ArtikelBudayaEsaiOpini

Siapa sih yang Bidah, Saya atau Kamu?

Oleh : M. Anugrah Tri Putra

Pernah suatu waktu di grup keluarga saya terjadi perdebatan kecil. Saat itu, bapak sudah mencapai satu tahun setelah meninggal. Dan ibu mengirimkan sebuah pesan, meminta anggota grup tersebut, mengirimkan al-Fatihah untuk almarhum.

“Kita kirimkan surah al-Fatihah kepada bapak yang sudah satu tahun meninggalkan kita.” ucap mama saya. Setelah mengirim chat itu, salah satu sepupu saya langsung merespons.

“jangan membaca surah al-Fatihah dengan niat pahalanya kepada orang yang meninggal, karena itu bidah tidak ada dalam ajaran Nabi Saw., dilihat dari isi surah tersebut juga, tidak ada yang melafazkan tentang kematian atau untuk orang yang meninggal. Cukup doakan saja almarhum.”

Membaca pesan tersebut alis saya mengernyit. Apa salahnya orang yang membaca surah al-Fatihah dengan diniatkan orang yang sudah meninggal, padahal surah ini masyhur dibaca oleh ulama-ulama dan sudah menjadi kebiasaan kita. Jangan semena-mena melarang, walaupun memang ada dalil yang melarang tapi ada juga yang membolehkan.

Namun, pertanyaan-pertanyaan itu tidak sempat saya sampaikan karena luapan emosi. Saya hanya menjawab singkat, “memang tidak boleh?”

Berangkat dari sini, pernah tidak kalian berpikir, apa sih bidah itu? Mengapa sih ada orang yang gemar membidahkan sesamanya? Apakah betul orang yang membidahkan itu sudah merasa paling benar? Dan lagi, di tengah perdebatan terkait bidah ini, bagaimana dengan kasus orang yang mengedepankan toleransi dan keberagaman,  tapi mereka tidak mau bergaul dengan aliran yang suka membidahkan?

Bidah yang Saya Maksud

Soal bidah tentunya tidak lepas dari pemahaman kita akan sabda Nabi Muhammad Saw. dalam muqaddimah khutbah beliau. Sebagaimana hadis Nabi Muhammad Saw. dalam riwayat Imam Muslim mengatakan :

“sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitab Allah Swt., sebaik-baiknya petunjuk adalah petunjuk Nabi Muhammad Saw., seburuk-buruk perkara adalah perkara yang baru, dan setiap bidah (hal baru) adalah sesat, dan setiap kesesatan akan masuk neraka.”

Wah, kalau kita melakukan bidah itu bisa mengakibatkan masuk neraka. Pasti sebagian dari kita berpikir, apa sih yang dimaksud ‘setiap bidah (hal baru) adalah sesat’? Ulama berbeda pendapat dari kata ‘setiap’, ada yang memaknainya dengan semua kebaruan dan ada juga sebagian besar. Salah satu ulama yang memaknai dengan “sebagian besar” ialah Imam Nawawi dalam kitab Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim:

“setiap bidah adalah sesat, lafal ‘setiap’ di sini adalah lafal umum yang bermaksud khusus, yaitu maksudnya sebagian besar bidah.”

Nah, dari sini kita bisa tangkap bahwa tidak semua bidah itu sesat, tapi ada juga bidah yang baik. seperti mempelajari ilmu-ilmu nahwu, saraf, dan balaghah tentang bagaimana cara memahami yang garib di Al-Qur’an dan sunah Nabi Saw., dan ada juga adat-adat kebiasaan yang sering dilakukan oleh sebagian umat muslim. Misalnya, mengirimkan surah al-Fatihah dengan diniatkan kepada orang yang meninggal. Ini kan sesuatu hal yang baru tapi boleh-boleh saja dilakukan karena hal yang baik.

Fenomena ini pun sempat dibahas ketika saya dan mahasiswa al-Azhar lainnya melakukan diskusi santai di sebuah rumah belajar. Pada diskusi kala itu, kita sedang membahas salah satu kaidah Ushul Fiqh, yakni (adat itu bisa menjadi dasar dalam menentukan suatu hukum). Saat itu, muncullah pertanyaan saya, “Bagaimana cara menjawab orang-orang yang tidak menerima sesuatu yang tidak dilakukan oleh Nabi Saw., seperti membaca al-fatihah kepada orang yang meninggal?.”

Salah satu senior pascasarjana di universitas al-Azhar jurusan Ushul Fiqh menjawab pertanyaan itu, “jadi selama sesuatu atau adat itu tidak bertentangan dengan syariat maka boleh-boleh saja dilakukan.”

Lalu mengapa masih ada sebagian orang yang gemar membidahkan sesamanya. Padahal sudah jelas kalau ada baik pasti ada buruk, ada surga ada neraka juga.

Kamu Benar Kita Salah, Apa Bedanya?

Mengapa sih ada orang yang gemar membidahkan sesamanya, seperti pada kisah di atas. Memang ada pendapat yang tidak membolehkan membaca al-Fatihah dengan niat kepada orang yang meninggal, di sisi lain ada juga yang membolehkan. Seperti pendapat Syekh Az-Zaila’i dalam mazhab Hanafi.

Bahwa seseorang boleh meniatkan pahala amalnya untuk orang lain, seperti haji, bacaan Al-Qur’an, dan sedekah. Bahkan dalam hal yang jarang kita sadari sekalipun boleh, seperti menaruh pelapah kurma di atas kuburan akan meringankan siksaan si mayyit.

