CerpenIdul AdhaMasisirsastra

Kesalahan Para Dermawan

Oleh: Afriadi Ramadhan

Matahari berada tepat di garis meridian langit. Salat Asar berjamaah baru saja tuntas dilaksanakan. Jamaah yang jumlahnya bisa dihitung jari itu keluar dari masjid satu per satu, kembali ke rutinitas masing-masing.

Berbeda dengan Pak Sigit, bukannya pulang, dia malah masuk ke ruangan kecil di dalam masjid itu.  Tempat  penyimpanan perangkat sound system  dan peralatan kebersihan. Di situ Pak Sigit mengganti pakaian salat dengan ‘pakaian dinas’. Melepas baju koko putih kumal, lalu memakai kaos partainya yang juga sudah kumuh.

Selesai mengganti pakaian, ia mengambil peralatan kerjanya. Sesuai agenda, Pak Sigit memang sudah harus bergerak membersihkan masjid mulai sore ini. Menjadi marbut seorang diri mengharuskannya memulai pekerjaannya lebih cepat, sebab lusa akan ada acara besar di masjid ini, hari raya Idul Adha.

Kalau Pak Sigit tidak mulai bergerak sore ini, pasti ia akan kewalahan nantinya. Ada banyak sekali pekerjaan, sedangkan tenaga sangat terbatas. Pria berumur 63 tahun itu mengerjakan semua pekerjaan masjid sendirian. Karena memang hanya dia yang secara resmi ditunjuk sebagai marbut dan melakukan semua pekerjaan masjid seorang diri.

Tidak ada yang bersedia menjadi marbut bersama Pak Sigit karena para penduduk juga sibuk dengan pekerjaan masing-masing, sedangkan anak muda banyak yang keluar kampung untuk merantau. Hanya Fajar, ponakan kecilnya, yang terkadang datang untuk membantu. Bocah SD itu gemar menyibukkan diri membantu pamannya, walau tugasnya hanya sekadar mengganti air pel atau memegang senter.

Pak Sigit telah lama memakmurkan masjid ini. Setiap pagi, ia menyiapkan masjid seperti menyapu dan mengepel lantai masjid, menggosok ubin tempat wudu dan toilet, membersihkan debu dan berbagai aktivitas melelahkan lainnya. Semua itu harus selesai sebelum masuk masuk waktu Zuhur. Setelah Zuhur, kurang lebih ia akan melakukan hal yang sama sampai sebelum masuk waktu Asar. Ketekunan Pak Sigit membuat masjid sederhana itu selalu bersih berkilau.

Pekerjaan marbut ini tentu bukan sebagai sampingan, melainkan pekerjaan utamanya. Satu-satunya pemasukan adalah gaji yang ia terima dari bendahara pengurus masjid, itu pun tidak seberapa, hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok saja. Rasanya gaji seperti itu kurang pantas untuk orang yang hampir semua waktunya dalam sehari, ia habiskan di masjid. Di mana ia pulang ke rumah hanya untuk makan dan istirahat saja.

Meski begitu, Pak Sigit tidak pernah mengeluh ataupun mengemis untuk meminta kenaikan gaji. Ia merasa ikhlas mengabdikan waktu dan tenaganya untuk memakmurkan rumah ibadah. Pria yang rambutnya penuh uban itu percaya kalau Allah pasti menyukai pekerjaan yang ia lakukan. Maka dari itu, Pak Sigit tak pernah minta lebih. Rida dari Allah cukup baginya.

Padahal, kalau Pak Sigit mau, sangat memungkinkan untuk meminta agar gajinya dinaikkan. Jumlah uang kas masjid Fastabiqul Khairat tidaklah sedikit. Bisa dilihat angka itu tertulis di papan keuangan yang tertempel di dinding masjid, totalnya ada sembilan digit.

Siapa pun setuju kalau masjid yang sederhana itu tidak mungkin butuh ratusan juta untuk memenuhi kebutuhan rutin seperti membeli alat kebersihan, biaya transportasi penceramah, dan lainnya. Meski begitu, Pak Sigit tak pernah tergoda dengan nominal uang itu.

