CerpenIslamiasastra

Kesempatan Kedua

Penulis: Sarah Shofiah | Editor: Akmal Sulaeman

Terima kasih telah mengirim surat lamaran kerja anda. Namun kami merasa bahwa kualifikasi para pelamar lainnya lebih mendekati persyaratan yang kami butuhkan.

Adalah kalimat yang pertama kali menyambut Faisal saat membuka matanya yang masih setengah sadar pagi ini. Satu lagi kabar penolakan yang diterimanya. Pendaftaran sebelumnya juga bernasib sama. Tak ada yang berubah.

Dulu pemuda itu hidup makmur, ia bekerja di perusahaan yang masyhur. Sayangnya, nasib baik tak berpihak padanya. Tempatnya bekerja di ambang keruntuhan. Kebangkrutan yang dialami mencekik leher para karyawan. Upah yang diberikan terus menerus dipangkas demi menyelamatkan nyawa perusahaan. Bahkan sebagian besar pegawai terpaksa disingkirkan, termasuk Faisal.

Ia berjuang menempuh takdir seorang diri, bapak dan emaknya di kampung sudah berpulang ke pelukan Tuhan. Diambil di saat bersamaan, tewas karena kecelakaan.

“Duh sepertinya ini tak cukup untuk bertahan sebulan lagi,” keluhnya sembari meremas dompet lusuh berisi harta terakhirnya yang kian kering kerontang. Nasibnya kini tiba ujung tanduk. Otaknya dipaksa berpikir keras demi menjaga kelangsungan hidup. Setidaknya untuk makan dan membayar biaya kos yang bahkan atap dan dindingnya sudah tak kuasa menahan guyuran air yang tumpah dari langit.

Pemuda berkulit kecoklatan itu pun memutuskan untuk meminjam uang. Segera pikirannya mencekal. Sadar bahwa tindakan itu hanya menyeretnya dalam hutang dan jeratan lintah darat.

***

Matahari mulai menyapa langit, pria sebatang kara itu mencoba peruntungannya pada usaha dagang. Mengandalkan uang simpanan yang makin menipis. Jualan gorengan pun dipilih sebagai keputusan akhir. Terlebih sudah memasuki bulan Ramadan, pasti akan menarik banyak pembeli.

Benar saja, tebakannya tepat sasaran. Dagangannya ramai dan meraup keuntungan.

“Kalau tiap hari laris seperti ini, tunggakan biaya kos-an bisa kulunasi, bahkan sebulan lagi aku mungkin bisa pindah ke tempat yang lebih baik,” teriaknya semangat, wajahnya berseri menggenggam uang hasil jualan. Kebahagiaannya begitu awet, tak terhalang langit yang mulai menjingga.

Gedebuk! Kepalan tangan spontan mendarat tepat di pipi kiri Faisal, menghapus senyumnya yang sejak tadi merekah. Berdiri dua sosok berbadan tinggi. Salah satunya punya lengan berotot yang dibalut tato bermotif harimau. Wajah mereka merah padam. Tangan keduanya sibuk mengacak dan menghamburkan barangnya. Semua rusak tak bersisa.

“Pasar ini wilayah kami, tak boleh ada yang berjualan tanpa izin kami!” Seru si lengan bertato dengan napas penuh amarah.

“Pergi kau! Jangan pernah berniat untuk kembali berjualan disini atau nanti nyawamu pula yang kami rampas,” tambahnya.

Nahas, kini tubuh pemuda itu lunglai terperenyak di sudut pasar. Para preman telah raib jauh dari pandangannya. Menyisakan sisi wajah lebam menghitam, gelapnya hampir menandingi langit malam itu. Seluruh hartanya disapu habis oleh mereka.

Pemuda malang itu membawa tubuhnya yang tak berdaya, berusaha menemukan pihak keamanan yang berada di sekitar pasar. Ia melaporkan kejadian tersebut pada polisi, berharap penjahat itu ditemukan dan semua uang yang direnggut bisa kembali ke tangan pemiliknya.

“Tenang saja, mas. Kami akan berusaha mencari. Nanti kami kabari jika sudah tertangkap,” ujar polisi pasar itu. Kalimat itu membuat pemuda berkulit kecoklatan itu bernapas lega untuk sementara waktu.

***

Hari berganti hari, polisi tak kunjung membawa kabar. Ditambah lagi informasi tersebar bahwa ternyata polisi pasar itu adalah kaki tangan si preman. Jika benar, tentu permohonannya kala itu hanya sekadar angin lalu. Upaya Faisal nihil.

Rasa lapar semakin aktif menggerogoti perutnya. Kali ini mencari pertolongan dari teman-temannya. Mendatangi mereka dengan harapan ada yang akan berbelas kasih. Sayangnya, hasil usahanya bak menangkap angin, sia-sia. Tak satupun temannya yang bersedia. Mereka berdalih, “Giliran saat kami susah dulu, kau acuh tak mau membantu”.

Pemuda keroncongan itu terus melangkahkan kaki tanpa tujuan. Menyusuri bahu jalan sembari singgah di setiap warung yang ia dapati. Semua memprotes kemunculannya. Hingga akhirnya ada yang iba dan bersedia memberi. Nasi dan remahan lauk sisa pun sudah cukup membuatnya bertahan hingga esok hari.

