Penulis: Maryam Eddin | Editor: Akmal Sulaeman
Hamas kembali meluncurkan serangan mendadak terhadap Israel pada 7 Oktober lalu. Kemudian Israel membalas serangan tersebut dengan menjatuhkan bom sebanyak 6.000 buah di 3.600 titik. Bahkan salah satu rumah sakit Indonesia yang berada di Gaza juga terkena imbasnya. Serangan bom berbobot 4.000 Ton yang diledakkan oleh Israel tersebut berlangsung selama enam hari berturut turut yang menewaskan lebih dari 1.400 orang, yang mana 447 korbannya adalah anak-anak, 248 wanita dan 10 petugas Rumah Sakit. Jika seperti ini, apakah Israel bisa disebut manusia?
Setelah terjadi penyerangan Hamas ke Israel. Khaled Qadomi, selaku juru bicara Hamas mengatakan, bahwa serangan mereka merupakan respon terhadap kejahatan yang sudah dihadapi warga Palestina selama 56 tahun lamanya, lebih tepatnya mereka sudah dijajah dari tahun 1967 hingga saat ini. “Kami ingin komunitas internasional menghentikan kekejaman di Gaza terhadap rakyat Palestina dan tempat suci kami seperti Al-Aqsa. Semua hal inilah yang menjadi alasan di balik pertempuran ini,” ucapnya di salah satu siaran TV Al-Jazeera. Dari banyaknya konflik Israel dan Palestina yang terjadi, saya ingin mengulik beberapa permasalahan, mulai dari profil hamas, nilai kemanusiaan serta pelanggaranya. Hingga peran PBB terhadap konflik yang tidak berujung tersebut.
Antara Hamas dan PLO
Dari segi nama, Hamas merupakan singkatan dari Harakat al-muqawama al-Islamiyah yang berarti “Gerakan Perlawanan Islam”. Gerakan tersebut dibentuk pada tahun 1980 oleh seorang Imam Syekh Ahmed Yasin dan ajudannya, Abdul Aziz Al-Rantissi, tidak lama setelah dimulainya intifada pertama, yakni pemberontakan melawan kependudukan Israel di wilayah Palestina. Gerakan ini membentuk sayap militer, Brigade Ezzedine Qassam yang dipimpin oleh Mohammad Deif. Kelompok ini dibuat untuk melakukan perjuangan bersenjata melawan Israel dengan tujuan membebaskan tanah al-Quds. Tidak cuma itu, mereka juga menawarkan program kesejahteraan sosial kepada warga Palestina yang menjadi korban.
Hamas sendiri secara politis menguasai jalur Gaza sejak tahun 2007 setelah perang singkat melawan Fatah. Sebuah organisasi yang setia kepada Presiden Mahmoud Abbas yang juga merupakan Kepala Otoritas dan Organisasi Pembebasan Palestina, atau Palestine Liberation Organization (PLO). Gaza sendiri adalah wilayah seluas sekitar 365 Km persegi yang merupakan rumah bagi sekitar 2,3 juta orang Palestina, tetapi diblokade oleh Israel.
Hamas dan PLO sendiri mempunyai gagasan berbeda satu sama lain. Sebab, Hamas tidak mengakui kedaulatan negara Israel, sedangkan PLO mengakui keberadaannya. Mereka tidak setuju terhadap perjanjian perdamaian dengan Israel, dan ingin mempertahankan luas wilayah palestina yang lama. Sedangkan PLO setuju dengan pembagian tanah antara Israel dengan Palestina.
Pelanggaran HAM dan Peraturan Perang
Setelah membahas tentang Hamas dan juga perbedaannya dengan PLO. Saya ingin masuk kepada Hukum Humaniter Internasional dan juga Hak Asasi Manusia (HAM), atau hukum perang (Laws of War). Di mana hal ini menjadi suatu norma yang harus dipatuhi oleh masyarakat internasional dalam perang konflik bersenjata.
Sebuah perang, umumnya dilakukan untuk menyelesaikan sengketa atau perselisihan yang sudah terjadi. Mereka menggunakan berbagai macam alat tempur dan senjata untuk saling menaklukkan. Akan tetapi, pastinya ada beberapa hal yang dilarang saat berperang. Seperti menyerang warga sipil, tenaga medis, rumah sakit, benda cagar budaya, dan korban perang. Tentunya peraturan ini telah dilanggar oleh Israel saat menyerang Palestina. Coba kita kembali ke poin awal tadi, tentang penyerangan rumah sakit, apakah ini bersifat manusiawi? Hal ini seharusnya dikecam, karena melanggar peraturan perang.
Selain itu, hal tersebut juga telah mencederai arti dari nilai-nilai HAM. Padahal di dalamnya sering kita jumpai kata-kata, “Semua manusia berhak mempunyai hak dan memiliki haknya masing masing. Seperti hak untuk hidup, hak untuk memperoleh keadilan, hak atas rasa aman dan lainnya.” Tragedi yang rakyat Palestina alami dapat diidentifikasikan sebagai pelanggaran HAM. Di mana serangan terhadap Hak Asasi Manusia secara sistematis dan meluas yang menyebabkan korban jiwa, dan menimbulkan kerugian fisik, psikologis, ekonomi, sosial dan budaya.