Bahkan pernah, ada momen ketika Pak Hasan, Ketua Pengurus Masjid menawarkan untuk menaikkan gajinya. Tapi Pak Sigit malah bilang, “Ya, lebih baik uang itu dipakai untuk pembangunan masjid saja. Renovasi tempat wudu, beli karpet, atau loker untuk sandal. Supaya para jamaah sandalnya tidak hilang terus”.

Sungguh, keikhlasan yang teramat sangat luas dari dalam hatinya. Tapi, kalau aku yang jadi Pak Hasan sih, gaji itu tetap kunaikkan saja. Masa bodoh Pak Sigit setuju atau tidak. Seorang marbut yang bekerja setiap hari berhak untuk mendapat upah yang tinggi, apalagi dia kerjanya sendiri.

“Mau saya bantuin, Kek?” tanya Fajar kepada Pak Sigit, memakai sapaan ‘Kakek’ karena Pak Sigit sudah terlalu tua baginya untuk dipanggil ‘Paman’.

“Dah tidak usah, kamu pergi main saja.”

“Tidak ada teman bermain, Kek. Semuanya pada sibuk di rumah masing-masing.”

“Hahaha,” Pak Sigit terkekeh mendengar jawaban Fajar, “Ya sudah, ambil selang lalu kau siram-siramlah bagian yang sudah disapu,” Seperti biasa, pamannya itu hanya memberikan tugas yang mudah dan sederhana.

Mereka selesai tiga puluh menit sebelum magrib, Pak Sigit menyeduh teh hangat sedangkan Fajar diberi uang untuk membeli Teh Gelas. Mereka duduk santai melepas lelah di teras masjid.

“Lebaran besok, berapa sapi yang akan dipotong, Kek?” cuap Fajar membuka percakapan.

“Ada sembilan, Nak.”

“Wah! Banyak ya.”

“Alhamdulillah, sapi-sapi itu dari keluarga para donatur. Tahun lalu malah lebih banyak, ada 13 ekor.”

Masjid Fastabiqul Khairat memang merupakan masjid yang makmur dan terurus, berkat sang Marbut yang tekun dan para warga yang dermawan. Penduduk kampung sangat rajin  menyumbangkan hartanya untuk membangun masjid. Setiap Jumat, setidaknya ada satu juta rupiah yang mengisi kotak amal.

Penduduk sekitar memang mayoritas merupakan keluarga yang berada. Meski tinggal di perkampungan, banyak yang memiliki usaha pribadi yang sudah sukses. Ada yang menjadi juragan telur, juragan bawang, tuan tanah, dan masih banyak lagi.

Para pengusaha tajir di kampung itu menyadari bahwa rezeki yang datang merupakan pemberian dari Yang Maha Kuasa, hal itu sedikit banyak menjadi alasan mengapa mereka rajin memberi donasi untuk kepentingan masjid. Benar-benar berlomba dalam kebaikan. Beramal untuk senantiasa memelihara dan menjaga hubungan dengan Tuhan.

Meski, kita sama-sama tahu kalau menjaga dan saling peduli terhadap sesama manusia itu tidak kalah pentingnya dengan menjaga hubungan baik dengan Tuhan. Hal ini yang belum dipahami baik oleh para crazy rich di sekitar Masjid Fastabiqul Khairat.

“Sembilan sapi itu kira-kira cukup tidak untuk orang sekampung, Kek?”

“Yo mesti cukup. Orang kampung tidak terlalu banyak. Sembilan ekor itu kalau dibagi, bisa dipake makan dua hari”.

Fajar tersenyum sumringah. Berbagai makanan berbahan daging melayang-layang di kepalanya.

“Kakek, daging kurban nanti mau kakek masak apa? Kakek suka makan rendang, rawon, bakso atau apa?” tanya Fajar penasaran.

