EsaiMasisirOpiniPPMI

PPMI Ngapain Aja?

Oleh: Azrul Faisal Kazein, Juara 3 Lomba Opini Kongres PPMI Mesir

PPMI seperti bandara internasional, gerbang pertama yang menyambut banyak orang yang ingin mengenal isi negaranya. PPMI adalah wajah yang mencitrakan diri dan identitas pemiliknya. Baik buruknya citra PPMI mewakili baik buruknya citra Masisir.” -Memilih Tukang untuk PPMI Mesir.

Meski artikel tersebut muncul tahun 2017, namun masih cukup relevan untuk saya jadikan acuan  bagaimana kita memandang PPMI Mesir yang sebenarnya serta bagaimana lembaga eksekutif Masisir itu seharusnya.

Maulana Abdul Aziz pemilik blog tersebut, menuliskan keluh kesahnya ketika mengikuti sekolah non-formal di American University in Cairo (AUC). Jajaka asal Purwakarta tersebut mengaku bahwa setiap hari ia dan kawan-kawan sekelasnya harus memberikan presentasi. Sementara ia yang saat itu telah menjadi Masisir selama kurang lebih 5 tahun merasa PPMI tidak hadir dalam memberikan pengalaman public speaking. Padahal skill tersebut baginya bisa saja mendorong Masisir lebih siap bersaing dengan alumni negara mana pun, lulusan kampus apa pun. Bahkan, lanjut pria yang akrab disapa Mang Maul itu, bisa jadi kemampuan public speaking akan mengantarkan pada jalan mendakwahkan kewasathiyahan Azhar di forum-forum semacam UN, multinasional NGO serta di berbagai forum internasional.

Satu contoh kasus yang ditulisnya di blog bernama maulanaisme.com tersebut masih bisa kita lihat pada kepengurusan Badan Pengurus Harian (BPH) PPMI sekarang. Hal ini bisa kita lihat dari tidak adanya program jangka panjang untuk pengembangan skill non-akademik semacam public speaking, dan jika sesuai konteks tulisan di atas adalah berbicara di muka umum dengan berbahasa Inggris.

Namun ternyata, beberapa bulan lalu PPMI Mesir beserta Wihdah mengadakan acara yang diberi nama Career Expo 2023. Acara tersebut bagi saya masih bisa disebut kehadiran PPMI Mesir dalam membuat program jangka panjang untuk karir Masisir secara individu. Ada juga program lain  walaupun tergolong sebagai program penunjang akademik. Acara tersebut adalah Silaturahmi dan Pembentukan Forum Rumah Binaan (FORBINA).

Lantas apakah cukup bila saya mengatakan bahwa PPMI Mesir, dalam hal ini saya menunjuk BPH, telah hadir dalam kehidupan Masisir para anggotanya?  

Saya mengajukan pertanyaan tersebut ke beberapa orang yang saya anggap satu sirkel (kedatangan 2015-2017). Jawaban mereka pun relatif sama. Jawaban yang bisa saya wakilkan dengan pertanyaan, “memangnya PPMI ngapain aja?”.

Lebih jauh, seorang kawan yang menjadi manajer di salah satu rumah makan mengatakan hal yang lebih spesifik. Ia mengaku tidak mengenal siapa presiden PPMI sekarang, namun dari berita-berita viral yang muncul ia bisa menduga bagaimana akhlak yang bersangkutan.

Satu hal yang saya dan kawan saya tersebut sepakati yaitu betapa urgennya peran Ormaba dalam meyakinkan Masisir. Dalam hal ini para Mahasiswa Baru, tentang bagaimana PPMI Mesir selalu hadir untuk kepentingan para anggotanya. Jika Mang Maul menulis bahwa PPMI Mesir ibarat bandara internasional, maka bisa saya katakan bahwa Ormaba merupakan buku panduan lengkap seputar negara tempat bandara tersebut berada. Sayang beribu sayang, Ormaba terakhir yang menjadi tanggung jawab BPH PPMI saat ini tak luput dari blunder yang berakhir kontroversial. Itu sejauh yang saya ikuti melalui media sosial saat itu.

Saya pribadi beranggapan bahwa Ormaba memang tidak akan berjalan maksimal, tidak akan PPMI dikenali begitu dalam dan akrab di antara para Masisir. Dan yang menjadi persoalannya adalah jumlah Masisir yang terlalu banyak dibanding SDM yang dimiliki PPMI Mesir, termasuk BPH-MPA-BPA.

