Wawasan, Kairo— Islam saat ini sudah menjadi agama yang dianut oleh sebagian besar masyarakat Nusantara. Bahkan penyebaran dan pengajarannya pun sampai saat ini semakin masif hingga dapat dijangkau oleh berbagai kalangan.
Dalam historisnya, ternyata awal mula penyebaran dan pengajaran yang dilakukan oleh ulama Nusantara dulunya mempunyai cara tersendiri. Untuk mengulik hal tersebut, Kru Wawasan telah melakukan wawancara bersama Ustaz Miftahuddin Wibowo, Lc. yang merupakan penggiat sejarah dan founder dari Pojok Peradaban di Mesir.
Dalam sesi wawancara tersebut, ternyata terdapat beberapa fakta menarik yang kami dapatkan. Mulai dari bagaimana ulama Nusantara melakukan pengajaran Islam yang berbahasa Arab kepada Masyarakat Nusantara, hingga bagaimana para penuntut ilmu asal Nusantara tersebar hingga ke Timur Tengah seperti Mesir.
Dakwah Islam dan Proses Asimilasi Aksara di Nusantara
Pada masa sebelum Islam menjadi sebesar sekarang, salah satu metode pengajaran serta penyebaran Islam di Nusantara oleh para ulama kita, itu menggunakan aksara-aksara daerah. Adapun aksara yang dimaksud adalah abjad Arab yang dimodifikasi untuk menuliskan bahasa-bahasa daerah seperti aksara Pegon yang berasal dari pulau Jawa, aksara Serang yang berasal dari Sulawesi, dan lain sebagainya.
Aksara-aksara daerah tersebut lah yang digunakan oleh para ulama untuk memudahkan mereka dalam mengajar serta menyebarkan Islam. Hal ini dilakukan sebab hal tersebut dinilai dapat lebih mudah diterima oleh masyarakat Nusantara pada masa itu.
Hingga sekarang, aksara-aksara tersebut hanya bertahan sedikit saja. Berdasarkan penjelasan Ustaz Miftah hal ini terjadi karena biasanya aksara Pegon, Hindu-Budha ataupun Carakan (Red-huruf Jawa), Sunda, Lontara dan jenis aksara pra-Islam lainnya itu tidak bertahan kecuali ada entitas Kerajaan atau kesultanan. Contohnya aksara Sunda yang bukan Arab telah lama hilang.
Hal ini pun menjadi penguat mengapa kini aksara tersebut menjadi kurang lestari. Meski seperti itu aksara-aksara tersebut berjasa besar dalam pengajaran dan penyebaran Islam oleh ulama kita pada zaman dahulu.
Pencetakan Karya Ulama Nusantara di Timur Tengah
Beberapa waktu lalu, PMIK bekerja sama dengan Pojok Peradaban untuk mengadakan Pameran Musawwadat Ulama Nusantara. Pada pameran tersebut, disajikan beberapa manuskrip langka berusia ratusan tahun karya ulama-ulama Nusantara bahkan di antaranya terdapat beberapa naskah yang berbahasa daerah menggunakan huruf Arab seperti Bugis, Jawa, dan Melayu. Sehingga hal itu pun mengundang pertanyaan seperti mengapa manuskrip-manuskrip tersebut dapat sampai di Mesir?
Hal ini terjadi karena pada masa kolonial, percetakan-percetakan di Nusantara masih didominasi oleh percetakan Belanda yang typing atau huruf baris pada mesin cetaknya menggunakan huruf latin. Pada masa itu pula hanya ditemukan beberapa mesin cetak yang menggunakan aksara daerah, contohnya aksara Hanacaraka atau Carakan. Hal tersebut disampaikan Ustaz Miftah ketika ditanya perihal adanya naskah-naskah berbahasa daerah itu di Mesir.
Sebab susahnya ditemukan percetakan yang memiliki typing yang berbahasa Arab, maka ulama kita berinisiatif untuk menitipkan naskah-naskah mereka kepada orang-orang yang ingin berangkat haji yang kemudian dibawa dan dicetak di Makkah atau Kairo yang percetakannya lebih maju pada saat itu.
