, memastikan bahwa
tidak ada orang lain di sana. Sebab apa yang akan ia lakukan sama sekali tak
boleh dilihat oleh siapa pun.

 

Hingga
pada akhirnya, Aksa telah berdiri di balik pohon yang terletak persis di
belakang Pak Harun. Tinggal satu gerakan lagi, Aksa akan menyelesaikan
rencananya. Tubuhnya gemetar, tangan basah oleh keringat, jantung berdegup
kencang, rencana ini memang butuh keberanian yang matang.

 

Tiga
menit Aksa berusaha meyakinkan hatinya sendiri. Mengumpulkan keberanian yang
sempat memudar. Ini semua demi kehidupannya di masa depan. Ia tak sanggup lagi
menerima penghasilan pas-pasan setiap harinya.

 

Dan..
saat itu pun tiba.

 

Dalam
hitungan detik, Aksa berlari mendekat lalu menendang papan roda itu ke jalanan.
Pak Harun meluncur kencang ke tengah jalan raya. Belum sempat berteriak
‘tolong’, sebuah mobil sedan lebih dulu menghantamnya dengan sangat keras.
Tubuh renta itu terpental belasan meter ke depan, terguling di atas permukaan
aspal yang kasar nan panas.

 ***

 

Bulan
berganti bulan, rerumputan di pinggir jalan itu tumbuh berantakan. Aksa
memasang wajah memelas sembari meremas perut. Jam 10 malam, kali ini ia
benar-benar merasa lapar. Tiba-tiba ponselnya bergetar, Aksa mengangkatnya
sembunyi-sembunyi.

 

“Mana
setoran Lu? Ini udah seminggu enggak bayar. Besok harus bayar semuanya. Kalau
enggak, pergi Lu dari tempat gua!”, teleponnya keburu ditutup sebelum Aksa
memberi alasan. Tak ada lagi jalan keluar, tak ada yang memberi uang, dan ia
sudah kehabisan tabungan.

 

Aksa
pulang ke rumah lalu duduk di ruang tengah, mengisap rokok sembari sesekali
mengunyah kerupuk. Lampu ruangan menyala redup. Di tengah kesendirian, kabut
hitam itu kembali muncul. Ide gila yang mengkhianati logika, membawa bara yang
tak lagi sanggup dibendung oleh pikiran. 

 

Di
tengah sunyi, tiba-tiba sosok Pak Harun muncul dalam relung hatinya. Sebuah
rencana muncul di kepala, “Bagaimana kalau aku menjadi seperti Pak Harun?” Oh
tidak, lagi-lagi bocah itu salah memaknai kehadiran pak tua berhati baik itu.

 

Sekarang
Aksa punya pilihan. Rencana ini akan sangat menjanjikan meski risikonya juga
tak kalah menakutkan. Tanpa pikir panjang, ia beranjak dari kursi untuk
mengambil tiga barang yang akan digunakan untuk melakukan rencana itu. gawaispidol,
dan sebilah kapak.

 

Malam
saat itu benar-benar gelap dan sunyi. Rembulan raib entah ke mana, seiring
dengan burung dan serangga yang memutuskan bersembunyi. Mereka takut pada apa
yang akan terjadi, takut melihat bagaimana Aksa dan kesendiriannya akan
berakhir.

 

Aksa
duduk di atas lantai yang dingin, meluruskan kaki lalu menggulung celananya
sampai atas lutut. Membuka penutup spidol lalu menggaris kakinya melingkar.
Posisi garis itu terletak sedikit di bawah lutut. Ia sengaja membuatnya tebal,
agar terlihat jelas.

 

Kemudian
Aksa menghubungi seseorang. 119! Ups, ternyata ambulans.
“Paaakk, toloong. Saya kecelakaan di rumah. Kaki saya penuh darah. Cepat ke
siniii, pak!!!” Intonasinya terlalu nyata untuk dianggap sebagai dusta.
Bagaimana tidak, berbohong sudah jadi makanan sehari-harinya.

 

“Baik.
Kami ke sana sekarang!” Telepon tertutup setelah jawaban singkat itu. Aksa
terjaga, urat darahnya menegang. Ia hanya punya lima belas menit sebelum
ambulans datang. Menarik nafas berat, lalu menghela cepat.

 

Pundaknya
bergetar dengan perasaan yang tak karuan. Keringat mengucur di permukaan kulit
meski sekarang tubuh Aksa menggigil.

 

“Memang
aku akan kehilangan sesuatu, tapi kehilangan itu justru akan memberiku lebih
banyak penghasilan.”

 

Aksa
menempelkan kepala kapak di kaki kiri, kaki yang ia gunakan menendang Pak Harun
ke jalanan. Besi kapak terasa dingin menyentuh kulit. Masih dengan tubuh yang
bergetar, ia mendongak sejenak, menatap langi-langit.

 

Di
langit-langit rumah itu, ia melihat banyak lembaran rupiah yang beterbangan.
Sudahlah, Aksa benar-benar menjadi gila.

 

Kembali
ia menatap kepala kapak. Kini hatinya sudah mantap. Lima menit lagi suara
sirene akan terdengar, ambulans itu akan datang menjemput.

 

Tangan
Aksa yang basah dan bergetar menggenggam kapak itu. Se-per-sekian detik
kemudian, besi tajam itu akan menghantam tulang keringnya. Sebentar lagi,
lantai dingin itu akan becek oleh darah.

 

Aksa
mengangkat kapak itu lebih tinggi dari kepalanya. Memalingkan wajah ke belakang
sambil menutup mata. Tangan kiri mencengkeram paha, dan tangan kanan dengan
keras mengayun kapak ke bawah.

 

Detik
itu, teriakan Aksa membuat dinding rumah bergetar.

***

Lelaki
itu tepekur di sudut salah satu taman di perumahan mewah itu. Wajahnya yang
kusut dihiasi pandangan yang gamang dan muram, Aksa kini benar-benar menjadi
seperti Pak Harun, namun berbeda dengan yang ia niatkan dahulu.

 

Ia
mengalihkan pandangan, sekarang tertuju pada kaki kirinya yang sudah tidak ada.
Perlahan tapi pasti, sesal yang harusnya redup kembali membuncah. Membawa air
mata memenuhi kelopak, memancing isak yang saling bersahut-sahutan.

 

Sekarang
ia benar-benar menjadi seperti Pak Harun, seorang tukang kebun dengan kaki yang
buntung. Sayangnya semua tak berjalan seperti yang ia kira, merawat taman
dengan satu kaki ternyata tak semudah yang ia kira. Pekerjaannya tak pernah
becus, alih-alih mendapat simpati, yang ia dapati hanyalah tatapan sinis.

 

Oleh: Afriadi Ramadhan

Artikel Terkait