Penulis: Akmal Sulaeman | Editor: Asdimansyah M.
Pria tua itu kini hanya bisa terbaring di ranjang rumah sakit. Di usianya yang sudah 95 tahun, ia harus akrab dengan ahli saraf dan terapis wicara. Saat ini, ia masih terus berjuang dalam pemulihannya setelah mengalami stroke pada Juni 2023 lalu.
Dulunya ia merupakan orang yang sering kali menyuarakan dan menentang ketidaksetaraan di negeri Paman Sam. Ia mengkritik berbagai kebijakan luar negeri Amerika Serikat yang seringkali agresif, intervensi, di negara-negara lain dengan tujuan mengamankan kepentingan ekonominya.
Ia memiliki rambut cenderung berwarna abu-abu, tipis dan berantakan, serta sering kali terlihat sedikit lebih panjang. Wajahnya memiliki garis halus akibat penuaan, dengan ekspresi serius tapi bijaksana. Matanya yang tajam mencerminkan intelektualitas serta kedalaman pemikiran. Ia sering kali terlihat merenung atau berpikir mendalam. Tubuhnya memiliki postur yang tidak terlalu tinggi dan agak kurus.
Memiliki nama lengkap Avram Noam Chomsky. Ia lahir pada 7 Desember 1928 di Philadelphia, Pennsylvania, Amerika Serikat. Nama depannya, Avram, berasal dari tradisi Yahudi, tapi ia lebih dikenal dengan nama tengahnya, Noam.
Walaupun ia berdarah Yahudi, bukan berarti ia berpihak atau diam atas aksi genosida yang dilakukan oleh Israel. Bahkan dalam kondisi stroke yang membuatnya kesulitan berbicara ia masih turut prihatin dan mengikuti perkembangan berita konflik global.
Dalam ruang pemulihannya di salah satu rumah sakit Sao Paulo, Brasil, Noam Chomsky biasa terlihat menunjukkan reaksi emosional terhadap peristiwa di Gaza. Ia mengangkat lengan kirinya saat melihat gambar-gambar yang memperlihatkan dampak dari kekejaman para pasukan Zionis.
Sejak dulu, Chomsky secara terbuka mengkritik kebijakan negara Israel. Menurutnya, ideologi Zionisme bertanggung jawab atas penindasan dan pengusiran rakyat Palestina dari tanah mereka.
Chomsky memiliki sikap independen terhadap berbagai isu, termasuk hubungan Yahudi dan Israel. Ia menolak untuk dibatasi oleh tekanan sosial atau politik yang sering kali membuat orang Yahudi lainnya mendukung Israel secara membabi buta. Ini menunjukkan sikap kemandirian intelektual yang kuat dan komitmennya terhadap Hak Asasi Manusia. Hal ini pun sering kali membuatnya berbeda dengan pandangan mainstream dalam komunitas Yahudi.
Chomsky memiliki perbedaan kontras dengan kebanyakan orang dari kelompok etnisnya yang merasa bahwa keberadaan negara Israel adalah hak yang sah bagi orang Yahudi. Ia lebih memilih untuk mendukung hak-hak rakyat Palestina, yang menurutnya juga memiliki hak untuk hidup bebas dan merdeka di tanah mereka sendiri.
Satu bulan sebelum Chomsky jatuh stroke, ia masih menyempatkan membawa diskusi terbuka dengan tema “Israel & Palestina: Possible Future”. Acara itu digelar pada 22 Mei 2023 secara virtual. Ia membahas konflik Israel-Palestina menggunakan pendekatan historis, politis, dan moral.
Nonton di sini, diskusi “Israel & Palestina: Possible Future”: https://www.youtube.com/watch?v=H63yBzClm68
Diskusi itu merupakan bagian dari seri pembicaraan yang disponsori oleh Maimonides Chair in Jewish Studies dan Program in Middle East and Islamic Studies di University of California, Riverside. Acara ini bertujuan untuk mengeksplorasi kebutuhan nyata, langkah realistis, dan arah positif menuju kondisi yang lebih adil di Kawasan Timur Tengah tersebut.
Chomsky sebagai akademisi dan intelektual publik terkenal, menjadi pembicara utama. Dengan suara serak dan berat akibat usia, ia menyebutkan bahwa konflik ini sudah menjadi perhatiannya sepanjang hidup, bahkan sejak kecil.
Proses diskusi melibatkan presentasi oleh Chomsky yang dimulai setelah pengantar sekitar menit ke-8. Ini diikuti dengan tanya jawab yang melibatkan audiens, yang terkumpul dari mahasiswa, akademisi, dan masyarakat umum dari berbagai latar belakang.
Chomsky menggambarkan kebijakan Israel terhadap Palestina sebagai kekerasan sistematis. Pengusiran secara paksa dan penghapusan hak-hak dasar manusia menjadi konsep penjajahan dari para Zionis.
Sudah menjadi pengetahuan umum, Amerika adalah penyokong terbesar atas penjajahan di tanah Palestina. Chomsky kembali menumpahkan kritiknya terhadap AS dalam momen diskusi itu. Ia menunjukkan bagaimana bantuan militer dan diplomatik AS melanggengkan Israel terus melakukan kebijakan represifnya. Dia menyoroti bahwa dukungan ini lebih didorong oleh kepentingan geopolitik daripada moralitas ataupun keadilan.
Walaupun kemerdekaan Palestina saat ini masih berada di jalan yang pelik, tapi Chomsky bersama audiens tetap optimis. Dia menyuarakan optimismenya mengenai potensi perubahan melalui kekuatan masyarakat sipil.
Dalam kesempatan itu, para peserta diskusi juga menyoroti berbagai solusi potensial, termasuk pendekatan yang lebih inklusif terhadap hak-hak Palestina dan perlunya tekanan internasional untuk menghentikan kekerasan.
Sejak dulu, Chomsky memiliki perjalanan panjang dalam mengamati perkembangan isu global. Segudang tulisan dan hasil wawancara dari pemikirannya memuat berbagai kritik terhadap kebijakan AS yang menjadi akar masalah dari pelbagai konflik di dunia. Hal itu bisa kita dapati di berbagai media Amerika ataupun di buku-buku karyanya.
Misalnya, buku How the World Works karya Noam Chomsky yang membahas seputar perjalanan negeri Paman Sam dalam membangun kebijakan di balik layar. Deretan fakta gelap yang dilakukan oleh para elite global AS, lengkap dengan gambaran strategi yang disiapkan oleh mereka sejak sebelum Perang Dunia II selesai. Kemudian kita juga dapat menemukan bagaimana AS mengatur lalu lintas propaganda media barat di buku Manufacturing Consent yang ia tulis bersama Edward S. Herman.
Telihat dari karya dan pemikirannya, konflik Israel-Palestina hanyalah sebagian kecil dari banyaknya isu global yang ia kritik.