Penulis: Akmal Sulaeman | Editor: Afriadi Ramadhan
Lelaki itu melangkah gontai menyusuri trotoar jalan. Bertemankan cahaya bulan dan hembusan angin malam yang dingin, ia terus berjalan. Tatapannya kosong meski tetap terkesan tajam. Senada dengan raut wajahnya yang meski tegas, juga mengeluarkan aura hampa di waktu yang bersamaan.
Shallu sunnatat-tarawihi rak’ataini jami’atan rahimakumullah
Dengung suara dari speaker masjid di ujung jalan terdengar nyaring. Menuturkan bacaan yang akrab sekaligus asing bagi sang lelaki. Akrab sebab bacaan itulah yang selalu ia dengar di setiap malam bulan Ramadan selama masa kecilnya. Asing karena selama hidupnya, satu-satunya hal yang terus menghantui dan juga ia selalu ingin lari darinya adalah masa kecil itu sendiri.
Bersamaan dengan suara imam dan jemaah yang saling bersahut-sahutan berdiri dan melanjutkan salat tarawih, sorotan mata lelaki itu mulai condong dan fokus ke arah suara tersebut. Menatap asal suara itu lamat. Tenggelam dalam kontemplasi yang tak bisa ia kendalikan adanya.
“Senakal-nakalnya kamu nanti, jangan tinggalkan salat. Agar satu kabel terjaga, tetap tersambung dengan Allah,”
Sekelebat memori singkat perihal nasihat yang selalu diulangi ibunya kini muncul. Singgah dan bertengger dengan begitu nyaman di otaknya. Merasakan beban artifisial yang begitu berat di bagian amigdala, lelaki itu memutuskan berhenti, terduduk tepat di trotoar jalan di seberang masjid. Menatap hiruk-pikuk keramaian yang bergerak senada di balik jendela-jendela bangunan itu dengan tatapan yang masih juga kosong.
Bagaimana bisa ia tetap tersambung dengan Allah? Sudah lama sejak terakhir kali ia ingat, sudah lama sejak terakhir kali ia ingin ingat. Bukan tanpa sebab, dulunya ketika masih belia ia justru begitu semangat untuk belajar agama bersama sang ibu.
Malam itu adalah malam ke-13 Ramadan tatkala sang ibu mengajarinya mengaji. Saat itu usianya baru sepuluh tahun. Setelah lama mendengar anaknya mengeluh, karena teman-temannya sudah lebih dahulu pandai mengaji. Sedangkan ia masih belum ada kemajuan, terjebak dalam kebodohan. Sang ibu berjanji untuk mengajarinya mengaji secara rutin selama bulan puasa.
Mulai dari saat itu, setiap malam. Diiringi hiruk-pikuk tarawih dari dengung speaker masjid, keduanya duduk di ruang tengah rumah kecil mereka. Sang ibu mendengarkan bacaan anaknya yang berusaha agar tidak terbata-bata.
Semuanya berjalan dengan lancar, tidak ada halangan yang begitu berarti selain ibu yang biasa tiba-tiba mengeluh sakit dadanya, dan si anak yang masih berumur sepuluh tahun tiba-tiba juga datang malasnya.
Hingga pada malam itu, tepat di malam ke-13 Ramadan. Ibu sedang salat tarawih di rumah. “Lagi tidak enak badan, Nak”, katanya ketika kutanya kenapa tak solat berjamaah di masjid.
Beberapa saat kemudian, ketika gema doa-doa dari toa masjid terdengar semakin keras, tenaga ibu justru semakin melemah. Ia terlihat pucat dan sangat lemas. Tangan lemahnya terus menekan dada kiri. Menahan nyeri yang menyiksa. Ia meringis setengah mati menahan sakit. Sebelum akhirnya ia terjatuh di atas sajadahnya, tersungkur tanpa tenaga, dan tanpa nyawa, seketika.
