Penulis: Haeril Yusuf | Editor: Afriadi Ramadhan
Kita tak bisa menutup mata terhadap kenyataan bahwa perayaan maulid masih dilarang bahkan dikecam di beberapa tempat di dunia. Salah satu alasannya karena perayaan maulid dianggap tidak pernah dilakukan oleh Nabi sehingga bukan termasuk dari ajaran syariat. Akan tetapi, tidak sedikit negara Islam justru menggelar perayaan maulid secara terang-terangan, seperti Mesir dan Indonesia. Mayoritas kita sebagai Masisir juga termasuk dari kalangan yang setiap tahun merayakan maulid ini. Akan tetapi, adakah alasan yang kita pegang akan perbuatan itu? Sudah pantaskah alasan tersebut menjadi dalil yang menunjukkan bahwa peringatan maulid tidaklah melanggar syariat Islam?
Maka di sini, penulis akan memaparkan beberapa dalil yang menunjukkan bolehnya merayakan maulid Nabi Muhammad Saw. Jangan hanya baca setengah, agar pemahamanmu juga tidak setengah-setengah.
Benarkah Nabi Saw. tidak pernah merayakan hari lahirnya?
Pada hakikatnya, perayaan maulid itu sudah dilakukan oleh Nabi Saw sebagai shahib (pemilik) maulid itu sendiri. Beliau merayakan kelahirannya dengan berpuasa pada tiap hari Senin.
Hal ini berdasarkan jawaban Rasulullah ketika ditanya tentang mengapa beliau selalu berpuasa pada hari Senin,
ذَاكَ يَوْمٌ وُلِدْتُ فِيهِ
“Hari itu merupakan hari kelahiranku”
Maulana Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki Al-Hasani dalam kitabnya,
“حول الإحتفال بذكر المولد النبوي الشريف” الْحَاصِلُ اَنّ الْاِجْتِمَاعَ لِاَجْلِ الْمَوْلِدِ النَّبَوِيِّ اَمْرٌ عَادِيٌّ وَلَكِنَّهُ مِنَ الْعَادَاتِ الْخَيْرَةِ الصَّالِحَةِ الَّتِي تَشْتَمِلُ عَلَي مَنَافِعَ كَثِيْرَةٍ وَفَوَائِدَ تَعُوْدُ عَلَي النَّاسِ بِفَضْلٍ وَفِيْرٍ لِاَنَّهَا مَطْلُوْبَةٌ شَرْعًا بِاَفْرِادِهَا.
Bahwa sesungguhnya merayakan Maulid Nabi Saw merupakan suatu tradisi yang baik, yang mengandung banyak manfaat dan faidah yang kembali kepada manusia, sebab adanya karunia yang besar. Oleh karena itu, perayaan maulid dianjurkan dalam syariat dengan serangkaian pelaksanaannya
Merayakan maulid sebagai bentuk kebahagiaan, apakah tetap salah?
Ketika dilihat-lihat dari fakta yang ada, peringatan maulid ini senada dengan ibadah umum dan mendatangkan berbagai macam kebaikan. Mulai dari pembacaan ayat suci Al-Qur’an, kemudian pembacaan sirah Rasululah Saw. Bahkan di berbagai tempat peringatan maulid terkadang disertai dengan pemberian makanan kepada jamaah yang hadir. Dan perkara-perkara seperti ini merupakan perkara yang dianjurkan kepada kita.
Dalam kitab “المولد العلي” yang dikarang oleh ulama terkemuka yaitu Syekh Nuruddin Ali Jum’ah, dikatakan, “Membagikan makanan merupakan perkara yang dianjurkan disetiap waktu dan perbuatan yang dicintai oleh Allah Swt. Maka bagaimana jika kita gabungkan perkara tersebut dengan kegemberiaan atas lahirnya pembawa cahaya di muka bumi ini”.
Jangankan orang muslim yang mendapat balasan atas kegembiraannya, orang kafir pun dapat privilege kebaikan atas kegembiraan mereka terhadap kelahiran nabi pembawa cahaya ini.
Dijelaskan dalam kitab Fathul Bari karangan Imam Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani, diceritakan bahwa Abu Lahab mendapatkan keringanan siksaan setiap hari Senin karena dia gembira atas kelahiran Rasulullah.
Sampai di sini, dapat dipahami bahwa perayaan maulid nabi bukanlah ibadah baru (bidah), karena isi acara dalam perayaan maulid adalah bacaan selawat, Al-Quran dan mau`idzah hasanah (nasihat kebaikan).
Dengan demikian dalam perayaan maulid hanya formatnya saja yang baru, sedangkan isinya merupakan ibadah-ibadah yang telah diatur dalam Al-Qur’an maupun hadis.
Keterangan Al-Quran tentang peringatan maulid
Berbicara mengenai dalil dari Al-Qur’an, para ulama pun banyak yang berlandaskan dari QS. Yunus: 58,
( قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُوَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ)
“Katakanlah dengan anugerah Allah dan Rahmat-Nya (Nabi Muhammad Saw.) hendaklah mereka dengan itu bergembira. Itu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan”. Ayat ini menganjurkan kepada umat Islam agar menyambut gembira anugerah dan rahmat Allah SWT.
Terjadi perbedaan pendapat diantara ulama dalam menafsirkan kata الفضل dan الرحمة. Ada yang menafsirkan kedua lafadz itu dengan makna “Al-Qur’an” dan ada pula yang memberikan penafsiran yang berbeda.
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa yang dimaksud dengan الفضل adalah ilmu, sedangkan الرحمة adalah Nabi Muhammad Saw. Pendapat yang populer adalah yang menerangkan arti الرحمة dengan Nabi Muhammad karena adanya isyarat firman Allah SWT ( وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ) “Kami tidak mengutus engkau melaingkan sebagai Rahmat bagi seluruh alam”.
Berkaitan dengan ini, Syekh Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki Al-Hasani mengatakan, “Bergembira dengan adanya Rasulullah Saw. ialah (perbuatan yang) dianjurkan berdasarkan firman Allah Swt. pada QS. Yunus di atas.
Kalau ulama berbeda pendapat, kita harus apa?
Perbedaan seperti ini merupakan hal yang lumrah dan sering terjadi dikalangan ulama-ulama terdahulu. Namun yang menjadi titik poin dari adanya perbedaan ini, bagaimana cara kita dalam menyikapi perbedaan, baik dengan saling menghargai pendapat, atapun tidak saling menyalahkan satu sama lain. Sebab semua kita bertindak atas pilihan yang dianggap paling mendekati kebenaran. Sama sekali tidak ada jaminan bahwa pendapat kita yang seratus persen benar.
Tidak terlepas dari itu, perbedaan pendapat ini juga merupakan rahmat. Karena saya yakin bahwa kelompok yang membolehkan dan yang melarang punya alasan mendasar yang sama, yaitu karena sama-sama cinta terhadap baginda Nabi Muhammad Saw.
Saking cintanya kepada nabi, mereka sangat berhati-hati dalam beribadah. Juga karena saking cintanya kepada nabi, mereka sangat bergembira sampai rela keluar biaya untuk merayakan maulid.