Pak Sigit tersenyum tipis, meneguk teh yang sudah dingin, lalu, “Saya sudah tidak bisa makan daging, Nak. Dilarang sama dokter sejak sepuluh tahun lalu. Terakhir kali makan daging, kolesterolku langsung naik tinggi. Jatuh sakit dan enggak bisa ngapa-ngapain berminggu-minggu. Dari kolesterol itu, jantung saya ikutan kalah. Makanya sekarang sudah tidak berani makan daging lagi.”

“Duh, sayang sekali.”

“Begitulah, Nak. Andai bisa, sekali saja, saya mau sekali makan rawon, sudah rindu sekali makan makanan enak. Cukup satu kali saja di hari Idul Adha. Sudah sepuluh tahun kakek hanya makan ikan masak saja.”

Tunggu, apa saya tidak salah dengar? Pak Sigit baru saja mengeluh. Orang dengan level qanaah yang tinggi itu, bisa mengeluh hari ini. Walaupun dia tidak mengeluh secara langsung, tapi pengandaiannya sudah mewakili perasaan itu.

“Yang bener, Kek? Masa iya, cuma makan ikan di hari lebaran,”

“Apa boleh buat, Nak. Nanti kupon daging punyaku untuk kamu saja. Hadiah”

“Yeey!!” Fajar bersorak. Wajarlah, bocah SD belum bisa menangkap makna kesedihan di hati Pak Sigit.

***

Cahaya matahari menyambut pagi. Gema takbir mewarnai suasana hari raya Idul Adha. Warga masjid Fastabiqul Khairat selesai melaksanakan Idul Adha pada pukul 07.30 pagi. Saling bersalaman dan bermaaf-maafan sebelum kembali ke rumah masing-masing. Semuanya terlihat sangat peduli satu sama lain.

Pak Sigit tidak terlihat berlama-lama dengan jamaah lain. Dirinya langsung sibuk dengan tugasnya sebagai marbut untuk mempersiapkan segala macam peralatan untuk pemotongan hewan kurban satu jam lagi. Aku tidak tahu apakah dia tetap merasakan vibes hari raya ketika dirinya selalu sibuk dengan pekerjaannya. Datang saat subuh dan tetap di masjid bahkan setelah salat ied.

Pagi itu, Pak Sigit melakukan banyak pekerjaan bersama warga kampung. Mengurus sembilan ekor hewan kurban bukanlah perkara sepele. Menggotong, membaringkan, menguliti, membungkus potongan daging lalu membagikannya. Belum lagi, Pak Sigit juga yang berinisiatif untuk menyediakan konsumsi seperti minuman dingin dan makanan ringan untuk warga yang ikut mengurus hewan kurban.

Pak Sigit aktif menimbang potongan daging sapi sebelum ia berikan kepada setiap orang yang datang membawa kupon. Tangannya sudah memberi banyak sekali plastik berisi daging sapi segar kepada warga. Namun, tak ada sama sekali yang menyadari perasaan Pak Sigit yang sebenarnya. Perasaan yang mengharapkan untuk juga makan makanan enak di hari raya.

Ingin sekali dia membeli ayam untuk dimasak sendiri di rumah. Daging ayam sudah terlalu enak dan mewah bagi Pak Sigit. Akan tetapi, isi dompetnya sudah sangat tipis. Lebaran tahun ini jatuh di akhir bulan. Ia tak punya uang lebih untuk membeli daging, cukupnya hanya untuk ikan masak, seperti yang ia makan setiap harinya.

Ada ruang kecil di hati tulusnya yang berharap akan makanan yang berbeda hari ini, hidangan yang lebih enak daripada ikan masak seperti biasanya.

“Apakah hari ini semua makanan enak hanya daging saja? Apakah orang-orang hanya memasak rendang, gulai dan rawon?”

Idul Adha datang untuk menyenangkan mereka  yang jarang merasakan makanan enak. Meski pada umumnya orang menganggap daging sapi sebagai menu andalan, bukan berarti kebahagiaan Idul Adha menjadi haram bagi mereka yang tak bisa memakan daging sapi.

