Wawasan, Kairo— Senin malam 21 Agustus 2023, sekretariat Pengurus Cabang Istimewa Nahdatul Ulama (PCINU) Mesir dibanjiri dengan wejangan yang berupa dialog tentang kebangsaan. Tampak sosok Gurunda Prof. Dr. Nasaruddin Umar MA. selaku Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta dan Rais Syuriah PBNU duduk bersua bersama Syekh Imam Muhammad Bashar Arafat selaku Pendiri dan Presiden Civillizations Exchangeand Cooperation Foundation (CECF), Meryand, Amerika Serikat. Keduanya berperan sebagai pusat pembicara dalam dialog kebangsaan pada malam itu.
Sebuah Kalam Hikmah dari Imam Bashar
Di awal dialog, Syekh Bashar Arafat memulai pembicaran dengan hangat, beliau menceritakan awal pendidikannya di Dimaskus Suriah. Kemudian setelah selesai, beliau diarahkan oleh gurunya untuk melanjutkan studi di Amerika Serikat. Muasal asal berasal, dari sinilah Imam Bashar Arafat menyinggung mengenai peran Nahdhatul Ulama sebagai benteng perjuangan Islam di penjuru dunia khususnya di Amerika Serikat.
Secangkir minuman yang menemani Imam Bashar dalam menyampaikan pesannya. Beliau memulai dengan menceritakan sebuah kisah yang heroik dan cukup menarik. Diceritakan pada awal mulanya tinggal di Amerika, beliau melihat orang muslim di sana tidak memiliki rasa kesatuan antar sesama muslim dalam menegakkan agama Islam, dikarenakan mereka tidak saling mengenal satu sama lain. Padahal Al-Qur’an sendiri sudah menegaskan bahwasanya, jika di dalam diri seorang muslim telah ada rasa saling mengenal satu sama lain, maka akan muncul rasa saling tolong menolong. Kemudian dengan adanya saling mengenal satu sama lain dan saling tolong menolong, maka akan timbul rasa kesatuan. Hal seperti inilah yang seyogyanya seorang Muslim terapkan ketika tinggal di negara yang mayoritas umatnya non-Islam.
Dalam perjalanan hidupnya di Amerika, beliau sangat menanamkan di dalam dirinya untuk senantiasa berakhlak yang baik. Bahkan beliau mengatakan, “Di Amerika ketika ada seseorang yang berakhlak mulia, maka masyarakat akan takjub kepadanya.” Oleh karena itu, selain menanamkan rasa kesatuan antar sesama muslim, akhlak yang baik pun harus senantiasa diterapkan kepada seluruh umat, baik Islam ataupun non-Islam. Hal seperti inilah yang senantiasa beliau pegang sewaktu tinggal di Amerika Serikat.
Dalam penyampaiannya, beliau tiba-tiba melihat sebuah kalimat di tembok yang bertuliskan “Nahdhatul Ulama.” Dalam keadaan spontan beliau langsung menceritakan suatu kejadian yang pernah beliau alami. Dalam perjalanan hidupnya di Amerika, beliau pernah menjual mobilnya kepada seorang non-Islam. Kemudian orang non-Islam ini ingin mencoba mengendarai mobil yang dijual oleh Imam Bashar, apakah mobilnya masih bagus atau tidak. Kemudian Imam Bashar dengan hormat mengizinkan untuk mencobanya. Pada saat orang ini mengendarai mobil, tiba-tiba Imam Bashar bertanya kepadanya, bagaimana posisi seorang ibu di agamamu? Orang ini menjawab, “Yah kami memperlakukannya dengan baik.” Imam Bashar langsung mengatakan “Seorang ibu di agama kami posisinya sangat ditinggikan. Bahkan agama kami pun melarang mengucapkan ‘ahh, huuf’ ketika diperintahkan oleh seorang ibu, demikian itu haram di agama kami”.
Sementara mengendarai mobil, orang yang ingin membeli mobil itu tiba-tiba menghentikan mobilnya dan menyimak penjelasan dari Imam Bashar tentang ibu. Lucunya, karena fokus mendengarkan penjelasan dari Imam Bashar, orang ini lupa ternyata awalnya dia ingin membeli mobil. Kemudian orang ini bertanya, apakah perlakuan seperti ini ada di agama kalian? Imam Bashar pun menjawab “Bahkan setinggi-tingginya penghormatan.” Hadirin yang hadir dalam seminar ini diam menyimak penjelasan dari Imam Bashar. Kemudian beliau mengalihkan sedikit kisahnya dengan menjelaskan bahwasanya seorang ibu di Amerika dihargai ketika berumuran masih muda. Akan tetapi, ketika sudah memasuki umur 60 atau 70 ke atas, penghormatan mereka menurun kepadanya. Kemudian beliau melanjutkan kisahnya, Imam Bashar sepanjang jalan menjelaskan seputar makna seorang ibu. Ketika selesai menjelaskan, alhasil Imam Bashar pun bisa mengislamkan orang yang ingin membeli mobilnya.
