ArtikelIlmiahIslamia

Puasa dalam Mentalitas Sosial dan Asa Kemerdekaan

Penulis: Ryan Saputra | Editor: Akmal Sulaeman

Secara legal formal syar’i, puasa adalah salah satu ibadah penting dalam agama Islam yang diwajibkan bagi pemeluknya. Salah satu tujuan puasa yang tersurat dalam Al-Quran adalah ketakwaan. “Kampung takwa” yang menjadi tujuan dari ibadah tersebut akan dituai ketika kita mampu menjalaninya dengan baik. Hidup yang penuh rahmat, saling memberi respek, saling tolong-menolong, menjadi gambaran hidup yang akan dinikmati oleh hamba yang berhasil. Betapa meruginya jika kita tidak mendapatkan apapun dari serapan nilai-nilai Ramadan yang melimpah-ruah.

Puasa merupakan ibadah yang memiliki nilai spiritual multidemensi, baik secara individual maupun sosial. Kesalehan individual dapat diusahakan melalui meditasi terhadap esensi puasa itu sendiri. Memahami dan menghayati arti puasa, memerlukan pemahaman terhadap dua hal pokok menyangkut hakikat manusia sebagai hamba dan kewajibannya di muka bumi sebagai “Wakil Tuhan”. Hakikat manusia sebagai hamba tentu tidak lain agar mengukuhkan iman dan senantiasa beribadah kepada-Nya.

Hakikat selanjutnya adalah bagaimana seorang manusia memahami kewajibannya sebagai individu yang menjadi “Wakil Tuhan” di muka bumi. Sebagai makhluk yang diamanahkan menjadi khalifah, manusia memiliki fungsi mengelola dan mendinamisasi kehidupan agar selalu on the right lane, selaras dengan peta yang digariskan Tuhan. Beriringan dengan itu, hadirnya segi kehidupan yang menuntut adanya dimensi sosial-horizontal (hablum minannas) tentu menjadi tugas bersama dalam menjaga stabilitas bumi sebagai laporan pertanggungjawaban-vertikal (hablum minallah).

Mentalitas Sosial

Bagaimana kewajiban puasa dengan buah yang dijanjikan berupa ketakwaan mampu menyelesaikan masalah berdimensi sosial? Telah kita ketahui, bahwa destinasi puasa adalah bagaimana menjadikan hamba agar bertakwa. Bertakwa berarti menjadi hamba Tuhan yang paripurna. Menjadi hamba yang menunaikan risalah ketuhanan di muka bumi dan menjadi hamba yang loyal. Sehingga dengan suasana demikian, tentu dapat mengantarkan suatu tempat atau negeri menjadi makmur penuh berkah. Hal tersebut senada dengan misi yang tertuang dalam surah Al-A’raf ayat 7:

“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah langit dan bumi…”

Lebih jauh lagi, dengan berpuasa tidak hanya melatih “hasrat baik” dari kepentingan jiwa saja. Bahkan lebih dari itu. Puasa adalah bagaimana kita memiliki mentalitas sosial. Sebuah aksi kesadaran kolektif yang humanis. Sehingga, kesadaran berketuhanan berbanding lurus dengan kesadaran berkemanusiaan. Jikalau mengutip perkataan Tuan Guru Bajang, bahwa manusia ketika memiliki nilai kemanusiaan, pasti beragamanya juga baik. Bagaimana kita berpihak kepada kelompok marginal, kaum perempuan, korban perang, orang-orang difabel, dan masyarakat-masyarakat yang terpinggirkan.

Oleh karena itu, penting memiliki kesadaran diri tentang posisi sosial manusia, agar menjadi kunci pencerahan umat manusia. Karena kewajiban berpuasa bagi orang beriman bertujuan juga dalam melatih solidaritas sosial, yakni turut merasakan kondisi kaum mustadhafin (orang-orang lemah) yang tertindas oleh kaum-kaum dominatif. Karena itu, hakikat puasa dalam kacamata dimensi sosial bukan semata-mata kewajiban yang harus dilaksanakan orang beriman. Namun, sebagai bentuk kepedulian dan keterlibatan sesama manusia dalam merasakan “susahnya” menjadi mereka.

Tentu tidak sekadar merasakannya saja, tapi bagaimana mengambil peran bersama dalam menyelesaikan permasalahan sosial yang ada. Kemiskinan, ketidakadilan, korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, dan lainnya harus segera mungkin dihancurleburkan. Sehingga, puasa sepatutnya menjadi senjata/tameng melawan segala penindasan dan eksploitasi yang mengakibatkan maraknya kemungkaran-kemungkaran tersebut. Akhirnya, Ramadan bukan sekadar meninggalkan bekas spiritual saja, tapi bagaimana aktivitas sosial yang fenomenal juga turut dihadirkan, mengingat dimensi sosial puasa yang dikandungnya begitu besar.