Hilangnya HAM di Palestina
Kabar memilukan terjadi di medan perang Israel dan Palestina. Serangan bom berbobot 4.000 Ton yang diledakkan Israel 6 hari berturut-turut tersebut menewaskan Iebih dari 1.400 orang, yang mana 447 korbannya adalah anak-anak, 248 wanita dan 10 petugas kesehatan.
Kepala Unit Gawat Darurat Rumah Sakit Martur Al-Aqsa, Gaza, Dr. Abdul Rahman Al-Masri mengatakan bahwa situasi saat ini memicu keputusasaan antar warga di sana. Sebagian orang tua bahkan terpaksa menuliskan nama anak-anak mereka di anggota badan masing-masing, agar jasadnya mudah dikenali bila terkena gempuran bombardir Israel.
“Banyak anak-anak yang hilang, banyak jasad juga yang sampai di sini dengan tulang patah atau putus dan tidak mungkin untuk mengidentifikasi mereka, hanya melalui tulisan itulah mereka dapat diidentifikasi,” ucap salah satu petugas Rumah Sakit di kutipan CNN sebagai validasi dari pernyataan di atas.
Namun sayangnya, Israel menolak untuk bertanggung jawab atas serangan yang terjadi pada rumah sakit di Gaza. Mereka justru menuduh para Mujahid Palestina sebagai pelakunya. Padahal, beberapa bukti memperlihatkan serangan itu dilakukan oleh militer Israel. Salah satunya peringatan yang diberikan terhadap Israel untuk mengebom Rumah Sakit, juga video yang diunggah oleh Wall Street Journal.
Di sisi Iain, Israel juga memblokir suplai air, makanan dan sumber energi penduduk gaza, dan terus menurunkan serangan militer di sana, sehingga jutaan orang kehilangan akses listrik termasuk rumah sakit. Akibatnya banyak Rumah sakit di Gaza yang kewalahan.
Dikabarkan dari Kementrian Kesehatan Palestina pada Minggu 8 Oktober 2023, sebanyak 2.300 korban luka-luka dan 413 Korban meninggal, 78 di antaranya adalah anak-anak. Tidak hanya iłu, Israel juga menghalangi negara yang ingin membantu Palestina seperti Mesir pada salah satu postingan Facebook, bahwa sebagian warga Mesir berbondong-bondong mengirim pasokan makanan ke Gaza lewat perbatasan, akan tetapi ditahan pada gerbang Rafa’.
Peran PBB Terhadap Konflik
Serangan yang dilakukan oleh Israel telah banyak merusak dan menghancurkan tempat tinggal, tempat ibadah, dan kantor. Sebagian besar negara-negara di belahan dunia, terutama yang memiliki penduduk beragama Islam, sangat mengecam tindakan yang dilakukan oleh Israel terhadap Palestina. Para Pembela HAM Internasional di berbagai belahan dunia dan PBB pun menyatakan, bahwa perlakuan Israel terhadap Palestina ini merupakan perlakuan kejahatan perang dan sudah melanggar hak-hak kemanusiaan.
Mulai dari awal konflik hingga saat ini, peran PBB sering dikesampingkan dalam usaha perdamaian antara Israel-Palestina. Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa tersebut memiliki tanggung jawab penuh untuk memelihara perdamaian dan keamanan internasional sesuai dengan piagamnya, belum mampu untuk mengatasi konflik Israel-Palestina. Beberapa negara bahkan menggunakan pengaruhnya untuk menjauhkan diri dari agenda tersebut. Akhirnya, upaya perdamaian konflik Israel-Palestina menjadi lebih sering dilakukan oleh Majelis Umum PBB.
Pada saat ini, peran krusial PBB di Timur Tengah ditangani oleh Department of Political Affairs (DPA). DPA bertanggung jawab atas segala kebijakan terhadap proses perdamaian Timur Tengah, termasuk Israel-Palestina, dan memberikan dukungan serta bimbingan kepada United Nations, Special Coordinator for the Middle East Peace Process (UNSCO). UNSCO sendiri mempunyai fungsi sebagai fokus politik PBB dalam mendukung proses usaha perdamaian dalam konflik Israel-Palestina.
Mengutip salah satu perkataan Duta Besar Palestina untuk Britania Raya, Husam Zomlot mengatakan, “Ini bukan tentang mengutuk serangan Hamas, tetapi ini adalah konflik politik dan hak-hak warga Palestina yang telah ditolak sejak dulu, percakapan sebenarnya adalah bagaimana kita bisa menghentikan lingkaran setan mematikan ini,” ungkapnya dalam siaran TV Sky News.”
Dari perkataan Husam tersebut saya teringat dengan perkataan Koffi Annan, diplomat asal Ghana, “Kita mungkin punya agama yang berbeda, bahasa yang berbeda, dan warna kulit yang berbeda, tetapi kita semua berdiri untuk satu kemanusiaan.” Sehingga hal ini juga mendasari kesimpulan tentang perlunya kita membuka mata kembali atas konflik yang telah terjadi. Menimbulkan sebuah pertanyaan, apakah benar ini hanya konflik agama, atau melibatkan rasa kemanusiaan? Terakhir kita perlu sadar terhadap dampak yang mungkin akan terjadi jika terus dilakukan.