Penulis: Tri Satriawan | Editor: Ilham Pratama
Bulan suci Ramadan adalah bulan yang penuh keberkahan dan dilipat ganda pahala kebaikan. Allah mengkhususkan puasa wajib di bulan tersebut, sebagaimana dalam firman-Nya:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَۙ.
Artinya: “Wahai orang-orang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”
Pada lanjutan firman-Nya, Allah juga memberikan keringanan bagi orang yang betul-betul kepayahan dalam menjalankan puasa dengan boleh membayar fidyah yang telah dijelaskan di berbagai karangan ulama. Hal ini menunjukkan bahwa kewajiban puasa merupakan syariat yang sangat agung di sisi-Nya.
Namun, hal-hal yang sering kita jumpai pada masyarakat sekarang justru sebaliknya. Mereka menghabiskan puasanya dari setelah sahur dengan tidur hingga siang, bahkan hingga sore hari. Kemudian malamnya dilanjutkan dengan kegiatan yang justru melalaikan. Mereka beranggapan bahwa tidak makan dan minum dari terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari bisa dijadikan alasan untuk bermalas-malasan sepanjang hari. Padahal keadaan itu bukanlah tujuan dari disyariatkannya puasa.
Jika kita kembali melihat sejarah umat Islam, kita menjumpai bahwa ada banyak peristiwa besar yang terjadi pada bulan suci Ramadan. Peristiwa-peristiwa tersebut tak jarang membutuhkan aktivitas fisik yang banyak serta tenaga yang besar. Di antaranya adalah perang Badar dan Fathu Makkah. Perang pertama yang melibatkan kaum muslim setelah hijrah dari Makkah ke Madinah itu terjadi tepat pada bulan suci Ramadan. Jumlah umat muslim yang turut serta pada saat itu adalah 314 orang, sangat kontras dengan pasukan kaum kafir Quraisy yang berjumlah kurang lebih 1000 orang.
Peristiwa ini terjadi disebabkan karena kaum muslimin ingin mencegah rombongan dagang Abi Sufyan yang memperdagangkan hartanya. Dan hal ini diketahui oleh kaum muslimin yang ada di Madinah dan langsung bersiap-siap. Di lain sisi, ternyata strategi kaum muslimin telah diketahui oleh Abu Sufyan, sehingga dia memanggil bala bantuan pasukan siap tempur yang dipimpin oleh Abu Jahal. Hal tersebut berbanding terbalik dengan kaum Muslim yang datang tanpa persiapan perang.
Kondisi kaum Muslimin saat itu yang sangat sedikit, juga sedang menjalankan ibadah puasa, menjadikan keunggulan kaum kafir di atas langit dan kemenangan mereka seperti ada di depan mata. Namun ternyata yang terjadi justru sebaliknya, yaitu kemenangan kaum muslimin atas pertolongan Allah.
Umat Islam yang awalnya hanya menginginkan barang dagangan Abu Sufyan justru mendapatkan harta yang lebih besar dan banyak. Dan ini semua terjadi sesaat ketika Ramadan sedang terjadi.
Selain perang Badar, peristiwa besar yang terjadi pada bulan Ramadan adalah Fathu Makkah (Penaklukkan Makkah). Peristiwa gemilang ini terjadi pada bulan Ramadan tahun ke-8 hijriah.
Menurut sejarah, pasukan muslim tidak mengalami perlawanan saat memasuki Makkah. Seluruh kaum kafir Quraisy datang beramai-ramai untuk masuk Islam. Ketika Rasulullah masuk ke Masjidil Haram dan menuju Ka’bah, beliau segera menghancurkan berhala-berhala yang ada di dalamnya. Berhala-berhala yang dihancurkan oleh Rasulullah berjumlah 360 berhala. Rasulullah menghancurkan semuanya satu persatu hingga tidak ada yang tersisa.
Nilai Pelajaran dari Kedua Peristiwa Besar
Perang Badar dan Fathu Makkah, sebagai refleksi untuk umat Muslim agar selalu meningkatkan kualitas puasa. Umat Islam dituntut agar tetap bersiap untuk menghadapi kondisi apapun di segala waktu, termasuk berperang di waktu bulan puasa. Pada waktu perang Badar, Rasulullah mempersiapkan dirinya dan kaum muslimin secara lahir dan batin. Persiapan lahir meliputi menyusun strategi dan bermusyawarah serta mengejar rombongan dagang Abu Sufyan. Sedangkan persiapan batin adalah Rasulullah selalu berdoa dan mendekatkan dirinya kepada sang Maha Pencipta siang dan malam.
Diceritakan ketika mendekati waktu perang Badar, Abu Bakar melihat Rasulullah begitu larut dan tenggelam dalam beribadah. Rasulullah berdoa begitu khusyuk kepada Allah agar diberikan pertolongan pada saat perang hingga kakinya bengkak.
Sedangkan pada saat peristiwa Fathu Makkah, Rasulullah menghancurkan semua berhala yang ada di kakbah. Hal ini sebagai simbol pembersihan berbagai kebatilan yang ada di dalam diri. Pembersihannya dilakukan dengan melakukan berbagai amalan kebaikan dan meninggalkan berbagai keburukan yang di dalam diri. Sehingga ketika diri telah bersih dari berbagai keburukan, ibarat kakbah yang bersih dari berbagai berhala.
Artinya puasa tidak menjadi penghalang untuk beramal dan mendidik hawa nafsu kita untuk menjadi dekat kepada Allah. Imam al Ghazali sendiri membagi tingkatan puasa seorang hamba, yaitu shiyam al-awwam, shiyam al-khoos, dan shiyam al-akhoss.
Shiyam al awwam adalah puasa yang hanya menahan dari lapar dan dahaga. Shiyam al khoos adalah puasa yang menahan seluruh anggota tubuh dari berbuat maksiat. Sedangkan tingkat terakhir adala shiyam al akhoss yaitu puasa yang menahan hati dan akal untuk mengingat selain Allah.
Oleh karena itu pada bulan suci Ramadan, merupakan waktu yang tepat untuk kita membersihkan diri kita dari berbagai perangai dan perilaku yang buruk (takhalli). Lalu kemudian menghiasi diri kita dengan perangai yang baik (tahalli). Sehingga cahaya Ilahi terpancar pada diri kita (tajalli). Ketika kita telah melakukan hal tersebut maka Allah akan menjadi mata kita untuk melihat, telinga kita untuk mendengar, tangan kita untuk berbuat, dan kaki kita untuk berjalan. Lantas di tingkatan mana puasa kita sekarang.