Penulis: Asdimansyah M. | Editor: Afriadi Ramadhan
Di Indonesia akhir-akhir ini kembali marak berita yang membahas tentang judol (judi online). Karena dampak kerugian yang diberikan judi online ini sangat kelewatan, baik itu terhadap perekonomian negara, apalagi terhadap orang-orang yang terjerumus di dalamnya.
Dan walaupun misalnya kita bukanlah seorang pejudi, masalah ini tetap menjadi perhatian. Untuk menjaga orang terdekat dan diri sendiri dari lingkaran setan yang membakar ini. Toh siapa juga yang bercita-cita ingin berprofesi sebagai pejudi? Semuanya hanya terjerumus dan terkurung dalam kesalahan berpikirnya sendiri.
Bukan main, dampak kerugian judol ini bukanlah hal yang terbilang kecil dan sederhana. Sudah banyak orang yang kehilangan nyawa karena permainan ini. Bahkan dalam satu kasus, diberitakan seorang anak tega merampok dan membunuh ibu kandungnya sendiri karena judi online.
Tak sampai di situ, judol juga berdampak terhadap perekonomian negara. Hanya dengan satu website judol sudah bisa membuat negara kita mengalami kerugian sekitar Rp27 Triliun. Gila!
Pengguna judi online makin hari makin meningkat, salah satu sebabnya ialah karena pesatnya perkembangan teknologi yang membuat judi online makin mudah untuk diakses. Tidak menutup fakta bahwa ada juga orang-orang dari kalangan atas seperti pejabat yang ikut terjerumus dalam judol.
Tapi orang kaya itu hanya sebagian kecil. Sebagian besarnya justru berasal dari kalangan miskin. Tercatat ada sekitar 2,1 juta orang miskin yang kecanduan bermain judol. Miris.
Kemudian muncul pertanyaan, apasih yang membuat mereka tertarik untuk masuk ke dalam hal yang jelas-jelas akan merusak diri sendiri?
Awal Mula Terjerumus
Cara bandar dalam menarik pemain baru, bervariasi. Mulai dari mengubah istilah judi online menjadi game online, hingga beriklan dengan embel-embel; cuma modal sedikit tapi bisa menang banyak.
Seperti ketika mereka memanfaatkan media sosial yang mudah diakses oleh setiap kalangan dengan menawarkan depo yang kecil, hanya mulai dari puluhan ribu rupiah dengan janji withdraw yang mencapai ratusan bahkan jutaan ribu rupiah.
Tim pengiklanan judol ini tampaknya sangat cerdas. Memanfaatkan media sosial sebagai wadah promosi. Kita tahu kan, kalau di media sosial banyak orang yang sedang diuji dengan masalah finansial. Kehabisan uang dan terlilit utang. Nah, di tengah kegalauan itu, iklan judol muncul seolah-olah menjadi solusi.
Penawaran dapat uang banyak dengan cara instan ini membuat mata orang menjadi menyala-nyala.
Hingga dari situlah nantinya awal dari coba-coba kemudian berlanjut ke kecanduan, tanpa memikirkan mekanisme yang ada dalam permainan judi itu. Padahal, kita tidak tahu kalau di dalam permainan itu, kita juga bisa ikut dipermainkan.
Dari informasi-informasi kesaksian yang menceritakan tentang mekanisme judol yang ada di YouTube, Quora, dan Internet, sebagian besar menceritakan bahwa di awal permainan, Anda akan dibuat menang beberapa kali dan mendapat keuntungan berkali lipat dari modal, sehingga hal itu yang membuat kepala para pejudi dipenuhi oleh ilusi.
Seakan-akan ada banyak kemenangan yang menunggunya di masa depan.
Dan hal itulah yang membuat para pejudi tak berpikir secara rasional dan terjebak dalam salah satu bias kognitif yaitu Gambler’s Fallacy.
Gambler’s Fallacy
Gambler’s Fallacy adalah salah satu bias kognitif yang menimpa para pejudi, di mana orang yang terkena bias ini percaya bahwa hal yang terjadi di masa lalu akan memengaruhi probabilitas di masa depan.
Sebagai contoh pada permainan roulette di Kasino Monte Carlo, Las Vegas pada tahun 1913. Ketika para pejudi di saat itu terjebak dalam Gambler’s Fallacy yang membuat total kekalahan mereka mencapai jutaan dolar.