Serangan jantung, sebab kematian yang sama dengan ayah dulu. Pria itu justru pergi lebih cepat. Meninggalkan istri dan anaknya -yang bahkan belum lahir-.
Lelaki itu mengelap wajahnya. Tertarik kembali ke masa kini. Genangan air yang sedari tadi menggumpal di kelopaknya terasa memanas. Protes kepada si empunya perihal mengapa mereka tidak diperbolehkan keluar. Kenangan itu terus bergerak, berlari-lari di kepalanya tanpa peduli kondisi amigdala yang kini sudah nyaris penyok terinjak-injak.
Saat proses pemakaman sang ibu, air matanya sudah habis sedari malam ketika melihat ibunya tiba-tiba menutup matanya untuk terakhir kali. Pihak kerabatnya pun tidak ada yang ingin mengasuhnya. Entah apa alasannya, apakah karena memang situasi kerabat keluarganya saat itu memang tidak begitu dekat, atau juga bisa jadi karena mereka tidak begitu mampu.
Apapun alasannya, yang jelas saat ia pulang dari pemakaman sang ibu, hanya ada dia di sana, memeluk diri sendiri, kesedihannya sendiri.
Beragam emosional kini tercampur aduk di dalam tubuh anak yang masih berusia sepuluh tahun kala itu. Menyadari situasinya yang sangat menyedihkan, di saat orang-orang sudah meninggalkannya sendiri, rasa sesak di dadanya terus berkecamuk.
Saat itulah ia mulai mempertanyakan. Di mana Tuhan yang selama ini ia kenal sebagai Maha Penyayang? Bagaimana bisa ia tega mengambil segala kasih sayang yang tersisa pada seorang anak yang juga masih begitu rapuh? Lalu bagaimana ia akan bertahan sekarang? Mengapa pertolongan dari Tuhan belum juga datang? Apakah Tuhan sudah tertidur dan tidak melihat kondisi hamba-Nya yang kecil itu.
“Tuhan… apakah kamu sedang tidur? Apakah Kamu tidak melihatku saat ini? Tak ada seorang pun yang datang kepadaku untuk memberi kasih sayang”, ucapnya lirih sebelum akhirnya tertidur dengan perut keroncongan.
Dari setelah pemakaman ibunya, ia terus bertahan dengan kesendiriannya tanpa ada yang mau menemaninya. Anak yang masih berusia 10 tahun itu, mencoba merogoh beberapa lembar uang yang ada dalam lemari ibunya. Tak banyak, hanya ada beberapa pecahan uang-uang kecil yang tersisa di sana, dan hanya cukup membeli makanan untuk beberapa hari.
Berhari-hari ia bertahan dengan hidup yang begitu pahit. Persediaan makanan yang ia miliki sudah habis, uang yang dimilikinya pun hanya tersisa beberapa kepingan uang logam saja. Karena sudah sangat kelaparan, dan belum makan sedari malam, ia memilih untuk mencoba keluar mencari sesuatu yang bisa dibeli dengan beberapa uang perak saja. Namun sepanjang jalan yang ia lewati, tidak ada satupun penjual makanan yang berbelas kasih dengan anak kecil itu.
Akhirnya ketika lama berjalan, uang perak yang terus digenggamnya sedari tadi bisa dipakai untuk membeli sepiring nasi, yang ia makan lahap tanpa lauk. Dengan sedikit rasa bahagia, karena akhirnya ia bisa mendapatkan makanan untuk mengisi perutnya yang sudah sangat kelaparan. Tentunya itu tidak dapat bertahan lama, masih ada hari-hari esok yang harus terus ia jalani.
Panti asuhan adalah satu-satunya tempat yang bisa dijadikan rumah saat itu. Di tempat itu ia tumbuh bersama rasa sakit. Benci yang bertumbuh semakin besar, seiring dengan pertumbuhan badan dan cara berpikinya.
