Cerpensastra

Cinta Butuh Pembuktian

Penulis: Sarah Shofiah | Editor: Asdimansyah M.

“Ini kopinya, Pak,” ucap Tina sembari menyuguhkan secangkir kopi hangat di samping bapaknya. Sosok dengan kumis tipis dan kulit kecoklatan itu berbalik melihatnya dengan ekspresi datar tanpa sepatah kata, lalu kembali melanjutkan kesibukan membersihkan motornya.

Menurut Tina, Pak Agus adalah bapak yang pekerja keras dan bertanggung jawab pada pekerjaannya. Postur tubuhnya tegap dengan kulit gelap ditempa matahari. Sosoknya tidak terlalu ekspresif, dengan mimik wajah yang hampir sama di segala keadaan. Setiap hari ia akan keluar bersama motornya mencari dan membawa penumpang menuju tujuan. Mulai ketika matahari menyapa langit hingga terbenam meninggalkan jejak berwarna jingga kekuningan.

Namun, karena kesibukan mencari nafkah, anak gadisnya merasa asing dengan bapaknya sendiri. Pak Agus seakan tak peduli pada hal-hal yang ada di sekitarnya, bahkan anaknya. Sebagai anak tunggal, Tina selalu berusaha mengakrabkan diri dengan bapaknya. Terutama di usianya yang kini sudah beranjak remaja, tentu semakin membutuhkan dukungan penuh dari kedua orang tua. Ia sering merasa iri jika melihat teman yang selalu diantar jemput dan tidak sungkan untuk bertukar cerita dengan ayah mereka. Setiap hari, Tina selalu berusaha mencari peluang agar bisa bercerita dengan bapaknya.

***

Saat gelap malam perlahan menyelimuti bumi, cahaya lampu terpancar dari ruang makan. Tangan Tina dengan cekatan meraih alat makan dari lemari, ia membantu ibunya menyiapkan hidangan makan malam. Suara piring yang beradu dengan sendok memecah keheningan makan malam Keluarga Pak Agus yang duduk saling berhadapan di meja makan.

“Wah, enak sekali!” seru ibu setelah mencoba kari ayam buatan anaknya.

“Ayo, Pak, dimakan! Ini kan makanan favorit bapak. Anakmu sengaja tuh sibuk di dapur dari tadi sore, katanya mau ikut masak kari ayam spesial buat bapaknya,” lanjut ibu sembari menyodorkan mangkuk di hadapan Pak Agus.

Tangan Pak Agus perlahan menyendok dengan tenang. Kedua pupil Tina membesar, kakinya menari-nari di bawah meja makan, ia tidak sabar menunggu tanggapan bapaknya.

“Hmmm,” jawab pria 45 tahun itu dengan suara datar.

Itu satu-satunya respon yang keluar dari lisannya yang diikuti dengan sekali anggukan kecil. Bukan sanjungan dan pujian. Kedua matanya bahkan sama sekali tidak terlihat bersemangat setelah mencoba masakan anak semata wayangnya. Makan malam mereka pun berlanjut. Hati remaja itu dipenuhi rasa kecewa, mengingat respon bapaknya yang tidak sesuai harapan.

“Oh iya, Bu, wali kelasku tadi memintaku membawa salinan akta kelahiran dan kartu keluarga. Semua siswa yang baru lulus diminta membawanya,” ungkap Gadis manis itu.

“Aku sudah mencarinya tapi tidak ada, padahal besok batas terakhir pengumpulan, karena besok lusa sekolah sudah libur. Bantu cari ya, Bu,” pintanya dengan raut wajah memelas.

***

Malam mulai berganti pagi, cahaya surya perlahan mengintip di ufuk timur. Kedua tangan Tina sibuk merapikan meja meski tubuhnya masih dalam balutan mukena. Matanya tiba-tiba menangkap keberadaan dua lembar kertas, salinan berkas yang ia butuhkan. Lembaran itu telah diletakkan rapi di atas tumpukan bukunya. Gadis itu spontan berteriak dengan suara bangun tidur yang masih serak, “Makasih, Bu!”

Setengah jam berlalu, alunan irama wajan besi ibu yang sedang memasak mulai terdengar, disusul oleh harum telur dadar yang membelah udara dingin pagi itu. Tina terlihat mondar-mandir, melangkah tergesa-gesa, kedua lensanya sigap menyusuri seluruh rumah.

“Aduh, sepatuku di mana?” tanya gadis itu sambil mengeluh dalam hati. Kedua tangannya lincah membuka lemari berulang kali, memastikan keberadaan sepatunya.

“Harusnya sepasang sepatu itu ada di luar,” ujar Tina. Kemarin sore dia menjemurnya tepat di samping pot bunga yang tersusun di teras, tepat setelah membawakan bapak secangkir kopi. Remaja itu pasrah. Ia memilih sarapan dan menghentikan pencariannya untuk sementara waktu. Saat itu Pak Agus telah lebih dahulu meninggalkan rumah.