Dengan begitu positif dimensi sosial yang dimiliki oleh puasa, bagi Ayus Mahrus El-Mawa, berpuasa itu tidak hanya menjadi “Ikon bulan Ramadan” saja. Karena puasa dapat pula dilakukan di luar bulan Ramadan sesuai kategori puasanya. Sehingga, kita tidak terjebak lagi pada ritualisme, yang dilakukan berhenti sebatas penuntasan ritus syariah tanpa menginternalisasi muatan atau substansinya. Perlu ada revitalisasi sikap berpuasa, agar kita dapat menyerap syiar Ramadan sebagai kemarakan hati, membahasakan pelipatan ketakziman ke dalam ungkapan perilaku sosial kita.

Asa Kemerdekaan

Dalam konteks sejarah Indonesia, ada beberapa peristiwa sosial yang tersaring dalam spirit bulan Ramadan. Di antaranya, Kongres Pertama Boedi Oetomo pada tanggal 3-5 Oktober 1908 yang bertepatan dengan tanggal 7-9 Ramadan 1326 Hijriah yang digelar di Surabaya. Kemudian, terjadi juga Agresi Militer Belanda Pertama yang terjadi pada tanggal 21 Juli 1947, di mana warga Muslim Indonesia sedang menjalankan ibadah puasa pada awal Ramadan 1366 Hijriah. Lalu siapa sangka, Kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, juga bertepatan dengan tanggal 9 Ramadan 1364 Hijriah yang disertai dengan pemasangan Bendera Merah Putih dan berkumandangnya lagu Indonesia Raya.

Pada konten “Mengingat 9 Ramadhan: Hari Proklamasi Kemerdekaan Indonesia” di situs derapjuang.id, Soekarno menjelaskan, Hari Kemerdekaan Indonesia sudah direncanakan dan akan dijalankan pada tanggal 17 Agustus 1945. Sehingga, sebelum membacakan proklamasi pada tanggal tersebut, Bung Karno terlebih dahulu meminta saran dari beberapa ulama, seperti KH. Abdoel Moekti dari Muhammadiyah dan KH. Hasyim Asy’ari dari Nahdlatul Ulama. Hal tersebut bukan tanpa alasan. Baginya, ada alasan filosofis dengan dipilihnya tanggal 17 Agustus sebagai Hari Kemerdekaan Indonesia.

“Pertama, kita berada dalam bulan suci Ramadan. Tanggal 17 jatuh pada hari Jumat. Al-Quran diturunkan pada tanggal 17 Ramadan. Orang Islam melakukan salat 17 rakaat dalam sehari. Kemudian, aku mendengar kekalahan Jepang dan kemudian aku berfikir kita harus segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Kemudian aku menyadari bahwa takdir Tuhan peristiwa itu akan jatuh tanggal 17. Revolusi mengikuti setelah itu,” ujar Bung Karno.

Karena itu, makna puasa patut menjadi refleksi bersama. Ini tentu tidak semata-mata soal ibadah saja, tapi karena momentum itu terkait perjuangan rakyat dan bangsa kita mencapai sebuah kemerdekaan. Merdeka atas praktik ketidakadilan dalam kebijakan-kebijakan kolonial sehingga berdampak pada penderitaan, kelaparan, dan ketertindasan. Sudah sepatutnya kita berbangga dengan bulan Ramadan, terutama mengingatkan kita tentang arti perjuangan bersama membawa negara kepada kemaslahatan umat. Tentu tidak sebatas  berbangga saja, tapi perlu adanya rekonstruksi spirit yang positif dalam merawat asa kemerdekaan. Dengan demikian, beberapa kejadian pilu yang kembali terulang hingga hari ini sudah seharusnya menjadi concern bersama yang harus kita berantas sama-sama.

Ramadan akan terus menuang ajaran hidup indah, mentalitas kendali diri, dan akhlak sosial. Karena dalam nuansa teologis, selain sebagai bentuk pengaplikasian firman Tuhan yang berimplikasi ibadah kepada-Nya, juga mengandung aspek kemanusiaan yang “menjaring” di dalamnya. Sehingga, kohesivitas sosial dan puasa merupakan hal simbiotik yang tak terpisahkan satu sama lain.

Terakhir, penulis ingin mengutip sebuah perkataan Syekh Abdul Madjid, seorang ulama karismatik dari tanah Lombok, Nusa Tenggara Barat. Pendiri organisasi Nahdlatul Wathan tersebut pernah berpesan kepada Tuan Guru Bajang:

“Beliau mengenalkan bahwa keislaman dan keindonesiaan itu adalah dua sisi dari satu mata uang yang sama. Jadi, kalau mau berjuang untuk agama, harus berjuang untuk Indonesia. Perjuanganmu untuk bangsa, itu sudah menunjukkan kamu beragama yang baik”.

Berangkat dari perkataan tersebut, kita bisa membaca Syekh Abdul Madjid yang ingin menyampaikan kepada sang cucu, bahwa loyal terhadap negara adalah sebagian daripada iman, di mana menjadi peranti yang harus dijaga oleh setiap muslim dan warga Indonesia. Sehingga, dengan mentalitas sosial dan nilai ritus yang ada dalam puasa akan semakin mengukuhkan iman dan aman kita dalam mengarungi grasah-grusuh kehidupan ini. Karena bagaimana pun “kesetiaan” yang keras kepala itu sangat berharga untuk zaman kita yang penuh dengan “perselingkuhan”.

Selamat menunaikan ibadah puasa! Sekian.

Artikel Terkait

Beri Komentar