“Salah satu percetakan yang pertama kali mencetak karya ulama kita adalah percetakan milik pemerintah, yang bernama Matba’abah Amiliyah di Bulak, seberang Sungai Nil sebelah barat. Namun, di sana kita tidak memiliki banyak data yakni nggak sampai sepuluh buah kitab, yang ada di Dar Kutubkhana atau Perpustakaan Kerajaan,” jelas Ustaz Miftah sembari menyilakan kami untuk minum secankir greentea yang telah beliau siapkan.
Dalam hal ini, Ustaz Miftah juga menambahkan bahwa meski naskah tersebut dicetak di negara-negara seperti Mesir dan Makkah tetapi konsumsi dari cetakan tersebut tetap dilakukan oleh masyarakat Nusantara.
Penyebaran Penuntut Ilmu Asal Nusantara Hingga ke Mesir
Dititipnya naskah-naskah ulama Nusantara di Timur-Tengah terindikasi menjadi salah satu penyebab adanya pelajar asal Indonesia di Mesir. Hal ini disebabkan oleh kehausan orang-orang akan ilmu. Setelah berangkatnya mereka ke Makkah sekaligus membawa naskah-naskah ulama Nusantara, mereka biasanya akan melanjutkan perjalanan mereka ke Mesir untuk menuntut ilmu dan mencari sanad guru-guru mereka di Makkah sebab kebanyakan ulama-ulama di sana juga belajar di Mesir.
Seperti yang telah disebutkan tadi bahwa hal tersebut menjadi indikasi adanya penuntut ilmu asal Nusantara untuk pertama kalinya di Mesir. Dalam perbincangan kami bersama Ustaz Miftah, beliau juga sempat menyebutkan satu nama yang terindikasi menjadi Mahasiswa Indonesia di Mesir (Masisir) pertama. Nama yang disebutkan yaitu K.H. Abdul Mannan Dipomenggolo.
Kedatangannya, diperkirakan pada tahun 1860-an. Pada Masa itu, beliau bermukim di Ruwaq Jawa, sebuah satu bilik kecil yang didiami oleh para pelajar Al-Azhar dari Nusantara.
Beragam indikasi ini sepertinya masih kurang lengkap, sebab dalam sebuah sumber K.H. Abdul Mannan Dipomenggolo tercatat bahwa ia berguru kepada Syekh Ibrahim Baijuri yang merupakan Murid dari Syekh Abdullah Syarqawi. Di catatan lain ditemukan pula bahwa sebelum itu, sudah ada beberapa orang Indonesia yang berguru pada Syekh Abdullah Syarqawi, “Itu terjadi pada tahun 1798, namun kami kurang memiliki data tentang hal itu, tetapi terdapat indikasi,” jelas ustaz Miftah mengenai hal tersebut.
Meski masih belum cukup informasi yang dapat menjadi sumber pasti akan hal tersebut, hal ini sudah menjadi langkah awal bagi para ilmuwan serta para penggiat sejarah untuk dapat mencari tahu lebih lanjut tentang hal ini.
Penjelasan-penjelasan Ustaz Miftah yang dimulai dari sejarah pengajaran Islam di Nusantara, proses Arabisasi, pencetakan naskah ulama Nusantara di Timur Tengah hingga indikasi orang Indonesia yang pertama kali sampai di Mesir tentunya telah menjawab beberapa pertanyaan yang menjadi teka-teki di awal. Namun hal ini belum dapat memuaskan rasa penasaran kita seluruhnya mengingat masih banyak sekali sejarah-sejarah di dunia yang masih belum diketahui oleh kita. Fakta ini pun tentunya menjadi dorongan terhadap diri kita untuk lebih mencintai sejarah serta memiliki rasa penasaran yang tinggi untuk mencari tahu perihal sejarah tersebut.
Sejarah mungkin hanya sekadar masa lalu yang telah kita lewati, akan tetapi dengan sejarah-sejarah tersebut kita dapat belajar banyak hal dan dapat lebih mengenal diri, agama, bangsa, serta dunia kita secara lebih jauh.
Reporter: Muhammad Rizqi Fauzi
Editor: Akmal Sulaeman