Oleh: Muhammad Ilham Arsyad
Standar fesyen setiap orang berbeda-beda. Hal itu dipengaruhi oleh beragam aspek; mulai dari selera, lingkungan, tren, pola pikir, idealisme, norma setempat, bahkan agama. Misalnya, orang yang mempertimbangkan aspek selera, agama, dan norma, akan mengenakan pakaian yang disukai, tapi tetap menutup aurat, dan memenuhi standar kesopanan. Seorang instagramer yang tak mau ketinggalan tren misalnya, akan mengunggah gambar dirinya yang memakai outfit yang sedang tren, atau berambut gondrong. Ada pula sebuah suku di Sulawesi Selatan mengharuskan semua penduduk dan pengunjung yang ingin masuk untuk memakai pakaian serba hitam. Apapun alasannya, itulah fesyen yang berlaku di lingkungan suku tersebut. Maka secara praktis bisa dikatakan bahwa dari aspek-aspek tersebut setiap individu membentuk barometer fesyen mereka masing-masing.
Karena adanya perbedaan barometer tadi, maka setiap individu bebas mengekspresikan cara mereka bermode. Namun di saat yang sama, orang lain juga sepertinya bebas beropini dan bahkan menjustifikasi cara berfesyen seseorang. Di lingkungan masyarakat Mesir misalnya, orang yang memakai sarung di luar rumah akan dipandang aneh, karena bagi mereka alih-alih dipakai untuk berbelanja sayur di pasar, sarung bahkan tidak seharusnya dipakai di luar rumah. ‘Aneh’. Satu dari banyak sekali contoh opini tentang fesyen tertentu. Sebut saja rambut gondrong, satu contoh fesyen yang digemari kalangan pemuda beberapa dekade belakangan, namun agaknya ditempeli beberapa stigma. Salah satunya adalah orang dengan rambut gondrong kerap diduga sebagai orang-orang yang memiliki sifat pembangkang dan mental pemberontak.
Kalau kalian belum tahu, ternyata pada zaman orde baru, musuh pemerintah saat itu bukan hanya komunisme, tapi juga lelaki yang berambut gondrong. Loh kok bisa? Pemerintah menganggap rambut gondrong sebagai simbol perlawanan, berkaca pada sejumlah revolusi yang terjadi di Eropa, di mana orang-orang yang melakukan perlawanan kala itu identik dengan rambut gondrong. Karena pemerintah khawatir bakal timbul pemberontakan, maka akhirnya muncul pelarangan rambut gondrong bagi masyarakat Indonesia. What?
Pertanyaan selanjutnya, apakah benar anak-anak muda kala itu memanjangkan rambut sebagai langkah awal melakukan pemberontakan? Saya pribadi tidak tahu. Namun, satu hal yang kita sadari bersama bahwa zaman orde baru adalah zaman di mana arus westernisasi di Indonesia sedang deras-derasnya. Berbagai kalangan —tidak hanya anak muda— kehilangan orientasi. Mereka cenderung meniru apa yang sedang populer pada zamannya, termasuk rambut gondrongnya para revolusioner Eropa tadi. Saya jadi berpikir, jangan-jangan para pemuda kala itu berambut gondrong, niatnya hanya ingin mengikuti tren tapi malah didikriminalisasi atas tuduhan dugaan pemberontakan. Kan sayang.
Masih tentang diskriminasi gondrongers zaman orde baru. Ternyata pelarangan tadi memunculkan beberapa dampak lanjutan. Misalnya, instansi publik menolak melayani orang-orang yang berambut gondrong, setiap pelajar sekolah diwajibkan memangkas rambut gaya ABRI, artis-artis yang gondrong dilarang untuk tampil dilayar kaca, dan bahkan pernah dibentuk badan koordinasi pemberantasan rambut gondrong (Bakorperagon). Mengetahui ini saya jadi tambah kagum sama teman-teman saya para gondrongers, ternyata pemerintah pernah setakut itu sama mereka. hehe.
Saking takutnya pemerintah dengan para gondrongers, mereka menggunakan media —yang  saat itu hampir semuanya mereka kuasai— untuk menghancurkan citra gondrongers. Konon, dalam media-media cetak kisaran tahun 70-an kita akan melihat berita-berita kriminal yang diidentikkan dengan rambut gondrong. Maka dengan masifnya, media sukses menanamkan stigma tentang para gondrongers di benak masyarakat umum dan bahkan tetap melekat sampai saat ini.
Tapi apakah pantas opini tersebut tetap ada? Di sini saya akan mengatakan bahwa diskriminasi dalam bentuk apapun kepada para gondrongers-ku tersayang adalah tindakan yang kolot, lahir dari kekhawatiran orde yang bahkan sudah usang. Sepatutnya kita berpikiran lebih terbuka dan banyak belajar menerima hal-hal unik di sekitar kita. Uhuk.. uhuk.. maaf saya jadi terlalu serius. Hehe.
Lanjut. Mereka juga kadang dinilai sebagai pribadi yang tidak bersih, cenderung amburadul dan tak tahu merawat diri. Padahal kalau ditelisik lebih jauh ternyata mereka tak kalah getol dari kaum hawa dalam hal merawat rambut. Bukti sederhana misalnya, artikel-artikel tentang cara merawat rambut gondrong sama banyaknya dengan artikel-artikel tentang cara merawat rambut panjang bagi wanita. Itu artinya orang gondrong juga sadar bahwa selain butuh dipanjangkan rambut juga wajib dibersihkan. Dan saya yakin kalau perhatian mereka sama rambut mereka sebegitu besarnya, apalagi bagian tubuh yang lain. Masa iya masuk kamar mandi cuma buat keramas dan ga sekalian mandi.
Dari pada menghiraukan opini-opini tadi kenapa kita tidak mencoba melirik sisi positif dari para gondrongers. Di mata saya mereka adalah sosok yang kuat dan tahan banting. Dari semua rentetan diskriminasi yang mereka lalui, tak lantas membuat mereka hilang dari peredaran, mereka terus ada dengan idealisme masing-masing, bahkan sampai punya filosofi tentang kegondrongan itu sendiri. Indah. Dan untuk lebih membesarkan hati mereka, mari kita ingat bahwa manusia yang paling mulia di dunia ini, dalam beberapa babak dari perjalanan hidupnya pernah menjadi gondrongers, terbukti dari beberapa riwayat yang menjelaskan hal tersebut. Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Beberapa minggu kemarin, seorang teman sesama Masisir dan sekaligus seorang gondrongers, resmi menjadi suami dari istrinya saat ini. Dan uniknya, sampai hari resepsi dia sama sekali tidak memangkas rambutnya seperti kebanyakan calon mempelai. Di sana dia tampak gagah dengan rambut panjang yang dikuncir dan terbungkus peci putih. Di samping itu, para Masisir yang hadir sama sekali tak mempersoalkan hal tersebut itu. Dari situ saya berpikir, sepertinya ada dua sikap yang perlu ditiru oleh kebanyakan masyarakat Indonesia saat ini. Yaitu seorang gondrongers yang percaya diri dengan kegondrongannya dan orang-orang sekitar yang toleran dengan para gondrongers.
Sekian dan terima kasih.