Permasalahan ini memang bukan wewenang PPMI Mesir. Kompleksitas masalah tersebut akan menyeret tanggung jawab KBRI-Kemenag-Mediator. Namun saya berharap PPMI selaku eksekutif mahasiswa Indonesia mau menyadari bahwa kualitas Masisir lebih penting untuk dipedulikan dibanding kuantitas. Lebih penting menjaga jumlah ideal Masisir yang nantinya mempengaruhi muruah al-Azhar di mata masyarakat Indonesia daripada membuka lebar-lebar pintu masuk Mesir bahkan bagi mereka yang tidak berniat menuntut ilmu. Survival of the fittest-nya Charles Darwin mestinya diaplikasikan untuk menyaring kualitas Masisir bukan hanya sekedar statistik.

Masih berlandaskan obrolan kami di atas, penilaian kawan saya terhadap presiden PPMI murni melalui apa yang tersebar melalui media sosial. Masalahnya media sosial di era digital saat ini sering menjadi senjata bunuh diri, karena dunia para netizen tidak menawarkan dunia secara utuh, ia mengedepankan subjektifitas demi kepuasan sosial yang bersifat tentatif.

Masisir yang hanya menilai presiden PPMI dari screenshoot maupun “katanya sih begitu” memanglah tidak bijak. Namun, tidak juga bijak seorang pemangku jabatan menggunakan sosial media untuk menyindir para pengkritik atau ketika sedang dikuasai emosi sesaat.

Dari sini saya merasa membangun citra yang baik memang hal yang paling utama.

Kehadiran seperti apa yang diharapkan Masisir dari kepengurusan PPMI?

Pertanyaan itu saya ajukan kepada salah seorang senior yang aktif di beberapa media Masisir. Saya percaya kemampuan jurnalistik senior tersebut cukup memberikan jawaban yang universal.

Pemuda asal Timur Indonesia tersebut menunjuk kemampuan komunikasi Presiden-Wapres PPMI yang mengacu pada anggapan banyak orang itu dinilai buruk. Terutama komunikasi dengan kekeluargan-kekeluargaan yang melahirkan sikap saling sentimen.

Jika benar apa yang dikatakan senior tersebut, maka program pelatihan public speaking yang saya bahas di awal sudah sewajarnya tidak ada. Karena PPMI sendiri masih perlu mengasah kemampuan komunikasi administratif.

Kemampuan komunikasi di muka umum bertujuan untuk menarik simpati masyarakat. Jika akhirnya terpilih sebagai pemangku jabatan, Presiden-Wapres mungkin memiliki kemampuan yang baik dalam hal ini. Namun, itu hanyalah wasilah politis dan digunakan sebagai alat mencapai tujuan. Setelah tiba di tujuan, ada kemampuan komunikasi-komunikasi lain yang lebih dibutuhkan. Mungkin kemampuan komunikasi di media sosial yang saya singgung sebelumnya berhubungan denga jawaban senior di atas. PPMI masih harus belajar.

“Apakah kemampuan komunikasi tersebut berhubungan dengan penguasaan literasi?” Saya mengajukan pertanyaan tambahan. Mungkin saja kemampuan literasi masyarakat Indonesia yang buruk, seperti dinyatakan banyak penelitian, berimbas juga pada PPMI Mesir.

Sang senior menjawab dengan membagi persentuhan PPMI dengan hal-hal yang sifatnya literasi, menjadi sikap PPMI menghadapi suatu masalah, program kerja, maupun pada program pengembangan literasi itu sendiri.

Dalam masalah sikap, ia merujuk klarifikasi presiden PPMI yang dimuat di website Wawasan KKS beberapa waktu lalu perihal gaduh status WA. Dari situ dia mengambil kesimpulan bahwa sikap tersebut jauh dari kata literasi. Seharusnya, tambah sang senior, argumen dibalas argumen bukan sentimen.

Program-program PPMI pun secara umum masih kurang literatif, walau pun Menko 4 mewadahi website dan tulisan-tulisan yang masih bisa kita baca. Terakhir, dampaknya pada Masisir pun masih sangat kurang jika hanya mengandalkan menko 4 untuk memancing gairah akan literasi. Kastrat, program literasi PPMI pun hanya untuk internal PPMI.

Jadi, PPMI ngapain aja?

PPMI sudah cukup hadir menurut saya, dalam kehidupan Masisir. Namun dilihat dari ketimpangan antara jumlah Masisir dan SDM yang ada, kehadiran PPMI tidak akan bersifat menyeluruh. Saya tambahkan juga, tidak perlu memiliki banyak program jika memiliki landasan literasi yang baik. Program-program PPMI akan bersifat daqiq dan kemudian dawam.

Artikel Terkait

Beri Komentar