Oleh: Afwa Anna
Campur tangan terhadap urusan rahim perempuan telah terjadi jauh sejak dulu. Presiden Sukarno merupakan sosok yang melanggengkan ungkapan “Banyak anak, banyak rezeki.” Propaganda ini kemudian mendarah daging dalam diri masyarakat Indonesia pada saat itu. Ia juga punya pandangan yang berbeda tentang keluarga berencana. Alih-alih membatasi jumlah anak, Sukarno menginginkan agar setiap keluarga Indonesia beranak pinak dalam jumlah banyak. Menurutnya, kekayaan negeri Indonesia sanggup mencukupi kebutuhan pangan 250 juta orang penduduk. Hal ini pernah disampaikannya di hadapan mahasiswa di Istana Negara pada 9 Juli 1963.
Masyarakat seakan menelan mentah perkataan dari presiden pertama itu. Kepercayaan orang tua bahwa setiap anak merupakan pintu rezeki dan penjamin kesejahteraan ekonomi keluarga sudah mengakar kuat di telinga mereka. Tak hanya itu, budaya gotong royong yang melekat di masyarakat dan kecenderungan mengharapkan bantuan orang terdekat, ternyata juga menjadi pemicu utama masyarakat sampai membutuhkan jumlah anak yang lebih banyak. Berangkat dari sinilah, maka tak heran kalau pada masa dahulu kita melihat banyak orang tua memiliki anak lebih dari sepuluh.
Berbanding terbalik, Presiden Suharto mencanangkan hal yang berbeda setelah Presiden Sukarno turun. Jargon “Dua anak cukup,” selalu dipromosikan ke hadapan publik. Di mana program keluarga berencana ini digagas sebagai jawaban atas laju pertumbuhan penduduk yang tidak terkontrol. Di era Soeharto, tahun 1960-an laju pertumbuhan penduduk 2,32% turun menjadi 2,10% tahun 1970-an dan 1,97% pada 1980-an. Dengan kondisi seperti itu, program KB di Indonesia sebagai salah satu yang paling sukses di dunia.
Namun, meski memperoleh pencapaian besar, program KB ini belum diterima secara menyeluruh oleh masyarakat. Tidak sedikit yang juga tidak menyambut baik program tersebut. Mereka melihat pembatasan terhadap angka kelahiran telah menyalahi nilai dan adat istiadat yang telah ada.
Semakin jauh dari era Pak Sukarno, seiring dengan derasnya arus globalisasi saat ini, banyak anak banyak rezeki nampaknya mulai dipicikkan oleh masyarakat. Kaum Millenial tidak lagi menjadikan pernikahan, memiliki pasangan bahkan memiliki anak yang menggemaskan sebagai tolak ukur kebahagiaan dan kesejahteraan. Akibatnya, prinsip banyak anak banyak rezeki mulai dianggap tidak lagi relevan oleh banyak keluarga di Indonesia, diiringi dengan budaya gotong royong yang semakin memudar.
Oleh sebab itu, kemudian dikenal istilah “Childfree.” Di tengah mencuatnya pilihan Childfree di negara-negara maju, nampaknya Indonesia yang dikenal sebagai negara dengan kepadatan penduduk peringkat ke-4 di dunia tidak ketinggalan dengan konsep yang disuguhkan Childfree. Setiap pasangan pun pasti memiliki alasan dan pertimbangan yang matang untuk tidak menghadirkan anggota baru dalam keluarga mereka.
Keputusan yang diambil beberapa pasangan untuk tidak memiliki anak dengan dalih seperti menyelamatkan bumi yang sudah over-populasi, dan memiliki konotasi negatif terhadap kelahiran berasal dari kelompok anti-natalis yang menolak kehamilan secara nyata dan mengampanyekan larangan memiliki anak. Berbeda dengan Childfree, mereka memutuskannya tanpa menolak kehamilan secara terbuka, keputusan tersebut berasal dari kesadaran dan bentuk kedewasaan pasangan tersebut. Karena trauma, takut mengemban amanah besar, biaya hidup yang tinggi, atau memiliki penyakit genetik.
Kontroversi akan Childfree masih tercium sampai saat ini. Mereka yang kontra akan hal tersebut, mengaitkan permasalahan ini dengan agama dan adat yang telah ada. Dicap sebagai seorang liberalis, menyalahi agama, durhaka kepada orang tua yang telah melahirkan mereka, dan bahkan mengklaim mereka tidak akan bahagia di masa tua.
Padahal, berketurunan bukan tujuan utama pernikahan. Tujuan utama dari pernikahan sendiri dimana seharusnya dua pasangan saling memberi kasih sayang serta perasaan aman satu sama lain, berketurunan maupun sebaliknya. Dalam Islam pun, tujuan utama suatu pernikahan adalah menjaga kehormatan diri dan agar kita terhindar dari fitnah.
