ArtikelEsai

Bagaimana Jurnalistik Menyelinap dalam Dirimu

Penulis: Afriadi Ramadhan | Editor: Akmal Sulaeman

Jika kamu orang baik, maka sebenarnya aliran darahmu telah tercampur dengan nilai jurnalistik. Hanya saja, mungkin kamu belum menyadarinya.

Begini, orang yang baik selalu membawa kedamaian ke mana-mana. Baik dari tingkah laku, terlebih lagi dari tutur kata. Kamu tahu kan, kalau lidah sangat berpotensi menjadi pedang. Meski kata-kata tak kasat mata, tapi bisa melubangi banyak kepala. Satu kali saja kata-kata membuat kekacauan, maka akan sulit untuk dibereskan. Pasti itu.

Makanya, Rasulullah Saw. pernah menyebut salah satu standar kebaikan seseorang.

وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَليَــقُلْ خَــــيْرًا أَوْ لِيَـصـــمُــتْ

“Siapa pun yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaknya dia mengucap perkataan baik, atau diam.

Hal ini karena seseorang bisa dinilai dari omongannya. Kata-kata lahir dari pemikiran. Mulut seperti ujung teko yang selalu mengeluarkan sesuai isi kepala. Sebab itu, kita perlu menyaring bersih semua informasi yang mengisi otak. Dan jurnalistik merupakan pasukan paling depan yang mengemban amanah ini.

Jurnalistik bertanggung jawab atas “kebersihan” informasi yang kamu konsumsi.

Layaknya untuk menjaga kebersihan lingkungan, petugas bersih-bersih saja tidak cukup, tetapi perlu kontribusi langsung dari semua orang. Juga untuk menjaga stabilitas informasi dan membasmi hoaks, wartawan saja tidak cukup. Semua orang dibutuhkan untuk ikut membantu, apalagi orang Islam. Caranya sederhana, juga mudah dilakukan.

Bill Kovach, seorang raksasa dunia jurnalistik, bersama rekannya dalam buku The Elements of Journalism, menyebut sembilan elemen penting yang harus banget dipegang erat. Sembilan elemen ini kedudukannya sama. Akan tetapi, Kovach dan Rosenstial menempatkan elemen jurnalisme yang pertama adalah; berpihak pada kebenaran.

Standar Paling Dasar untuk Menjadi Orang Baik

Keberpihakan terhadap kebenaran adalah standar dasar yang harus kita miliki agar menjadi orang baik. Bagaimana kita mau disebut orang baik, jika hal penting seperti kebenaran tidak pernah kita perhatikan.

Jika malas berpikir, tak bersifat skeptis, dan tak peduli dengan kebenaran, maka besar peluang kita menjadi lumbung masalah di masyarakat. Sebab dengan sifat apatis itu, berita bohong dan negatif sangat rawan keluar dari lisan kita. Dan akan menjadi lebih berbahaya jika orang lain juga langsung percaya dan mengikuti.

Kejadian nyatanya sangat sering terulang di permukaan dunia maya Indonesia. Bila melihat jauh ke belakang, kasus Jessica Wongso sangat pantas dijadikan contoh. Hanya beberapa saat setelah kematian Mirna di sebelahnya, Jessica sudah menuai teramat sangat banyak tuduhan, caci-maki, umpatan, dan hal buruk lainnya.

Padahal, sidang sama sekali belum berjalan. Belum ada keputusan siapa yang terdakwa. Bahkan mungkin sirine ambulance-nya Mirna saat itu pun masih dalam on the way rumah sakit, ketika para netizen melontarkan kalimat kasar nan kejam terhadap Jessica.

Memangnya dia tahu  dari mana kalau Jessica yang membunuh Mirna? Tahu dari Hongkong?! Penyelidikan saja belum mulai, sudah menghujat orang jalang pembunuh.

Bukan, bukan saya memihak kepada Jessica dalam hal ini. Akan tetapi poin yang ingin saya sampaikan adalah, kok bisa mereka berteriak kasar selantang itu padahal belum tahu apa-apa?

Baiklah, kalau kamu belum sepenuhnya terima dengan contoh kasus Jessica. Saya akan nyebutin satu contoh lagi, tapi lebih lucu.

Tahun 2020, publik sempat digemparkan oleh serial drama The World of The Married. Sebuah acara televisi Korea yang mengangkat perselingkuhan sebagai konflik utama. Nah, karena terbawa suasana menonton serial ini, para netizen akhirnya meluapkan emosinya di akun Instagram aktris pemeran “pelakor” di serial tersebut. Apa-apaan, Hei!