Tak akan pernah ia lupa momen perdana ia mulai memutuskan untuk langsung mengalah pada takdir yang seakan memang hobi menjahilinya. Di sudut-sudut pasar di mana aroma ikan bercampur dengan bau sayur-sayuran, rasa benci yang akhirnya menjelma jadi rasa tidak peduli.
Persetan dengan dunia, dan segala kebaikan yang katanya ada padanya. Saat itu yang benar-benar bisa ia pikirkan hanyalah kesepiannya yang perlu diberi makan.
Malam itu adalah malam ke-13 Ramadan beberapa tahun setelah tinggal di panti asuhan. Ia ingat betul momen saat seorang teman menawarkan sebotol minuman berbau aneh padanya.
“Sejak kita kenal, mukamu tuh selalu penuh penderitaan, tatapanmu kosong gitu. Coba dulu ini, biar rileks dikit,”
Ditatapnya lamat-lamat botol minuman tersebut. Bau asamnya yang khas hasil fermentasi menyeruak di ambang hidung.
Mungkin karena terbuat dari kaca, pantulan tatap dirinya terlihat di badan botol. Ia menatap sorot matanya sendiri. Temannya benar, ia memang terlihat seperti orang kesepian.
Diamatinya lagi pantulan dirinya di badan botol itu. Semakin lama, tempias air miras di dalamnya terguncang, menyebabkan bayangan dirinya memburam sebelum akhirnya kembali solid secara perlahan.
Bersamaan dengan bayangan dirinya di badan botol yang menjelas, dilihatnya pantulan tersebut tidak lagi berbentuk dirinya, melainkan wajah seorang yang ia familiar dengannya. Itu, wajah ibunya.
“Sialan!” batinnya. Menyadari takdir ternyata memasang jebakan di sana dan ia kembali terjatuh ke dalamnya. Dia kena lagi, kena terus. Sebal, diambilnya botol itu dari tangan temannya, ia tenggak sampai habis.
Malam itu adalah malam ke-13 Ramadan. Malam di mana setelah beberapa lama akhirnya ia dapat bersenang-senang. Kesenangan yang terus ia lakukan dalam waktu lama selama perjalanan hidupnya.
Kesenangan-kesenangan tadi berlanjut. Berkembang menjadi kesenangan dengan jenis-jenis lainnya. Semuanya ia lakukan hampir setiap hari. Merampok, mencopet, mengancam pengunjung pasar, menggoda gadis-gadis malam lalu menampar mereka tepat di wajah jika memberikan gestur tak terima.
Ia melakukannya hampir setiap hari, dengan kualitas pergerakan yang makin lihai dan lentur tiap harinya. Kode-kode khusus untuk aksi pencopetan dan pemalakan yang juga dilengkapi dengan strategi pelarian jika kedapatan, semuanya menjadi semakin matang seiring waktu berjalan.
Lelaki itu kini tertawa, tak besar, kecil saja. Tak panjang juga, pendek saja, tak lebih panjang dari sekelebat suara jepretan kamera saat mengambil foto. Mengingat masa-masa ia tumbuh, masa-masa di mana bencinya begitu besar pada Tuhan yang begitu tulus disembah oleh sang ibu. Mungkin itu alasan ia menenggak sebotol miras tersebut waktu itu, mungkin itu juga alasannya selama ini lari menjauh. Hingga saat ini, ia tak bisa lari lagi.
“Senakal-nakalnya kamu nanti, jangan tinggalkan salat. Agar satu kabel terjaga, tetap tersambung dengan Allah,”
“Bagaimana bisa aku tersambung dengan Ia yang telah merenggutmu, Ibu. Lihatlah sekarang! Anakmu tumbuh besar sebatang kara. Di bulan suci yang harusnya bisa kita habiskan bersama sekarang, aku malah sendiri, kesepian. Harusnya sekarang ini aku bersama ibu, harusnya sekarang ini aku sudah lancar mengaji,” ucapnya dalam hati, menjawab nasihat ibunya yang juga tak henti-hentinya terlontar di kepala. Tatapannya kembali menerawang hampa, fokusnya kembali ditarik ke masa lalu. Namun, kali ini tidak terlalu jauh. Tepatnya kejadian tadi pagi, rentetan peristiwa tolol yang membawa lelaki itu pada kondisinya di malam ini.