***

Setelah semua daging dibagikan, semua tugas rampung dikerjakan, para warga yang mengurus hewan kurban sedang beres-beres untuk pulang.

“Terima kasih goloknya, Pak. Sangat membantu,” Pak Sigit mengembalikan golok milik Pak Hasan yang ia pinjam untuk membantu memotong-motong daging tadi.

“Oh iya, sama-sama, Pak. Terima kasih juga untuk kerja keras bapak hari ini,” Pak Hasan membalas kasih.

“Janganlah begitu, Pak. Memang sudah tugas saya itu,” jawab Pak Sigit rendah hati.

“Tetap perlu berterima kasih, Pak. Saya salut, bapak masih kuat mengurus semua pekerjaan di usia yang sekarang. Kalau bukan karena ikhlas untuk beramal, pasti Bapak sudah kabur duluan,” canda Pak Hasan diikuti dengan tawa kecil. Pak Sigit ikut tertawa, bahagia melihat hasil kerjanya bermanfaat.

“Alhamdulillah ada Bapak di sini. Yang selalu siaga dan berpengalaman mengurus masjid. Makanya, urusan kurban sembilan ekor sapi hari ini bisa berjalan lancar semua. Enggak ada kendala.”

“Eh, jangankan sembilan ekor, tahun lalu saja ada 13 ekor tetap lancar karena ada Pak Sigit. Saya sebagai ketua masjid merasa bersyukur, walaupun sendirian, tetapi tenaganya seperti sepuluh orang. Saya yakin para donatur dan warga juga ikut senang dan berterima kasih. Tadi, semua kepala keluarga yang berkurban datang ke sini melihat sapinya disembelih. Ada kesenangan tersendiri ketika melihat sapi-sapi bisa diurus lancar tanpa kendala,” puji Pak Hasan yang terlihat tulus dari hatinya.

“Saya juga bersyukur, Pak, masih bisa mengabdi untuk umat. Hanya ini yang saya bisa. Ya, kalau tidak mampu berkurban, kan setidaknya ikut membantu urus hewan kurban itu, hehe,” Pak Sigit menutup kalimatnya dengan tawa kecil yang terdengar menyedihkan.

Setelah mengobrol dengan Pak Hasan, pria tua dengan kulit keriput dan hati yang tulus itu pulang ke rumah. Baju Pak Sigit masih basah oleh keringat dan ada banyak noda percikan darah sapi, tangannya lengket-lengket karena sering memegang daging segar. Tapi, tak sekantong daging pun yang ia bawa pulang. Untuk apa, ia dan istri juga tak bisa menikmatinya.

Di rumah, ia mendapati sang istri menyambutnya dengan senyuman hangat. Sebakul nasi, ikan masak kuning, dan sambal sudah tersaji di meja makan. Istrinya memang sengaja belum makan, menunggu suaminya pulang. Mereka berdua lalu duduk dan makan bersama di meja makan. Tidak banyak percakapan atau obrolan, mungkin mereka berdua sedang konsentrasi memakan ikan sambil membayangkan makanan yang enak di kepala masing-masing. Siapa tahu dengan cara itu bisa membuat rasa ikannya tiba-tiba menjadi lebih lezat.

Sampai hari lebaran itu berlalu, keinginan Pak Sigit belum bisa terpenuhi. Harapan untuk makan makanan enak hanya menjadi sebatas angan. Tak ada seorang pun di antara penduduk kampung yang datang memberinya santapan lezat khas hari lebaran, apalagi memberi uang. Padahal mereka semua berkecukupan. Pak Sigit tetap memakan menu yang biasa, meski hidungnya ditusuk-tusuk oleh aroma gulai dari dapur tetangga.

Apalah arti sekantong daging segar bagi mereka yang terbiasa dengan hidangan lezat? Apa arti dari masjid besar di tengah kampung padahal jamaahnya tidak banyak, sedangkan sang marbut masjid itu bercita-cita untuk hanya sekadar bisa makan makanan enak?

Artikel Terkait

Beri Komentar