ArtikelIslamia

Sudah Injury Time, Kok Masih Leha-Leha

Penulis: Ilham Pratama | Editor: Afriadi Ramadhan

Ramadan pasti identik dengan pahala yang berkali-kali lipat. Maka akan dipastikan para pemeluknya akan berlomba-lomba dalam memanfaatkan momen ini. Hal tersebut dibuktikan dengan masjid-masjid sepi terkadang mulai penuh secara signifikan. Dan menariknya bukan hanya dari kalangan orang tua, muda-mudi, maupun anak-anak memenuhi masjid dengan riang gembira. Senang dengan datangnya salah satu tamu agung.

Kemudian seperti halnya tamu ketika datang, maka pulang adalah hal yang tidak terelakkan. Nah tepat beberapa hari lagi, Syawal akan ambil bagian untuk memberi lembaran baru terhadap kita. Menggeser tamu tersebut. Namun ada beberapa hal yang mungkin masih luput dari pandangan. Salah satunya adalah intensitas ibadah. Apakah sudah cukup atau masih gitu-gitu aja.

Jika mengikuti dari pengalaman diri sendiri. Intensitas ibadah mendekati malam penghabisan akan menurun mulai awal pertengahan.  Apalagi ini sudah mau selesai. Alasannya mungkin saja adalah istirahat yang makin banyak ambil bagian. Dan biasanya terjadi tepat sesaat matahari muncul hingga mau terbenam. Tapi penulis masih berusaha berfikir positif, bisa jadi karena terlalu bersemangat pada malam hari dalam mencari pundi-pundi pahala.

Olehnya pagi dan siang kerap dipakai untuk istirahat, atau lebih jelasnya dihabiskan untuk tidur. Sebenarnya bukan tanpa sebab, mereka yang santai-santai aja mungkin diperkuat dengan sebuah sandaran hadist. “نوم الصائم عبادة، وصمته تسبيح، ودعاؤه مستجاب، وعمله مضاعف” (Tidurnya orang yang berpuasa itu bernilai ibadah, Diamnya adalah tasbih, doanya akan makbul, dan amalannya pun akan dilipatgandakan).

Lalu Berkaitan dengan hadis tersebut, kita perlu tahu kedudukannya sebelum menggunakannya. Hal itu dikuatkan dengan perkataan salah satu senior hadist di Al-Azhar mengenai kedudukan hadis itu. Beliau menyampaikan bahwa hadis tersebut di-dhaifkan oleh ulama seperti Imam Al-Iraqi, dikarenakan salah satu rawinya ada yang dipercayai sebagai pemalsu hadis.

Di sisi lain, mengenai redaksi hadis tersebut hanya dua bagian saja yang ulama berbeda pendapat. Yaitu, “نوم الصائم عبادة، وصمته تسبيح” (Tidurnya seorang yang berpuasa bernilai ibadah) sedangkan pada bagian ” “ودعاؤه مستجاب، وعمله مضاعف (doanya akan makbul, dan amalannya pun akan dilipatgandakan) tidak diperdebatkan, sebab sesuai dengan esensi puasa itu sendiri. Namun bukan itu sebagai pokok pembahasan kali ini yang saya fokuskan.

Dalam pembahasan puasa dengan tidur, sebenarnya tidak ada masalah dalam melakukan keduanya, asal tidak kebablasan. Tidur dari pagi sampai sore misalnya. Sebab selain kita akan kehilangan salah satu kesempatan terbaik, maka kita juga akan kehilangan esensi dari puasa itu sendiri. Yaitu ikut merasakan penderitaan orang-orang yang kelaparan.

Terus kalau tidur melulu apanya yang dirasakan?

Kendati demikian, dari segi penerapannya, ulama menjabarkan bahwa tidurnya orang yang sedang berpuasa dengan tujuan menghindari maksiat, baru akan terhitung ibadah. Semisal, orang yang terbiasa ber-ghibah di jam istirahat siang, lebih baik dia menghindari kebiasaannya itu dengan tidur. Tidur berpahala yang dimaksud adalah untuk menghindari maksiat, bukan untuk malas-malasan.

Dan kesimpulan dari penulis setelah banyak membahas tentang istirahat kala berpuasa, hanya berhenti pada pertayaan apakah pas momen penghabisan bulan puasa hanya ini kita gunakan sebatas tidur?!

Dari penulis sendiri cukup memberikan apa yang dirasa janggal. Adapun tindakan setelahnya adalah milik pembaca. Mau tidur sampai buka puasa pun gak ada masalah, betul nggak!?  Kan masih ada tahun selanjutnya— ya, itupun jika masih dapat.

 

Artikel Terkait

Beri Komentar