Cerpensastra

Hadiah Paling Berkilau

Penulis: Sarah Shofiah | Editor: Akmal Sulaeman

Aroma rumput basah tercium dari luar jendela. Suara jangkrik memecah keheningan malam. Nampak beberapa pot usang berjejer di balkon wastu tua perkebunan. Jendelanya besar, dindingnya dicat kuning pucat, terbuat dari kayu jati yang kokoh. Dari balik jendela, terlihat dua siluet yang sedang serius membahas sesuatu.

Malam itu tengah terjadi badai, kilat terus menyambar ke segala arah. Bersamaan dengan itu, terdengar bisikan tepat di telingaku, “Mama, boleh aku tidur di sampingmu? Aku mengalami mimpi buruk,” ujar anakku yang berdiri di samping ranjangku. Aku masih memejamkan kedua mataku, berharap agar dia segera pergi dan kembali ke kuburannya.

Kaos Lily basah. Tubuhnya bergetar. Tangannya terasa dingin dan berkeringat. Satu lagi cerita yang berhasil membuatnya membeku ketakutan. Gadis remaja itu segera menarik selimutnya. Ia tak kuasa mendengar kelanjutan cerita Jena, kawan yang setia menemaninya.

Lily seorang gadis yang ceria tapi sangat penakut. Mulutnya tak pernah berhenti mengeluarkan ocehan, menanyakan ini dan itu. Berbagai pertanyaan mengenai dunia adalah makanan sehari-harinya. Sebab, mata yang indah nan berbinar diwajah Lily, hanya menampilkan kegelapan sejak ia keluar dari rahim ibunya yang juga telah mendahuluinya. Ia menderita kebutaan sejak lahir.

Papanya adalah seorang dokter. Ia tak ingin status buta pada anaknya mencoreng nama baiknya dan menghambat karirnya. Segala upaya dilakukannya demi memberikan penglihatan pada anaknya. Lily pun mendapat mata baru. Tinggal menghitung bulan hingga matanya benar-benar siap meninggalkan masa kelamnya.

Lily melalui masa pemulihannya bersama Jena. Seorang gadis muda yang datang ke rumahnya pasca operasi. Sosok ajaib yang hadir bagai malaikat penolongnya melewati masa sulitnya. Setiap malam Jena akan menyuguhkan kisah pengantar tidur. Cerita yang pas untuk mengganggu Lily yang penakut.

“Kau ini sangat payah, cerita tadi masih pemanasan,” ungkap Jena dengan suaranya yang serak. “Ini adalah kisah terakhirku, besok kau sudah sembuh. Tak ada lagi cerita yang menghantui malammu,” tambahnya.

“Malam ini adalah perpisahanku denganmu?” Tanya Lily dengan ragu. Ia sangat menyukai sahabatnya itu, tak ingin berpisah darinya sedetikpun. Namun Jena hanya duduk mematung. Ia tak memberi jawaban atau isyarat sedikitpun.

“Benarkah?” Lily masih penasaran. Hal itu seperti menghantui pikirannya. Lagi-lagi ia tak mendapat respon. Seolah tak mendengar pertanyaan itu, Jena segera kembali membacakan ceritanya. Suasana kembali hening.

Aku sedang berbaring di kasur sembari video call dengan sahabatku, tiba-tiba ponselku terjatuh ke lantai. Aku segera mengulurkan tangan. Saat aku meraihnya, terlihat wajah sahabatku seketika berubah. Dari seberang ia berbisik dengan suara gemetar, “Pelan-pelanlah keluar kamar, ada seseorang sedang merangkak tepat di bawah tempat tidurmu”.

“Cukup! Aku tak sanggup lagi. Biarkan aku tidur,” Lily menyeru dengan suara bergetar. Hatinya gelisah. Ketakutan kembali melumpuhkan badannya.

“Baiklah. Aku rasa cukup untuk malam ini. Kau harus istirahat cukup agar bugar menjalani proses perawatan terakhir esok hari.” Jena patuh dan segera membiarkan Lily beristirahat dengan nyaman.

Sebelum benar-benar meninggalkan Lily, Jena mendekat dan berbisik, “Besok-besok, jika kau tidak mengenaliku, lihat saja tembok ini. Warnanya persis dengan rambut milikku. Jaga-jaga kalau kau belum bisa membedakan warna”.

Keesokan paginya, Lily berangkat menuju rumah sakit bersama papanya. Hari ini ia benar-benar sudah bisa melihat dengan mata barunya. Sepanjang perjalanan menuju rumah, Lily tak henti memandangi apapun yang lewat di depannya.  Kendaraan berlalu-lalang, hingga daun pohon yang terbang tertiup angin, tak lepas dari pengawasannya.

Mobil Lily terparkir tepat di depan rumah. Remaja itu segera mengambil langkah besar, buru-buru mencari seseorang. Tapi tak seorangpun berada dalam rumah tua itu. Lily terus menyusuri rumah, berharap menemukan Jena, sahabatnya. Hingga akhirnya harapannya pupus saat memasuki kamarnya.

Foto-foto bertebaran nyaris memenuhi ruangan. Foto gadis muda cantik dengan mata indah. Mata biru yang sama dengan wajahnya yang ia lihat di cermin. Di saat yang sama muncul pantulan sosok itu di belakangnya. Berambut kuning panjang. Senyumnya lebar memenuhi pipi dan memperlihatkan deretan giginya. Namun, tak ada tatapan hangat yang menghiasi senyumannya. Hanya lubang kosong berisi udara. Ia tak punya mata.

Tubuh Lily terkulai kaku. Tak percaya apa yang baru saja ia lihat. Badannya terasa berat. Tangannya dingin. Wajahnya pucat tak berwarna. Ia tak sanggup mengucapkan satu katapun.

“Ayahmu menyelamatkanku di jalanan. Lalu membunuhku dengan kejam. Dia hanya menginginkan kedua mataku. Sebenarnya aku sangat ingin balas dendam. Tapi jika melakukannya, aku hanya menjadi sosok jahat seperti dia,” ucap gadis pirang itu.

“Maafkan aku.” Lily memohon sambil berlutut, ia tak sanggup menatap Jena. Pipinya mulai basah. Tangisnya pecah.

“Jangan manangis, kau adalah teman yang sangat baik. Anggap itu hadiah dariku, jadi jaga baik-baik atau aku akan datang merangkak di bawah kasurmu, menghantuimu setiap malam.” Itu merupakan kalimat terakhir yang Lily dengar sebelum sahabat yang sangat ia sayangi menghilang dari pandangan mata berkilau miliknya.

Artikel Terkait

Beri Komentar