Karenanya, keputusan Childfree bukanlah dalih kita tidak akan bahagia di masa tua, tunjangan masa tua tidak ditentukan dari seorang anak, selama pasangan selalu memberikan ketenangan dan rasa aman itu. Hal ini dituangkan oleh salah satu anggota Indonesian Childfree Community (ICC), sebuah komunitas di media sosial yang berisi orang-orang yang berkomitmen tidak memiliki anak. Veronica berusia 48 tahun menuturkan bahwa tidak memiliki anak adalah hal yang menyenangkan. Dia dan suaminya masing-masing memiliki pekerjaan jadi bisa lebih leluasa menghabiskan waktu dan uang hanya untuk kepentingan berdua. Pola hidup ini dikenal dengan istilah DINK (double income no kids).
Begitu pun, mendidik seorang anak bukanlah hal yang mudah, Gitasav sebagai Influencer penganut Childfree mengutarakan “Gue udah hidup di dunia ini selama 26 tahun. Ada banyak banget yang gue dengar, yang gue lihat, dan yang gue alami, yang membuat gue belajar satu hal: punya anak itu susah banget. Karena ternyata anak itu bukan sekadar rezeki kayak lo dapet uang kaget dari Helmi Yahya, tapi tanggung jawab. Pertama soal finansial. Anak butuh dikasih gizi yang cukup, lebih mahal. Nutrisinya harus terpenuhi apalagi di 1.000 hari pertama dari dia di dalam janin”.
Keputusannya tersebut sempat menjadi bahan perdebatan kusir di masyarakat. Padahal secara rasional, seorang pasangan suami istri yang menyadari mereka masih labil, seharusnya lebih berhati-hati dalam memutuskan untuk memiliki anak. Jika ia akhirnya berani mengambil keputusan untuk beranak, ada banyak efek dan pengaruh yang akan menjalar ke perkembangan psikis anak tersebut. Jadi, tidak semua orang dapat menganggap remeh punya anak. Karena kalau si anak tumbuh jadi orang yang bodoh, ignorant, rasis, dan pembenci. Sedikit banyak di situ ada tanggung jawab dari Emak-Babenya.
Lalu bagaimana agama menyikapi hal tersebut? telah diriwayatkan bahwasanya Rasulullah memerintahkan umatnya untuk menikah dan melarang keras membujang, “Nikahilah wanita yang penyayang dan subur karena sesungguhnya Aku (Muhammad) akan bangga dengan kalian di depan para nabi pada Hari Kiamat.” Dalam hal ini, Islam tidak memberikan larangan untuk seseorang yang memutuskan untuk memilih jalan Childfree.
Agama lebih melarang keras seseorang merendahkan orang lain karena keputusan yang mereka ambil, sebagaimana yang terdapat dalam Hadist, “Mencela seorang muslim adalah kefasikan (dosa besar), dan memerangi mereka adalah kekafiran”.
Dalam hal ini, penulis tidak pro terhadap orang-orang yang mengambil jalan untuk tidak berketurunan. Karena di balik itu, childfree juga memiliki dampak negatif di antaranya adalah merasa kesepian dan terisolasi karena tidak memiliki tempat untuk menyalurkan kasih sayang. Terlebih jika tidak mendapat pemenuhan dukungan emosional dari pasangan. Kedua, tidak adanya dukungan sosial dan finansial ketika tua dari anak. Ketiga, tidak ada seseorang yang akan meneruskan warisan genetik ataupun menerima harta warisan ketika sudah meninggal.
Tetapi di samping itu, childfree telah datang bersamaan dengan jalan keluar atas ketakutan akan hidup kesepian. Saat ini, panti jompo banyak memberikan program untuk menghabiskan masa tua. Boleh jadi keputusan childfree juga mendorong seseorang untuk lebih menyantuni dan mengasihi anak yang telah kehilangan orang tua, dan memanen amal jariyah untuk diri diri sendiri. Keputusan Childfree atau Childless sama-sama berhak mendapatkan rahmat tuhan dan kebahagiaan dunia akhirat.
Memiliki banyak buah hati atau bahkan tidak sama sekali bukanlah sebuah tuntutan, itu adalah hak dan pilihan pasangan yang telah diuraikan secara matang dan komprehensif. Peradaban memang tetap perlu dilestarikan, tetapi sikap saling menyalahkan, membatasi ruang berpendapat dan kebebasan berekspresi sesama manusia juga tidak akan pernah dibenarkan. Pem-bully–an yang sering ditemui kepada seseorang yang memutuskan untuk Childfree sama saja dengan menyerang hak asasi sesama manusia. Masyarakat seharusnya bersikap kritis dengan yang terjadi di zaman sekarang, karena intimidasi terhadap arus baru yang datang hanya akan menyebabkan keterbelakangan masyarakat itu sendiri. Masyarakat juga harus berpikir kritis sebelum memutuskan untuk memiliki anak ataupun tidak. Hal ini dikarenakan jika memutuskan untuk childfree seseorang harus siap dengan dampak positif dan negatifnya. Selain itu, seseorang harus siap dengan tekanan keluarga dan masyarakat yang memandang childfree sebagai pilihan yang tidak lazim.