ArtikelEsai

Dilema Demokrasi sebagai Sistem Pemerintahan

Penulis: Muhammad Saladin Ghaza Al Arsyad | Editor: Asdimansyah M.

Kita sebagai rakyat Indonesia pasti tidak asing lagi dengan istilah “Demokrasi”. Negara yang mengadopsi sistem ini biasa ditandai dengan adanya pemilihan umum dalam menentukan pemimpin. Seperti penentuan anggota parlemen atau wakil rakyat dan kepala negara. Penerapannya pun bisa kita dapati di banyak negara, salah satunya Indonesia. Namun, tanpa kita sadari sistem ini ternyata memiliki beberapa celah kecacatan. Bahkan, dapat memberikan dampak buruk bagi negara yang mengadopsi sistem tersebut.

Arti demokrasi sendiri secara bahasa berasal dari dua kata bahasa Yunani, yaitu demos yang berarti rakyat dan kratos yang berarti pemerintahan. Adapun secara pemaknaan lebih luas yang paling mudah dipahami adalah sebagaimana pendefinisian Abraham Lincoln, yaitu sebuah pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat. Adapun dalam KBBI, definisinya lengkap dengan narasi “Melalui perwakilan rakyat”. Pada intinya, demokrasi menginginkan rakyat menjadi pemegang kedaulatan tertinggi dalam sebuah negara atau pemerintahan yang menentukan arah segala macam kebijakan dan keputusan negara.

Pada awalnya, demokrasi bukanlah suatu sistem pemerintahan yang populer di kalangan masyarakat. Namun, Revolusi Prancis (1789-1799) menjadi titik balik pandangan politik masyarakat yang sebelumnya terbiasa hidup di bawah sistem monarki dan aristokrasi, menjadi lebih bebas dan berdaulat. Peristiwa tersebut juga membuka banyak mata masyarakat dunia yang saat itu seringkali mendapat penindasan dan perbuatan tidak mengenakkan dari pihak monarki dan aristokrat yang totaliter dan otoriter. Sejak saat itu, demokrasi menjadi cukup populer dan diimpikan banyak masyarakat yang menginginkan kebebasan dari belenggu monarki dan aristokrasi.

Fakta yang terjadi belakangan ini, ada beberapa negara yang dianggap sebagai monarki berbungkus republik akibat Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme (KKN) yang dilakukan para pejabat di negara tersebut. Selain KKN, Money Politic atau Politik Uang seperti sogok dan suap juga banyak dilakukan oleh para pejabat negara demokrasi. Sehingga pelanggaran-pelanggaran tersebut dianggap sebagai penyebab negara demokrasi sulit maju.

Banyak yang tidak sadar bahwa demokrasi sendiri memiliki banyak celah dan kecacatan, bahkan sekalipun dilaksanakan sebagaimana yang diharapkan orang-orang. Misalkan saja, dalam pemilihan umum (Pemilu), negara sama saja meminta pendapat rakyat tentang siapa yang pantas memimpin negara. Akan tetapi, dalam pelaksanaannya, semua warga di negara tersebut yang telah mencapai usia tertentu dapat hak yang sama untuk memilih wakil rakyat atau pemimpin mereka. Hal ini memberikan celah bagi orang-orang yang tidak berkompeten atau orang-orang yang suaranya bisa dibeli dengan murah akan ikut campur dalam menentukan seorang pemimpin. Baru kemudian negara tersebut melantik seseorang yang terpilih hanya berdasarkan vox populi vox dei, suara rakyat adalah suara Tuhan.

Tidak sampai di situ, dengan celah yang sama, demokrasi juga cacat dari sisi keadilan. Setiap pilihan dianggap sama bobot nilainya sebagai satu suara. Bagaimana mungkin orang yang tingkat pendidikan dan kecerdasannya rendah disamakan dengan para akademisi dalam berbagai bidang keilmuan? Bagaimana mungkin pendapat beban negara dan masyarakat disamakan dengan mereka yang telah memberikan banyak kontribusi dan manfaat bagi negara dan masyarakat? Pemilu yang demikian memang memberikan persamaan bagi seluruh warga negara, tapi bukan keadilan.

Selaras dengan pertanyaan retorik Socrates yang dikutip Plato dalam bukunya , The Republic, “Jika kamu hendak pergi berlayar ke lautan lepas, siapa pilihanmu untuk memimpin pelayaran tersebut? Tidak peduli entah siapa atau seorang yang memang teredukasi dalam hal pelayaran?” Jawabannya tentu kita akan memilih orang yang teredukasi dalam pelayaran. Untuk sampai ke sana, para pemilih juga harusnya adalah orang yang berkompeten dalam menentukan siapa yang teredukasi di dunia pelayaran. Kalau kita coba terapkan pada negara yang mayoritasnya adalah orang-orang berpendidikan rendah, dengan sistem demokrasi, kemungkinan mayoritas memenangkan pemimpin yang berpendidikan rendah akan semakin besar. Kalau sudah terjadi hal demikian, bagaimana mungkin negara itu akan maju?

Lebih dari itu, demokrasi yang diimpikan dan dijunjung tinggi oleh orang-orang justru membuka jalan bagi kediktatoran dan totaliterisme. Bahkan dengan sistem demokrasi,  hal tersebut juga akan dilegitimasi dengan alasan pilihan rakyat. Banyak contoh pemimpin totaliter dan otoriter seperti Dinasti Kim di Korea Utara,  di mana kekuasaan tersebut dilanggengkan dengan demokrasi. Selain itu, praktik pelanggengan kediktatoran dengan demokrasi pun juga pernah terjadi di Tiongkok, Filipina, Kamboja, Korea Selatan, Uni Soviet, dan masih banyak lagi termasuk Indonesia. Bahkan, salah satu manusia paling jahat dan kejam sepanjang sejarah dunia, Adolf Hitler, juga melanggengkan kediktatorannya dengan demokrasi.

Memang ada negara demokrasi yang tidak mempraktikkan kediktatoran seperti kebanyakan negara barat. Namun, hal tersebut tidak menutup demokrasi yang diimpikan banyak orang sebagai sistem cacat dan memiliki banyak celah. Kalau kita mau menelaah lebih lanjut hal tersebut, pembahasan pada tulisan ini akan terlalu melebar. Mungkin hal tersebut akan penulis uraikan dalam tulisan lain.

Kita tidak bisa menafikan fakta bahwa demokrasi saat ini menjadi sistem pemerintahan yang paling populer dan diadopsi oleh hampir semua negara di dunia ini. Akan tetapi, hal tersebut tidak menjadikan demokrasi sebagai sistem yang adil dan yang terbaik. Sekalipun seluruh dunia menganggap suatu perkara itu baik dan adil, tapi kita punya akal sehat dan hati nurani untuk menilai. Pada akhirnya, walaupun mewujudkan keadilan memanglah sulit dan membutuhkan pengorbanan yang berat, tetap harus ada usaha yang maksimal. Sebagaimana sebuah ungkapan dari para filsuf latin,  fiat justitia ruat caelum, biarkan keadilan ditegakkan walau langit runtuh.

 

Referensi:

 

 

Artikel Terkait

Beri Komentar