Setelah menghabiskan sepiring nasi hangat dan telur dadar buatan ibu, gadis berkulit coklat terang itu menuju dapur. Tanpa dia sangka, sepatunya tengah bersandar anggun di belakang kulkas. Bibirnya tersenyum tipis, kedua alisnya naik bersamaan seakan masih tak percaya.

“Mestinya ibu memberitahuku kalau meletakkan kalian di sini,” tuturnya pada sepasang alas kaki itu.

“Huuhh,” gadis muda itu menghela  nafas, mengakhiri drama petak umpet bersama sepatunya sejak pagi, lalu bersiap menuju sekolah.

***

Waktu satu pekan berlalu dengan cepat, hari ini merupakan hari yang penting bagi Tina. Pengumuman hasil tes masuk ke salah satu SMA bergengsi di kota. Beberapa menit lagi panitia akan mengirim nama-nama peserta yang berhasil lolos. Ia duduk menyendiri dalam kamar, kakinya terus bergoyang kencang mengikuti irama jantungnya yang berdetak dua kali lipat dari biasanya. Bahkan perutnya mulai mual diterkam rasa gugup selama beberapa menit.

Ting! Sebuah pesan muncul di layar gawai, menampilkan pengumuman yang dinanti-nanti. Tina membeliak karena terkejut. Bibirnya kering, lidahnya terasa kelu. Sayang sekali, namanya tidak tercantum dari awal hingga akhir pengumuman. Dia terisak, sekejap tetesan air mata mulai membanjiri di kedua pipinya.

Gadis muda itu berjalan sempoyongan keluar kamar. Matanya masih sembab berkat tangisan panjang, menyisakan jejak air mata yang sudah mengering. Perasaannya kacau. Saat ini dia benar-benar membutuhkan hiburan dan dukungan.

Tepat setelah itu, Pak Agus sedang duduk bersantai menonton TV di ruang tengah. Tina memberanikan diri untuk menyampaikan hasil tes dan berbagi kesedihan yang terus menghantuinya. Ia berharap bapaknya bisa menghibur dan memberi semangat seperti ayah teman-temannya meski sekali saja.

“Pak…Tina tidak lulus,” ujarnya sambil memperlihatkan file pengumuman. Pria bertubuh tegap itu menghela napas dalam-dalam dengan raut wajah yang masih saja tumpul.

“Kamu daftar lagi di tempat lain,” jawab Pak Agus.

“Masih banyak sekolah yang pendaftarannya masih terbuka,” lanjutnya.

Dua kalimat itu begitu menusuk perasaannya yang sedang rapuh. Tina merasa semakin terpuruk, hatinya pilu mendengar jawaban itu. Kekecewaan kini semakin menggunung dalam dirinya. Tubuh gadis itu terasa seperti dibakar oleh emosi-emosi yang sudah lama terpendam. Darah mendesir naik ke wajahnya.

Namun, tidak ada satupun huruf yang keluar melalui lisannya. Amarah dan kekesalan seakan tertahan di kerongkongan. Ia seperti berada di ruas jalan yang macet, begitu sempit dan sesak. Badai yang berkecamuk dalam dirinya tak kunjung menemukan jalan keluar. Masih terjebak di tempat yang sama.

Badannya terkulai kaku dengan pandangan menyapu tanah, bahkan angin akan dengan mudah merobohkan pertahanannya. Tetapi, angin memilih diam. Hujan lebat turun tangan melakukan tugasnya, membentuk sungai deras di pipinya yang kecoklatan. Bendungannya pecah untuk kedua kalinya.

Segera naluri Tina menyadari keadaannya, lalu bergegas membawanya kembali menenangkan diri di kamar. Peristiwa besar itu terjadi tepat saat ibu tidak berada di rumah. Ia sedang ada urusan ke rumah Bu RT dan akan pulang tengah malam.

Keesokan harinya, ibu mendapati raut wajah anak semata wayangnya kacau, kedua matanya bengkak dan memerah. Tanpa berpikir panjang ibu langsung memasang telinga, mengatur posisi siap mendengarkan curahan hati Tina.

***

Satu jam berlalu, kini ibu paham betul permasalahan yang terjadi.

“Kamu ingat? Tempo hari saat kamu butuh salinan akta lahir dan kartu keluarga, waktu itu bapak sengaja keluar tengah malam mencari tukang foto kopi yang masih buka demi kamu,” ibu menyampaikan dengan suara selembut kapas.

Tubuh Tina masih meringkuk, mendengarkan ibu dengan seksama.

“Masih ada lagi, hari dimana kamu menemukan sepatumu di belakang kulkas, bapak juga yang meletakkannya di sana. Dia menemukan sepatumu belum kering padahal cahaya matahari sudah benar-benar hilang, makanya dipindahkan ke belakang kulkas supaya cepat kering,” lanjut ibu.

Mendengar pengakuan itu, terjawab sudah kekecewaan yang remaja itu rasakan. Bibirnya terkatup, perlahan hatinya mulai lega. Kini ia menyadari bahwa tak sedikit dari ungkapan terima kasihnya kepada ibu, justru harusnya dialamatkan untuk bapak yang diam-diam menaruh perhatian besar pada dirinya.

Artikel Terkait

Beri Komentar