***
Sungguh saat ini aku tidak tahu mau ke mana setelah melihat jasad temanku yang sudah dikerumuni dan ditertawai oleh burung-burung gagak. Beberapa saat lalu, Jamal temanku itu diamuk warga setelah merampok di toko kelontong.
“Taik…sialan si Jamal, ngapain sih dia harus menodong pisau ke leher nenek tua penjaga toko kelontong tadi,” aku merintih dengan penuh rasa kesal dalam hati, sembari berlari dari rombongan warga yang belum puas dengan kematian temanku itu.
Para warga itu masih terus berusaha mencariku, lengkap dengan gergaji, parang, dan kapak di tangan mereka. Matahari sebentar lagi terbit, aku harus segera keluar dari kampung ini sebelum terang. Namun, satu-satunya yang bisa kuandalkan saat ini adalah hanya bersandar dan bersembunyi di balik pohon kayu jati yang menjulang sepanjang hutan belantara.
Dalam keadaan yang compang-camping dan luka-luka lebam akibat batu yang dilempar oleh mereka, lagi-lagi aku melihat hidupku yang begitu pahit. Tidak ada satupun yang mau menerimaku di dunia ini. Satu-satunya yang mau menerimaku adalah mereka yang hidup sama pahitnya denganku. Salah satunya Jamal, teman setia yang baru saja meninggalkanku untuk selamanya dalam keadaan tragis.
“Senakal-nakalnya kamu nanti, jangan tinggalkan salat. Agar satu kabel terjaga, tetap tersambung dengan Allah”
Sial kata-kata itu kembali lagi bergema di dalam kepala ku. “Bagaimana aku ingin salat? Jika di dunia ini tidak ada yang mau menerimaku kecuali mereka yang sama kotornya denganku, bahkan Tuhan saja tidak memberiku setetes kasih sayang,”
Lagi-lagi perasaan yang penuh dengan kontemplasi terus menusuk-nusuk dalam diriku. Entah sampai kapan ingatan tentang perkataan ibu itu berhenti menghantuiku.
Melihat situasi yang sudah mulai aman, pun speaker masjid sudah bergema menunjukkan waktu salat subuh, dan pastinya para warga sudah mulai kembali ke rumah mereka masing-masing ataupun pergi ke masjid. Aku pun segera memaksakan diri untuk bergeser ke kampung sebelah walaupun masih dalam keadaan lunglai.
Ditemani pemandangan garis langit yang sudah mulai mekar dengan warna fajar yang menghiasinya, aku masih terus melangkahkan kaki yang sudah sangat berat. Terus berjalan menuju ke kampung sebelah. Sampai akhirnya terlihat rumah kosong yang nampak sudah lama tidak dihuni. Dengan keadaan bangunan yang sudah berantakan, atap yang bocor di mana-mana, dan serpihan barang yang berserakan. Itu kujadikan tempat beristirahat sementara.
Tak sadar aku tertidur dari pagi hingga petang. Karena kondisi yang sudah mulai enakan, aku pun beranjak meninggalkan rumah kosong tadi ketika langit sudah gelap.
Walau masih acak-acakan, aku berjalan di tengah hiruk pikuk warga yang berjalan dengan pakaian serba islami. Nampak dari mereka hendak berjalan ke masjid untuk salat tarawih.
Melihat arus suasana religi yang mengalir di sekitarku, bayang-bayang ingatan bersama ibu kembali bergentayangan dalam pikiran. Diriku yang hadir di tengah-tengah arus itu pun menjadi titik hitam dan kontras dengan mereka.
Berusaha menikmati pemandangan yang sedikit membuat bernostalgia pahit, aku memilih untuk duduk di trotoar yang bersebrangan dengan bangunan yang berkubah lengkap dengan menara di sampingnya.
