Penulis: Zulham Sulfadly | Editor: Afriadi Ramadan
Sebelum mengulas tentang hukum puasa dan ikhtilaf para ulama, alangkah baiknya terlebih dahulu kita berkenalan dengan makna puasa itu sendiri.
Ahmad bin Faris bin Zakaria Al-Kazwiny Ar-Razi dalam kitabnya Maqaayis Al-lughah menjelaskan bahwa secara etimologi, puasa (as-shaum) bermakna menahan (Al-Imsak), yaitu menahan diri dari segala sesuatu yang membatalkan puasa. Seperti makan, minum, ber-jimak dan lain sebagainya.
Ia juga menambahkan bahwa kadang pula puasa (as-shaum) dimaknai dengan diam atau menahan diri untuk berbicara. Sebagaimana yang termaktub dalam Surah Maryam ayat 26.
Sedangkan menurut Imam As-Sarkhasi dalam kitabnya Al-Mabsuth bahwa puasa (as-shaum) secara terminologi, berarti menahan diri dari melampiaskan dua syahwat atau keinginan. Yaitu syahwat untuk memenuhi kebutuhan perut dan farj dalam jangka waktu tertentu.
Tentu puasa ini adalah ibadah dengan niat mendekatkan diri kepada Allah Swt. Waktu berpuasa itu sendiri terhitung dari terbit matahari hingga terbenam.
Puasa Hukumnya Wajib? Tidak Selalu Begitu!
Setelah memahami gambaran tentang apa itu puasa, mari sedikit mengulik bagaimana hukum berpuasa bagi seorang mukallaf (orang muslim yang sudah balig dan berakal).
Pada dasarnya, berpuasa di bulan Ramadhan merupakan sebuah kewajiban bagi seorang mukallaf. Namum dalam situasi tertentu, status kewajiban tersebut dapat berubah sesuai dengan kondisi orang yang berpuasa. Misalnya bagi orang-orang yang melakukan perjalanan jauh di bulan Ramadhan, “Apakah boleh tidak berpuasa karena sedang menempuh perjalanan? Ataukah tetap melanjutkan puasa itu lebih baik daripada membatalkannya?
Melihat hal ini, Imam Abu Bakar bin Ali bin Muhammad Al-Haddadi memberikan jawaban di dalam kitabnya Al-Jauhar An-Nirah ala Mukhtasar Al-Qaduri. Beliau menjelaskan bahwa para ulama bersepakat akan bolehnya berpuasa ketika sedang melakukan perjalanan. Maksudnya, jika seorang mukallaf berpuasa dalam perjalanan, maka puasanya tetap dianggap sah.
Namun, para ulama berselisih pendapat dalam hal mana yang lebih utama, apakah melanjutkan puasa atau dibatalkan saja?
Jika berkaca pada kitab-kitab para Fuqaha seperti Al-Jauharah An-Nirah,Al-Maunah ala Mazhab Alim Al-Madinah dan Fathu Al-Aziz, terdapat dua pendapat dengan dalil yang sama-sama kuat, yaitu:
Pertama, pendapat yang didukung oleh mayoritas ulama bermazhab Hanafiah, Malikiah, Syafiiyah, dan sebagian Hanabilah. Mereka menganggap bahwa melanjutkan puasa itu yang afdhal, jika tidak membebani dan melemahkan orang yang melakukan perjalanan.
Kedua, pendapat yang digaungkan mayoritas ulama bermazhab Hanabilah. Mereka berpendapat bahwa berbuka atau membatalkan puasa lebih baik jika sedang melakukan perjalanan. Bahkan imam Al-Mardawi mengatakan di dalam kitabnya Al-Inshaf tentang makruhnya melakukan puasa bagi seorang musafir meskipun hal tersebut tidak merepotkan baginya.
Untuk melengkapi pemahaman, berikut penjelasan tentang dalil dari masing-masing pendapat di atas.
Landasan Dalil Setiap Pendapat
Tentu dalam mengeluarkan sebuah fatwa atau pendapat, hal terpenting yang harus diperhatikan ialah landasan dari pendapat tersebut. Apakah landasan yang menopang fatwa tersebut cukup kuat untuk dijadikan dasar atau tidak.
Dalam hal ini, Jumhur (mayoritas ulama) yang mengeluarkan pendapat pertama, mengambil dasar dari Al-Qur’an dan Sunnah, yaitu:
Awal dari firman Allah Swt: “Wahai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kalian berpuasa…” (Al-Baqarah ayat 183 hingga akhir ayat 185).
Adapun relevansi antara dalil dan pendapat yang difatwakan ialah ayat tersebut menunjukkan bahwa menunaikan puasa merupakan implementasi dari tekad seseorang dan pembatalannya merupakan sebuah keringanan (rukhsah) baginya. Tidak diragukan lagi, menunaikan tekad lebih utama daripada menerima keringanan.
Dalil kedua, dari sunnah Rasulullah SAW (Sahih Bukhari):
Diriwayatkan dari Abu Darda RA: “Suatu hari kami berjalan bersama Rasulullah Saw pada sebagian peperangan, dalam keadaan cuaca yang begitu panas. Hingga salah seorang di antara kami meletakkan tangan atau telapaknya diatas kepala karena panasnya hari itu. Tidak ada seorangpun yang berpuasa saat itu kecuali Rasulullah Saw dan Abdullah bin Rawahah RA”.
Hadis tersebut menunjukkan bahwa keutamaan berpuasa dalam perjalanan hanyalah bagi mereka yang tidak terbebani oleh ibadah tersebut.
Sedangkan Mazhab Hanabilah pada pendapat kedua mengambil sandaran dari sunnah Rasulullah Saw, yaitu:
Diriwayatkan dari Jabil bin Abdullah RA, ia berkata: “Suatu ketika Rasulullah Saw sedang dalam perjalanan, kemudian beliau melihat kerumunan dan seorang lelaki yang dibayangi. Rasulullah bertanya: “Apa ini?”, Mereka menjawab: “Ia adalah orang yang berpuasa”. Maka beliau pun bersabda: “Bukanlah hal yang baik berpuasa dalam perjalanan”.
Hadis ini menunjukkan bahwa sebaiknya membatalkan puasa jika sedang dalam perjalanan.
Kalau Kedua Pendapat Sama-Sama Punya Dalil Kuat, Jadi Kita Pilih yang Mana?
Dalam hal ini, Dr. Mamduh Abdurrahman Abdurrahim Ali Farhat, seorang pengajar Universitas Al-Azhar Mesir, cabang Asyuth. Ia berpendapat bahwa fatwa yang dikeluarkan jumhur ulama itulah yang lebih utama. Dimana melanjutkan puasa di perjalanan lebih baik, selama puasa itu sendiri tidak membebani dan melemahkan orang yang menunaikannya.
Namun jika hal sebaliknya terjadi, seperti kalau dipaksakan tetap berpuasa maka bisa jadi orang itu bisa sakit, maka lebih baik dibatalkan saja. Bukan tanpa alasan, ia lebih cenderung pada pendapat ini sebab kuatnya dalil yang menopang keabsahannya.
Jadi pada intinya, semua kembali pada diri kita masing-masing. Jika merasa mampu dan kuat menunaikan puasa meski dalam perjalanan, maka sebaiknya puasanya dilanjutkan saja. Namun jika di dalam perjalanan merasa tidak mampu menunaikannya, maka puasanya boleh dibatalkan. Sebab, dalam hal ini orang yang membatalkan puasanya dianggap telah mengambil keringanan (rukhsah) yang diberikan Allah Swt.