CerpenIslamiasastra

Kakek dan Hadiah Misteriusnya

Penulis: Haeril Yusuf | Editor: Afriadi Ramadhan

Udara dan angin sekitar terasa tenang. Malam yang penuh kelembutan, cerah tidak begitu panas, juga tidak begitu dingin. Langit berseri-seri, menjadi lintasan bagi ribuan malaikat yang turun ke bumi.

Cerita kakek tentang malam yang lebih baik dari seribu bulan. Suaranya yang masih terdengar serak senantiasa terbayang dalam ingatan. Sewaktu aku masih kecil, kakek selalu menceritakan tentang kado yang istimewa. Dia menceritakannya hampir setiap malam. Ya, hanya bercerita saja. Sampai sekarang, dia tak pernah memberiku kado istimewa itu.

Tapi aku juga tak pernah mengharapkan hadiah itu darinya. Harapanku sederhana, aku ingin kakek selalu ada menemaniku. Sudah, itu saja.

Namun, tahun berganti tahun, waktu semakin banyak memakan usia kakek. Tua rentah kini menampar dirinya. Penyakit jantungnya kambuh lebih sering daripada sebelum-sebelumnya, akan tetapi semangatnya dalam beribadah tak pernah pudar.

Hingga suatu malam aku terbangun dari tidur, kulihat kakek sedang bersua di atas sajadah seraya memutar bola-bola tasbih di tangannya. Bibirnya bergerak lembut menyebut Asma Allah. Hingga kutatap lebih mendalam, air matanya pun mengalir membasahi kedua pipinya.

“Ayo tidur, Kek”, pintaku sedikit memaksa. “Kakek sudah berjam-jam duduk di atas sajadah, nanti kakek sakit, gimana?!”

“Sebentar lagi kakek tidur kok. Kau tidur duluan yah nak, nanti kakek menyusul,” balas kakek dengan suara serak dan bergetar.

Baiklah, hampir setiap malam aku mengajaknya setengah paksa begini. Tapi tak sekalipun ia pernah mengalah. Kasur sama sekali tak pernah jadi pilihannya ketika masih nyaman di atas sajadah.

Lalu aku terlelap dalam mimpi, hingga aku terbangun untuk menyiapkan sahur. Kulihat kakek masih khusyuk di atas sajadahnya.

Keesokan harinya, aku ikut salat Tahajjud bersama kakek. Aku bermaksud untuk menemaninya, Kami berdua salat berjamaah, hingga membaca Al-Qur’an dan menyebut Asma Allah yang tak henti-henti. Namun tak lama, tibalah mataku mulai berat, dan akhirnya aku tertidur di atas sajadah.

***

Kemudian, setelah ketiduran entah berapa lama di atas sajadah, angin sepoi-sepoi mengusap wajahku. Membuat mataku sedikit demi sedikit terbuka. Kuedarkan pandangan ke tempat kakek salat, namun kudapati kakek tak ada di tempatnya.

“Dimana kakek?!”, kataku sambil dihantui kepanikan. Panik. Aku mulai melangkah untuk mencarinya, hingga aku sampai di pintu depan rumah. Kudapati kakek bersujud dengan pintu yang terbuka lebar. Astaga.

“Apa yang dilakukan kakek dingin-dingin begini?”, ucapku menggerutu heran.

Aku menghampiri kakek. Subhanallah, saat kusentuh, tubuhnya menggigil, lidahnya tak berhenti bertasbih, matanya seperti menyaksikan sesuatu yang luar biasa. Hingga beberapa saat kemudian, kakek bangkit kemudian menatapku dengan tatapan indah. seraya berkata,

“Nak, apakah kamu masih penasaran dengan hadiah yang selalu kuceritakan itu?” Tanya kakek dengan tersenyum, walau wajahnya putih pucat.

Aku mengangguk.

“Hadiah itu bukan sebuah barang seperti yang kamu pikirkan. Melainkan sebuah malam”.

Aku mengernyitkan dahi, sedikit kebingungan. “Namanya malam Lailatul Qadar”, lanjut Kakek.

“Orang yang mendapatkan Lailatul Qadar akan melihat semua dengan terang di kegelapan malam. Tanpa kita sadari, semesta ini sebenarnya bersujud dan bertasbih kepada Allah. Namun, manusia tak begitu saja bisa melihatnya secara kasat mata. Jika hal demikian ditampakkan pada semua orang, maka mereka akan berbondong-bondong untuk bersujud di hadapan-Nya. Maka beruntunglah orang yang mendapati malam Lailatul Qadar, karena semua pintu kebaikan akan terbuka untuknya”.

Aku tersentak. Mendengar keistimewaan sebuah malam yang luar biasa. Akhirnya aku tahu kenapa hadiah yang dibicarakan Kakek itu begitu spesial. Aku tahu malam Lailatul Qadar adalah hadiah spektakuler yang Allah siapkan untuk hamba di bulan Ramadan. Inilah yang membuat Kakek menyibukkan diri untuk beribadah di setiap malamnya.

Potongan kenangan bersama Kakek ini berkelabat di hatiku. Meski telah lewat beberapa tahun lalu. Saat ini, di teras rumah, di bawah pelukan pesona langit malam yang indah, kubuka lembaran ukiran tangan Imam Razi,

”Sesungguhnya Allah Swt. telah merahasiakan malam Lailatul Qadar karena beberapa alasan. Pertama, Allah telah merahasiakannya sebagaimana Ia rahasiakan beberapa hal. Allah rahasiakan ridha-Nya dalam ketaatan, sehingga manusia menyukai semua ketaatan.”

“Merahasiakan dikabulkannya doa di antara doa-doa, agar manusia bersungguh-sungguh dalam setiap doanya. Merahasiakan ismul a’dzham di antara nama-nama-Nya, agar manusia mengagungkan semua nama-Nya.”

“Merahasiakan shalatul wustha di antara semua shalat lima waktu, agar manusia menjaga semua waktu shalat. Merahasiakan diterimanya taubat di antara taubat-taubat, supaya manusia bersungguh-sungguh dalam setiap taubatnya. Merahasiakan kematian di dalam kehidupan, supaya manusia takut kepada Allah.”

“Demikian pula merahasiakan malam Lailatul Qadar di antara malam-malam Ramadan, supaya manusia bersungguh-sungguh beribadah pada semua malam Ramadan.”

Setelah itu, kudapati lisan Ibnu Abbas berkata, “Lailatul Qadar adalah malam yang penuh kelembutan, tidak begitu panas, juga tidak begitu dingin. Pada pagi hari matahari bersinar lemah dan nampak kemerah-merahan”.

Hingga pada akhirnya aku tersadar dari lamunanku dan segera menyiapkan menu buka puasa bersama Kakek.

Artikel Terkait

Beri Komentar