Dari kejauhan, aku melihat sosok berpakaian putih mengenakan peci hitam, matching dengan warna sorbannya yang hitam putih. Ia seakan mendekatiku dari seberang jalan. Benar saja, dia ternyata berjalan ke sini.
“Kamu tidak masuk, Nak?”
Ia langsung melontarkan pertanyaan seakan mengajak untuk masuk ke dalam bangunan yang disebut sebagai “Rumah Tuhan” itu.
“Ayo, Nak, salat dulu!”
“Hahaha, Bapak bercanda? Tuhan sudah lama meninggalkanku dan mana mungkin Tuhan mau menerima hamba yang sudah sangat kotor sepertiku?! Hanya ada dosa yang terus menemaniku selama ini.”
Lelaki tua itu tersenyum.
“Tuhan itu tidak pernah meninggalkan hamba-Nya. Hanya saja kita biasa lupa bahwa kita masih bisa bernafas karena Tuhan lah yang memberikan kenikmatan itu”
Beberapa saat kemudian, ia masih terus bergelut dengan ceramahnya yang penuh hikmah. Tapi tak kusangka, ada satu tutur lisannya yang membuat suasana di dalam diriku tiba-tiba berubah.
“Sudahlah, Nak. Kau terlihat tak senang kuceramahi. Tapi yang penting ingatlah ini, Senakal-nakalnya kamu, jangan pernah tinggalkan salat. Agar satu kabel terjaga, tetap tersambung dengan Allah.”
Deg. Perkataan pria tua itu seketika membuatku sangat kaget. Waktu seakan berhenti, dan kini indraku sangat fokus kepadanya. Kelopak mataku terasa semakin memanas. Pupil mataku saat ini dibanjiri oleh air mata yang meluap tak henti-hentinya.
Aku tidak tahu, apakah ini kebetulan atau bagaimana. Namun, perkataan sosok yang sudah beruban ini persis dengan pesan ibu yang masih terbayang-bayang di dalam kepalaku.
Luapan itu semakin tak terbendung di saat tangan lelaki tua itu menyapu punggungku dengan lembut. Bentuk kasih sayang yang sudah lama tidak pernah aku dapati semenjak terakhir kali bersama almarhumah ibu. Sial, air mataku benar-benar tumpah sekarang.
“Ayo nak, kita masuk dulu ke dalam” ajaknya dengan penuh kehangatan dalam dinginnya angin malam.
“Dosaku sudah sangat banyak, Pak. Bahkan isi perut dan darah yang mengalir di dalam diriku itu semuanya dari uang haram. Selama ini sudah banyak orang yang aku rugikan”, ucapku tersedu-sedu.
Aneh. Lelaki yang memiliki mata syahdu itu tidak terlihat kaget. Tidak menghakimi segala tindak laku yang sudah aku lakukan selama ini. Alih-alih mencelaku, ia malah bilang, “Tuhan itu selalu menunggu hamba-Nya untuk kembali. Hanya permasalahan kamu memang mau kembali atau tidak”.
Perlahan, ceramah orang tua itu menyentuh batinku sedikit demi sedikit. Yang ia katakan juga masuk akal, selama ini memang aku tak pernah berdoa lagi karena merasa sangat kecewa.
Tersisa satu pintu hati yang belum terbuka, yaitu kekecewaanku kepada Tuhan yang telah mengambil ibu duluan di saat aku masih kecil.
“Tapi… Bagiku, Tuhan itu sangat kejam. Ia mengambil ibu di saat aku benar-benar membutuhkannya. Membiarkanku sebatang kara menjalani hidup. Terpaksa menelan mentah semua sial dan celaka yang kualami.”
Bibir pria itu kembali melengkung simpul, ia terlihat sangat tenang dan berwibawa.