Maka dari kisah ini, Imam Bashar mengatakan kepada yang hadir dalam seminar, “Jangan sampai peran Nahdhatul Ulama hanya di Indonesia saja, akan tetapi Nahdhatul Ulama harus eksis di seluruh dunia. Oleh karena itu, jika kalian membaca kalimat ini (Nahdathul Ulama) maka saya akan membacanya ‘Nahdhatul Alam’.” Hal ini beliau sampaikan agar Islam tidak hanya disebarkan di tempat tertentu saja.
Sebuah Kalam Hikmah Dari Prof. Nasar
Selang waktu berjalan, Prof. Nasaruddin Umar mengambil alih pembicaraan. “Kita harus bersyukur sebagai orang Indonesia, dan kita harus bersyukur sebagai orang Islam.” Itulah kalimat pertama yang beliau sampaikan sekaligus membuka pikiran peserta yang hadir dalam seminar kali ini. Kemudian beliau melanjutkan dengan menjelaskan kalimat tersebut, “Kita harus bersyukur menjadi warga Indonesia, dikarenakan negeri kita adalah ‘Qit’atun minal Jannah’ (Serpihan Surga), negara yang berada persis di bawah garis khatulistiwa. Dan secara penelitian mengatakan bahwasanya, negara yang secara letak geografisnya seperti itu maka akan dipenuhi dengan kekayaan alam, baik itu di daratan maupun di lautan”.
“Maka tidak heran di zaman dulu, berbagai macam negara berlomba-lomba ingin menguasai bangsa Indonesia. Salah satu alasannya karena Indonesia kaya akan kebutuhan pokok. Bahkan sekarang pun berbagai macam negara ingin mengaplin Indonesia, namun gaung demi gaung hal itu tidak akan bisa terjadi, selagi NU dan Muhammadiyah masih kompak di Indonesia, maka tidak akan ada yang bisa menggoyahkan negara kita,” ungkap mantan Wakil Menteri Agama Republik Indonesia itu.
Selain karena kekayaan alamnya, Prof. Nasar pun menyampaikan, bahwa kita ini hidup di negara yang kebanyakan berpaham Sunni. Hal ini harus kita syukuri karena ini adalah bagian dari rahmat tuhan. Beda halnya dengan negara yang 50% berpaham Sunni dan 50% lainnya lagi berpaham Syiah seperti halnya di negara Lebanon. Disebabkan akan menimbulkan dampak yang cukup besar, contohnya terkadang terjadi peperangan antar umat Islam (Syiah dan Sunni), dan terkadang mereka bersatu untuk melawan Israel. Jadi negara-negara seperti ini termasuk negara yang berantakan dan penuh dengan konflik. Beda halnya dengan Indonesia yang kebanyakan berpegang terhadap manhaj Sunni. Maka Indonesia akan selalu aman dan tentram.
Kemudian Prof. Nasar melanjutkan pembahasannya yang kedua dengan mengatakan, “Mengapa kita mesti bersyukur menjadi orang Islam?” Beliau mengawalinya dengan menyampaikan sebuah riset bahwasanya sekarang, di mana ada kolom bumi, di situ ada mesjid yang dibangun. Ini menunjukkan bahwasanya di mana ada kolom bumi di situ pasti ada umat Islam yang hidup. Dengan demikian, Prof. Nasar berpesan “Jangan terlalu terpancing ketika ada yang menghina Islam, karena sejarah membuktikan bahwasanya semakin ditentang agama Islam, maka akan semakin dahsyat perkembangan Islam itu sendiri”.
Maka tidak heran saat ini, Islam di beberapa negara ditekan seperti Prancis. Kendati demikian, di balik itu banyak orang yang masuk Islam. Suatu ketika, Prof. Nasar bertemu dengan Presiden Afrika Selatan. Beliau berkata kepada Prof Nasar, “Alhamdulillah kami sangat bersyukur karena Islam masuk ke negara kami dari Indonesia yang dibawah oleh Syekh Yusuf Al-Makassari. Metode yang beliau gunakan sangatlah mudah untuk diterima”.
Di samping itu, Islam pun sangat menjaga aturan-aturan yang ada. Bahkan aturan dalam setiap ibadah baik dari segi finansialnya ataupun dari segi kesehatannya. Salah satu contohnya adalah puasa. Prof. Nasar menjelaskan bahwasanya setiap tubuh manusia mempunyai sel-sel yang mati dan hidup. Maka dengan berpuasa, sel-sel hidup pun akan ikutan lapar, dikarenakan tidak adanya sel-sel yang masuk pada saat puasa, maka yang dimakan hanyalah sel-sel mati. Dan sel-sel yang mati ini adalah sampah-sampah biologis yang berkeliaran di dalam tubuh dan bisa mendatangkan berbagai macam penyakit. Dengan demikian beliau mengatakan “Puasa itu bukan hanya milik orang Islam, tapi yang ingin merasakan kesehatan, berpuasalah”.
Penutup
Sebagai penutup dari kedua Imam yang menjadi pusat pembicara pada malam itu, mereka berpesan agar terus senantiasa belajar sebaik-baik mungkin selama di Mesir. Di samping itu, mereka juga menekankan untuk tetap banyak mempelajari ilmu pengetahuan yang ada di Barat, dan tidak hanya berfokus pada ilmu yang ada di Timur saja. Karena Islam sekarang sudah tersebar di seluruh penjuru dunia.
Reporter: Haeril Yusuf
Editor: Akmal Sulaeman