Al-AzharArtikelIlmiahIslamiaKeilmuan

Rekonstruksi Wacana Tertutupnya Pintu Ijtihad

Penulis: Fadly S. | Editor: Akmal Sulaeman

Perkembangan zaman dan peradaban umat manusia tidaklah bisa diingkari oleh siapapun. Berbagai realitas dengan sifatnya yang relatif menghendaki harus adanya penalaran yang menyeluruh dalam tinjauan syariat, agar hukum suatu realitas menjadi jelas. Pembaruan wacana keagamaan menjadi hal yang strategis dan urgen. Akan tetapi, usaha tersebut sering dihadapkan dengan seruan bahwa ijtihad sebagai upaya untuk mengetahui hukum syarak realitas baru telah tertutup.

Seruan bahwa pintu ijtihad telah tertutup bukanlah hal yang baru mengemuka di masa sekarang. Wacana ini mulai tampak pada abad ke-6 dan menemui puncaknya saat keruntuhan Dinasti Abbasiyah pada abad ke-7 Hijriah. Bahkan, isyaratnya mulai terjadi pada abad ke-4 Hijriah. Para penulis sejarah legislasi hukum Islam seperti Syekh Abdul Latif Al-Subki dan Dr. Muhammad Ali Al-Sayis menegaskan bahwa setelah Imam Muhammad Jarir Al-Thabary (310 H), tidak ada lagi ahli Fikih yang mengeklaim dirinya memiliki kapasitas sebagai mujtahid muțlaq mustaqil, yaitu mujtahid yang melakukan ijtihad di semua bab-bab fikih dengan kaidah dan metodenya sendiri.

Menurut Syekh Muhammad Khudari Beik yang juga dipertegas oleh Dr. Muhammad Salam Madkur, sebelum kebekuan Fikih benar-benar terjadi yang ditandai dengan meluasnya taklid buta (al-taqlīd al-mahd), setidaknya banyak karya fikih yang dihasilkan meskipun dengan mengikut kaidah-kaidah yang telah dirumuskan oleh para imam mazhab. Taklid yang dilakukan oleh para ulama, khususnya ulama ahli Fikih pada mulanya adalah taklid efisien (al-taqlīd al-fa’āl). Hingga sampailah umat pada suatu keadaan, di mana taklid buta yang asalnya diperkenankan untuk kalangan awam juga menimpa para ulama.

Seorang alim yang melakukan taklid efisien pada masa tersebut seperti menyusun kitab komentar (syarh), mengeluarkan hukum permasalahan yang belum dibahas imam mazhab, menguatkan salah satu pendapat dari berbagai pendapat yang ada di internal mazhab (tarjih), di kemudian hari diistilahkan dengan mujtahid muntasib. Meski tradisi keilmuan khususnya dalam bidang fikih masih eksis, Dr. Muhammad Salam Madkur mengemukakan bahwa hal tersebut menjadi indikasi bahwa pintu ijtihad telah tertutup. Tema ini oleh para ulama dibahas dengan sub judul Insidād Bāb Al-Ijtihād. Secara lahiriah, redaksi tersebut memberi petunjuk bahwa pelaku yang menutup pintu ijtihad dan kepada siapa pintu ijtihad ini tertutup tidaklah jelas.

Namun, yang dimaksud dengan tertutupnya pintu ijtihad adalah suatu kondisi terhentinya aktivitas ijtihad untuk menyelesaikan persoalan baru yang dihadapi. Sebaliknya, yang dilakukan hanya mencukupkan pemikiran yang berkembang sebelumnya atau hanya mengikut pendapat imam mazhab terdahulu. Pintu ijtihad tidak pernah dibuka atau ditutup secara formal. Lebih tegas lagi sebagaimana dikatakan oleh Prof. Ali Jum’ah bahwa ijtihad tidaklah memiliki pintu sehingga bisa dikatakan terbuka atau tertutup. Ijtihad adalah suatu derajat keilmuan di mana seorang alim sampai pada derajat tersebut setelah melakukan usaha keilmuan maksimal dan tentu saja setelah Allah membuka jalan baginya.

Terkait dengan wacana tertutupnya pintu ijtihad, terdapat juga suatu pembahasan tentang mungkin tidaknya suatu zaman kosong dari mujtahid (khuluw al-zamān ‘an mujtahid). Hampir semua kitab komprehensif dalam Usul Fikih mengkaji tema tersebut. Ulama mazhab Hanbali dikenal sebagai kalangan yang keras berpendapat bahwa di setiap zaman terdapat mujtahid yang menegakkan hujjah kepada umat agar taklif tetap berlangsung. Imam Al-Syaukani dalam Irsyād Al-Fuhūl juga memberi komentar bahwa akan selalu ada ulama yang menegakkan fardu kifayah, di mana ijtihad merupakan bagian dari fardu kifayah tersebut. Jika suatu zaman kosong dari mujtahid dan ijtihad, maka umat yang hidup pada zaman itu berdosa karena tidak ada yang menegakkan fardu kifayah.