Selama dua hari pemilik warung itu masih rela membagi. Namun setelah tiga hari berlalu, ia menjadi risih dan melarang kehadiran pemuda kurus itu lagi. Sejak saat itu, sahur dan berbukanya hanya ditemani air kosong. Kesehatannya terus menurun, wajah tropis kecoklatannya kini memutih, bagai ayam dimakan tungau.

Saat matahari mencapai titik tertingginya, kondisi Faisal justru menghampiri batas terendahnya. Raganya makin lesuh, berat badannya merosot signifikan, mata berkunang-kunang, kram dan nyeri di perut datang silih berganti. Sudah lama sejak nutrisi terakhir masuk ke dalam tubuhnya, keadaan memaksanya untuk terus puasa.

***

Tubuh kering Faisal meringkuk di ruas jalan dengan keadaan memprihatinkan. Pandangannya kosong menyapu tanah. Seorang pria paruh baya tiba-tiba duduk di sisinya. Entah muncul dari mana. Dari garis di wajahnya kemungkinan dia sudah berkepala lima, mungkin lebih.  Pria asing itu sontak merogoh kantongnya, menyodorkan makanan pada pemuda yang beberapa jam lagi akan kehilangan kesadaran jika tidak makan.

“Makanlah nak, rupamu sudah macam mayat hidup,” pintanya sambil menyodorkan sebungkus nasi pecel.

“Bapak siapa? Kenapa menolong saya?” Faisal spontan bertanya. Bagaimana tidak, pria tua di depan matanya tampak seperti orang yang sehari-harinya juga makan tanah. Bajunya lusuh sudah ditambal sana sini, telapak kaki yang menebal ditempa aspal, topinya bahkan berlubang tak lagi sesuai fungsi. Jelas sekali bapak itu lebih butuh dibandingkan dirinya.

“Ya karena bapak kasihan sama kau lah,” jawabnya.

“Tak usahlah kau sungkan, hidupku aman-aman saja, kau lebih butuh,” tambahnya. Pria tua itu bahkan bangga memamerkan dua gepok uang di dalam tasnya. Semua dia dapatkan dengan mudah, dari belas kasih orang-orang yang lewat.

Kedua lensa Faisal membeliak. Melihat tumpukan uang itu, seperti ada bohlam yang keluar dari kepalanya, otaknya mulai memproduksi ide baru. “Bagaimana kalau aku melakukan hal yang sama?” Pikirnya.

Malam sudah berganti pagi, ia segera melancarkan aksinya. Mulai dari memodifikasi pakaian, bahkan wajahnya dibuat kotor agar memancing rasa iba para dermawan. Semua terinspirasi dari si bapak tua.

Hari pertamanya berjalan lancar, beberapa orang yang benar memberinya sedekah. Meski belum sebanyak yang dibayangkannya, tetapi cukup untuk mengisi perut. Hari-hari berikutnya sama, hanya selisih beberapa ribu.

Tepat setelah seminggu melancarkan usahanya, pundi-pundi rupiah surut secara bertahap, hingga tak lagi datang sepeserpun. Meski terus menanti, kaleng di hadapannya tak kunjung terisi. Jangankan selembar, sekeping koin pun tidak.  Faisal menghela napas panjang dengan kedua tangan hampa. Harapannya mulai padam seperti lampu kekurangan minyak.

Di tengah lamunan, tamu tak diundang menghampirinya. Pikiran dan kenangan lama.

“Mengapa aku harus repot-repot memberikan harta yang susah payah aku dapatkan untuk orang-orang kotor dan malas seperti mereka?!”

Itu adalah ucapan yang terlintas jelas di benaknya kala ia masih ‘berada’, saat hatinya dibutakan oleh harta dan takut kehilangan hasil keringatnya. Selama ini fokusnya dihabiskan dengan mengejar dunia. Tak sekalipun ingat untuk menyambung hubungannya dengan teman-teman. Lupa pada kenyataan bahwa manusia saling membutuhkan. Bahkan luput untuk bersandar pada Tuhan yang menciptakannya.

Menyadari betapa buruk dirinya, dadanya terasa sesak. Napasnya tersengal. Kedua lensanya tak kuasa membendung. Hujan deras berlomba-lomba keluar dari pelupuk matanya. Jejaknya mengalir membentuk parit hingga ke dagu, terus berlanjut hingga akhirnya terlelap dengan air mata yang belum kering.

***

Sinar matahari mengintip di sela-sela jendela. Faisal terbangun di atas kasur yang familiar baginya. Matanya pun menangkap sebuah pemandangan yang tak asing. Dia ada di dalam kos-an tempat tinggalnya. Kedua lensanya fokus pada satu hal.

Sehubungan dengan surat lamaran yang saudara kirimkan, kami beritahukan bahwa saudara telah dinyatakan lulus seleksi.

Kami mohon kesediaan saudara agar mengikuti orientasi. Terima kasih.

Ia diterima. Semua hal yang ia saksikan dan alami adalah teguran dari Tuhan. Terasa cukup nyata meski lewat perantara bunga tidurnya. Tanpa ia sangka, rahmat serta kebesaran Tuhan masih mengalir deras padanya. Tuhan masih memberinya kesempatan kedua. Hidupnya masih terus berlanjut, tapi tidak dengan lalai dan angkuhnya.

Artikel Terkait

Beri Komentar