“Coba lihat nyamuk yang ada di rumput situ…”, mataku mengikuti arah jari telunjuknya, belum mengerti betul apa yang ia maksud
“Kau tahu, tidak ada yang menginginkan keberadaan nyamuk. Ia selalu dianggap sebagai hama dan tak berguna. Setiap hari, manusia berusaha membunuh mereka karena merasa terganggu.”
“Karena itu, sangat susah hidup lama. Padahal, sama seperti kita, mereka juga berkembang biak dan punya anak. Mereka, para anak-anak nyamuk, masih terus beterbangan ke sana-sini mencari sesuap darah di manusia seperti biasa, walaupun ayah ibunya telah tewas dimangsa manusia. Tapi mereka tak manja dan terus berusaha, menjalani hidup walaupun harus mendekati manusia lagi untuk mencari makan.”
“Tapi itu nyamuk, kau tentu berbeda dengan mereka, Nak. Kau istimewa di mata Tuhan. Hidupmu bukan hanya untuk mencari makan. Jadi hargailah waktu hidup kamu, berhentilah ngambek kepada Tuhan. Cobalah kembali kepada-Nya. Minta tolong untuk semua masalahmu, karena Dia selalu menyayangi dan menolong setiap hamba yang berdoa kepada-Nya”.
“Aku yakin, orang tuamu pasti berharap punya anak yang baik dan salih. Jangan sampai orang tua kamu yang sudah duluan hidupnya sia-sia karena anaknya yang tidak mau mengingat Tuhan lagi”.
“Kamu masih menyayangi orang tua mu, kan?” Sambungnya setelah melontarkan untaian kata-kata hikmah tadi.
“Iya pak, aku masih sangat menyayanginya” jawabku dengan mata yang masih sembab.
“Lantas, kenapa sekarang kau tidak berbakti kepada mereka?”
Mataku menyorot wajahnya penuh kebingungan. Bapak bercanda? Mereka sudah meninggal, Pak. Bagaimana caranya berbakti kepada orang yang sudah tidak ada?!
“Meski mereka sudah tidak ada, kamu tetap masih bisa berbakti, tapi dengan cara yang sedikit berbeda. Tunjukkan kasih sayangmu dengan mendoakannya sebagai anak. Karena salah satu amal yang tidak pernah terputus ketika meninggal dunia adalah doa anak yang saleh. Percayalah, ibumu pasti akan senang menerima hadiah doa dari anaknya.”
Kepalaku tertunduk lagi, tak kuasa menahan tangis. Sebenarnya malu sekali anak muda sepertiku menangis tersedu di depan orang tua. Tapi, kalimatnya benar-benar menembus dadaku.
Kalimat demi kalimat yang disampaikan oleh pak tua itu membuat pintu hati yang terkunci selama ini akhirnya terbuka dengan pencerahan yang begitu lembut. Tanpa perlu menghakimi perilaku jahanam yang selama ini aku lakukan.
Mendapatkan diriku di situasi ini, akhirnya aku memutuskan untuk menerima ajakan pak tua itu untuk masuk ke masjid.
“Ada pakaian bersih enggak, Pak?”, pintaku sembari mengikuti pak tua itu dari belakang menuju gerbang masjid. Aku ingat betul ibu pernah mengajariku jika hendak salat kita harus bersih terlebih dahulu.
“Sini, ikut aku ke kamar belakang masjid”, ajaknya sambil menuntunku di teras masjid.
“S-s-sama bisa tolong diajarin wudhu, Pak, Saya sudah lama sekali tidak berwudu. Sekalian sama gerakan solat dan bacaannya ya, Pak” pintaku dengan sedikit malu. Pak tua itu tersenyum lebar setengah tertawa.
“Iya, nanti saya ajarkan. Gampang itu. Tapi kamu makan dulu sana, pasti belum makan karena tadi puasa”, ia menunjuk pada makanan yang nampaknya sisa makanan buka puasa di masjid tadi sore. Aku menyumpah dalam hati, tersadar kalau belum makan minum sejak kemarin, meskipun memang tak berniat untuk puasa.