Adapun kelompok yang tidak membolehkan hal itu, karena menurut mereka  tidak ada nas dalam Al-Qur’an dan Hadis yang menyatakan boleh mengirimkan pahala Al-Qur’an kepada orang yang meninggal.

Adanya dua pendapat di atas, setidaknya memberikan kita jawaban betapa beranekaberagamnya agama islam. Keduanya berbeda tapi sama-sama punya argumen yang kuat.  Kekuatan argumen itulah yang membawa perdebatan mereka awet sampai kini. Keawetan itu membangun cakrawala beragama kita betapa pluralnya agama ini.

Terkait masalah perbedaan ini, bukan hanya pada argumen saja, tapi juga dari segi adab. Karena membuat hati seseorang terluka oleh perkataannya. Seperti permasalahan yang sempat diceritakan di awal, bagaimana kira-kira perasaan mama saya pada saat itu? Yang awalnya ingin mendapatkan kebahagiaan dikarenakan orang-orang mengirimkan al-Fatihah kepada bapak menjadi sedih dengan perkataan itu.

Perihal adab di sini, Prof. Quraish Shihab menegaskan bahwa walaupun kita berbeda pandangan serta ada superioritas dalam jiwa yang mengatakan bahwa kita benar dan yang lain salah, maka hal itu tidak perlu kita sampai ucapkan kepada orang-orang, agar tidak saling menyalahi satu sama lain. Dan tentunya menjaga perasaan dan keharmonisan sosial kita dengan orang-orang lainnya.

Toleransi Kok Pilih-pilih Masjid?

Disamping kita membahas orang yang gemar bidah, ternyata ada juga loh orang yang menganggap dirinya toleransi dan kebaragaman tapi enggan bergaul dengan mereka yang suka membidahkan. Seperti yang pernah saya baca, kisah orang yang menghargai kebaragaman kok pilih-pilih masjid.

Alkisah, ada seorang pemuda yang sedang mencari indekos yang dekat dengan masjid dan tempat kerjanya. Lamanya mencari, dia mendapati satu indekos yang sangat cocok. Setelah melihat-lihat kondisinya, ternyata dia tidak mau mengambil kos itu, karena masjid yang dekat dengan indekos itu suka membidah-bidahkan.

Kemudian, dia menceritakan kepada Ustaz tentang problem tersebut. Bahwa dia tidak suka kepada orang yang anti sama keberagaman. Respon Ustaz hanya tertawa dan mengatakan “saat kamu mengatakan ‘tidak mau bergaul sama orang yang beda aliran’ itu saya kok melihat kamu itu sendiri yang sedang diomongin. Ya maaf saja kalau saya jadi tertawa.”

“Kalau memang kita adalah orang yang mengedepankan toleransi dan kebaragaman, masa kita tidak bisa menerima kalau ada orang Islam yang berbeda dari kita? Orang Islam yang mungkin lebih keras dari kita soal menjalankan keyakinannya?” ucapnya.

Cerita ini dibawakan dalam buku Ahmad Khadafi berjudul Islam Kita Enggak Ke Mana-mana Kok Disuruh Kembali. Dalam buku itu menjelaskan bahwa walaupun mereka suka membidahkan kita, tapi sehendaknya jangan membalas dengan cara begitu juga. Dengan tidak mau bergaul dengan mereka, menjauhi mereka, berbisik-bisik dan menertawakan mereka, dan meremehkan mereka. Lagi pula apa yang kita tahu soal hal-hal seperti itu juga tidak bisa membuat kita jadi lebih benar dari mereka kalau kita melakukan hal yang selama ini lantang kita lawan.

Kita tanpa sadar jadi radikal atas nama toleransi dan keberagaman. Bikin Batasan-batasan sendiri, tidak mau salat di sana, di sana masjidnya keras, ceramahnya tidak adem dan lain sebagainya.

Oleh karena itu, menjadi seorang muslim sejati adalah dengan mengedepankan rasa hormat terhadap sesamanya. Bukan saling caci-mencaci satu sama lain, tetap menghargai apa yang mereka lakukan bgtupun sebaliknya. Karena pada dasarnya Allah Swt. sendiri yang menilai benar tidaknya perbuatan kita.

Senantiasa menjaga hati sesama, karena toleransi adalah saling menghargai satu sama lain. Bukan saling membenarkan pendapatnya masing-masing. Akhirnya saling menyalahi dan bermusuhan satu sama lain.

Kesimpulan

Pada dasarnya perbedaan itu bukan untuk saling menyalahi, tapi dengan adanya perbedaan itu kita bisa mengenal sudut pandang yang lain. Sehingga membuat kita berpikir, ternyata ada loh orang yang kayak begini. Orang yang suka membidahkan. Nah, dari seseorang itu lah kita bisa banyak belajar, apa arti kehidupan, keberagaman, dan toleransi.

Dengan bermuamalah tanpa pilih-pilih baik orang yang menganggap dirinya toleransi ataupun orang yang gemar membidahkan, maka kita akan mengetahui apa arti sesungguhnya dari ayat Ummatan Wasatho. Seorang muslim harus selalu menjaga pandagan, ucapan, dan perbuatannya terhadap muslim lain, agar tidak terjadi pertengkaran maupun hal yang enggan kita lihat.

Artikel Terkait

Baca Semua Komentar