Dilansir dari Kompas.com, Han So-Hee sebagai aktris yang menjadi sasaran hujatan netizen Indonesia mengaku, setidaknya ada 60.000 komentar merupakan pesan kebencian.

Kalau kenyataannya begini, maka tidak heran kalau riset Microsoft menyebut bahwa netizen Indonesia adalah yang paling tidak sopan se-Asia Tenggara. Emang ngeri, sih.

Makanya, agar terselamatkan dari hal memalukan itu. Kita memang perlu benar-benar teliti dalam mencari kebenaran. Tidak mudah termakan dengan omongan orang. Buktikan terlebih dahulu, baru percaya. Harus rajin melakukan tabayyun (validasi) dan jangan suka menuduh sembarangan. Seperti itulah bentuk pengamalan elemen jurnalistik pertama.

Menelisik fenomena pada warga Indonesia ini, ternyata telah menjadi penyakit sejak dahulu. Salah seorang Bapak Pendiri Bangsa, Tan Malaka pernah bilang, “Sumber ketertinggalan dan keterbelakangan masyarakat Indonesia itu adalah (penyakit) Logika Mistika”.

Tan Malaka menjelaskan bahwa orang Indonesia pada umumnya memiliki cara berpikir yang cenderung percaya terhadap hal-hal yang tak bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya. Masih sama persis dengan keadaan kita saat ini. Kata Tan, kalau ingin negara makin maju, kita harus bebas dari Logika Mistika itu dulu.

Menyuntikkan Nilai Jurnalistik ke dalam Aliran Darah

Enggak perlu jadi wartawan untuk bisa selalu berpihak sama kebenaran. Kita semua bertanggung jawab atas apa yang keluar dari mulut kita. Hanya menyampaikan sesuatu yang kita jamin sendiri kebenarannya.

Kalau kita mengatakan hal baik, maka harapannya adalah kebaikan lain bisa lahir dari ucapan itu. Bukan sebaliknya.

Toh, sabda Nabi Muhammad juga udah jelas banget. Pilihannya cuma dua; mengatakan yang baik, atau kalau enggak bisa, mending diam. Karena menceritakan informasi yang belum jelas, apalagi bersifat negatif, tidak pernah menjadi pilihan.

Dari itu, kita semua bertanggung jawab untuk menjaga kebersihan informasi di lingkungan kita. Itulah mengapa kita diberi dua telinga dan hanya satu mulut, agar kita lebih banyak mendengar daripada berbicara. Walaupun semua informasi -yang benar dan yang salah-  bisa masuk lewat telinga kita, tapi kita punya kendali penuh untuk memastikan tidak ada yang keluar dari lidah kecuali apa yang diyakini sebagai kebenaran.

Lebih menariknya lagi, sebelum Bill Kovach merumuskan elemen jurnalistik tentang menjaga stabilitas kebersihan informasi, Al-Quran dan hadis sudah jauh lebih dulu menjelaskan tentang bagaimana memaksimalkan fungsi telinga dan mulut dengan baik dan benar. Seperti disebutkan dalam QS. Al-Hujurat: 13,

 

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ آمَنُوٓا۟ إِن جَآءَكُمْ فَاسِقٌۢ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوٓا۟ أَن تُصِيبُوا۟ قَوْمًۢا بِجَهَٰلَةٍ فَتُصْبِحُوا۟ عَلَىٰ مَا فَعَلْتُمْ نَٰدِمِين

“Wahai orang-orang beriman! Jika seseorang yang fasik datang kepadamu membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya, agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan (kecerobohan), yang akhirnya kamu menyesali perbuatan itu.”

Tak hanya sampai di situ, ketegasan dan keseriusan Islam dalam menjaga kebersihan informasi dan stabilitas publik dari berita hoaks juga semakin kuat melalui sabda Nabi Saw.

كَفَى بالمَرْءِ كَذِبًا أنْ يُحَدِّثَ بكُلِّ ما سَمِع

“Cukuplah seseorang dikatakan pembohong, jika ia berbicara tentang semua yang ia dengar.”[H.R. Muslim]

Jika kamu telah mengamalkan nilai ini, berarti kamu sudah menjadi baik dengan menghidupkan nilai luhur agama Islam, jurnalistik, dan kemanusiaan dalam waktu yang bersamaan. Bahkan, tanpa kamu sadari sebelumnya.

Artikel Terkait

Beri Komentar