Namun, mayoritas ahli Usul Fikih berpendapat bahwa bisa saja suatu zaman kosong dari mujtahid. Hal ini karena secara akal hal tersebut bukanlah sesuatu yang mustahil. Sebagaimana yang disimpulkan oleh Imam Al-Rafi’i (623 H) bahwa para ulama seakan telah sepakat sekarang ini mujtahid tidak lagi ada.

Adapun klaim bahwa ijtihad adalah fardu kifayah, maka hal tersebut bisa diterima jika umat Islam kalangan awam berada dalam kondisi tertentu, di mana mereka tidak bisa berpegang pada hukum-hukum yang diriwayatkan dari mujtahid terdahulu. Jika kondisi itu terjadi, maka harus ada ulama yang melaksanakan ijtihad. Akan tetapi, tidak ada keraguan bahwa umat Islam kalangan awam masih bisa bersandar pada hukum-hukum yang diriwayatkan dari mujtahid terdahulu secara umum. Oleh karena demikian, ijtihad tidak menjadi fardu kifayah.

Dalam rangka menyikapi seruan tertutupnya pintu ijtihad dan bolehnya terjadi kekosongan suatu zaman dari mujtahid, kita perlu kembali pada hal fundamental yang disepakati para ulama. Ada baiknya kita menegaskan bahwa ilmu adalah otoritas Allah Swt. di mana ijtihad sebagai penggerak keilmuan dalam Islam bukanlah kekhususan yang hanya dimiliki generasi tertentu. Waktu dan tempat tidak pernah membatasi bahkan menghalangi para ulama untuk ijtihad. Prof. Mahmud Abdul Mun’im Guru Besar ilmu Usul Fikih Universitas Al-Azhar memaparkan bahwa di setiap zaman Allah selalu mengutus ulama yang sesuai dengan zaman itu. Jika Allah menghendaki, maka Allah akan memunculkan pemikiran baru dan tidak ada yang mampu menghalanginya.

Apakah pintu ijtihad telah tertutup? Apakah bisa terjadi kekosongan suatu zaman dari mujtahid?

Syekh Abdullah Diraz dalam tahqīq-nya terhadap kitab Al-Muwāfaqāt menjelaskan objek perdebatan para ulama terkait tema ini. Beliau menjelaskan bahwa ijtihad sebagai kesungguhan usaha mujtahid terbagi menjadi dua. Pertama, ijtihad untuk menggali dan mengetahui hukum syarak dari dalil. Ijtihad inilah yang dilakukan oleh para imam mazhab atau mujtahid muțlaq mustaqil. Kedua, ijtihad untuk menerapkan hukum syarak pada suatu realitas. Ulama sepakat bahwa ijtihad yang kedua ini tidak akan pernah terputus, juga tidak terkhusus untuk generasi tertentu. Terkait ijtihad yang pertama, maka inilah ijtihad yang diperdebatkan para ulama pada tema tertutupnya pintu ijtihad dan kosongnya suatu zaman dari mujtahid.

Imam Al-Gazali (504 H) mengatakan bahwa zaman telah kosong dari mujtahid muțlaq mustaqil. Ketiadaannya disebabkan bukan karena tertutupnya akses menuju puncak derajat ijtihad. Ada banyak faktor yang melatarbelakangi hal tersebut. Akan tetapi, mayoritas ulama mengatakan bahwa sebab utamanya adalah tidak ada lagi ulama yang memenuhi kriteria dan syarat untuk menjadi mujtahid muțlaq mustaqil, di mana derajat keilmuan ini tidak bisa didapatkan hanya dengan klaim semata. Adapun mujtahid di bawah derajat mujtahid muțlaq mustaqil, maka eksistensinya di setiap masa tetap berlangsung.

Olehnya, kita memahami bahwa ijtihad adalah bagian dari agama. Dengan berbagai bentuk kemajuan yang ada, ijtihad jauh lebih diperlukan di masa ini daripada masa-masa sebelumnya. Realitas baru memerlukan penalaran baru, dan Allah menjamin di setiap zaman akan ada pembaharu (mujaddid) untuk menegakkan wājib al-waqt yang sesuai dengan zamannya.  Pembaharuan wacana keagamaan sebagai sunnatullāh fī al-kaun akan tetap berlangsung, sebagai dalil bahwa Islam sesuai di setiap waktu dan tempat.

Artikel Terkait

Beri Komentar