Mekanisme permainan ini, peserta awalnya memasang taruhan di mana bola akan berhenti setelah roda roulette diputar. Kemungkinan berhentinya bola itu bisa jadi di titik merah atau hitam. Nah, ketika nantinya bola itu terus menerus berakhir di titik hitam, mereka malah berpikir bahwa setelah rentetan putaran yang membuat bola berakhir di titik hitam, pasti peluangnya untuk berhenti di titik merah pada putaran selanjutnya semakin besar.
Padahal putaran sebelumnya sama sekali tidak memiliki pengaruh pada putaran selanjutnya.
Sampai pada akhirnya, bola itu baru berhenti di titik merah pada putaran ke 27, setelah mereka mengalami kerugian yang besar.
Kesalahan berpikir yang dialami para pejudi tadi adalah karena mengira apa yang terjadi di masa lalu akan berpengaruh di masa depan. Padahal kenyataannya, pemikiran seperti ini salah besar. Sebab probabilitas bola berakhir di titik hitam atau merah tetap sama besar seperti pada putaran-putaran sebelumnya.
Demikian juga yang terjadi pada pemain judol, apalagi permainan mereka diatur oleh sebuah sistem yang tidak diketahui dan tidak menjamin akan membuat keuntungan berpihak pada mereka, dan kemungkinan mereka juga ikut dipermainkan oleh sistem yang tidak diketahui itu sangat besar.
Kalah atau menangnya seorang pejudi akan tetap mengarahkan dia untuk terus bermain judi.
Sebab ketika mengalami kekalahan, seorang pejudi cenderung berfikir secara irasional dan terjebak dalam gambler’s fallacy tadi. Dan ketika menang, sensasi kemenangan yang didapatkan seorang pejudi akan terus menarik dia untuk ingin merasakan sensasi itu kembali.
Hal itulah yang menjadi penyebab seorang pemain judol terkena adiksi untuk terus melanjutkan permainan. Tapi, apakah hal penarik untuk tetap bermain judol hanya sekedar adiksi?
Ada Faktor Lain yang Lebih dari Adiksi
Ketika menulis tulisan ini saya sempat berfikir bahwa hal yang menarik seorang pemain judol untuk tidak berhenti bermain adalah hanya sekedar efek candu dari judi itu sendiri. Asumsiku itu kemudian diperkuat oleh penjelasan Ferry Irwandi, ia menerangkan bahwa ada faktor yang lebih besar dari adiksi yang menjadi penyebab seorang pejudi susah untuk lepas dari perjudian.
Adiksi yang mengenai seorang perokok berbeda dengan seorang pejudi. Sebab, seorang perokok sulit berhenti merokok karena nikotin yang ada pada rokok memiliki efek pada sistem saraf yang mengakibatkan pengeluaran dopamin, sehingga seorang ketika merokok akan merasakan rasa tenang, senang, dan motivasi dalam dirinya meningkat. Kenikmatan itu yang menarik seorang perokok untuk merasakan sensasi itu lagi.
Sedangkan seorang pejudi ketika bermain judi, walaupun dia merasakan sensasi yang dirasakan seorang perokok ketika merokok. Tapi, faktor pengikatnya bukan hanya sekadar sensasi itu, melainkan ada motif reaksi emosional, dan nada subtansi setiap orang yang bermain judi yang menjadi penyebab seseorang akan berpikir secara irasional hingga akhirnya hal itu yang memicu watak-watak buruk manusia mulai bermunculan.
Mulai dari perasaan bahwa dia lebih beruntung dari orang lain yang membuat dia memutuskan untuk bermain judi. Sampai akhirnya ketika kalah, muncul rasa tidak terima akan kekalahan itu, dan ingin mengembalikan modal yang telah dikeluarkan.
Itu akan terulang terus menerus hingga membentuk semacam lingkaran setan yang baru berhenti ketika korbannya benar-benar sudah kehabisan barang yang bisa digunakan untuk berjudi.
Walaupun menang, seorang pejudi akan tetap terperangkap dalam lingkaran itu. Sejauh ini, belum ada orang yang berhenti main judi karena menang. Yang ada hanyalah berhenti main judi karena sudah terlanjur kalah banyak, dan sudah tidak punya apa-apa lagi untuk dipertaruhkan.
Oleh karena itu, yang harus kita semua sadari adalah perjudian itu bukanlah sebuah alternatif untuk mendapatkan sebuah keuntungan, melainkan jalan cepat menjemput kerugian. Sangat benar apa yang dikatakan bang H. Rhoma Irama dalam lagunya, “Kalaupun kau menang, itu awal dari kekalahan”.