ArtikelEsaiMasisirOpini

Aktivisme Masisir: Antara yang Seadanya dan yang Seharusnya

Terminologi “aktivisme” pelan namun pasti lindap dari perbincangan naratif Masisir. Individu yang aktif dalam entitas sosial lebih populer disebut sebagai organisator, bukan aktivis. Bukannya sepele, yang demikian telah memunculkan pelbagai efek domino yang— diakui ataupun tidak— telah berperan besar menyesatkan Masisir ke dalam rimba aktivitas organisasi yang kering ide dan —maaf— nihil gagasan.

Lantas, apa kiranya perbedaan antara aktivis dan organisator? Kalaulah beda, lalu apa kaitannya dengan judul tulisan ini?

Perbedaan Aktivis dan Organisator

Ditinjau dari sudut pandang etimologi, tak ada perbedaan yang terang antara dua istilah ini. Sama-sama merujuk pada individu orang yang melakukan atau melaksanakan suatu hal. Aktivis adalah orang yang melaksanakan kegiatan aktivisme, organisator adalah yang mengorganisir sebuah organisasi.

Barulah kentara perbedaannya saat dilihat dari tinjauan semantik dua kata tersebut. Dalam konteks sosio-kultural kaum terpelajar Indonesia sejak era pra-kemerdekaan sampai hari ini, penggunaan kata “aktivis” spesifik merujuk pada individu atau kelompok yang membawa gagasan untuk diperjuangkan dan diejawantahkan dalam ruang-ruang realitas.

Sementara itu, “organisator” mengalami perkembangan makna yang lebih luas; ia bukan hanya berarti orang yang menjalankan organisasi formal, tetapi juga bermakna individu atau kelompok yang mengurus agenda atau acara non-organisasi. Per hari ini jamak diperdengarkan penggunaan istilah Wedding Organizer (pihak yang mengurusi semua hal yang berkaitan dengan acara pernikahan) atau Event Organizer (EO) dan semacamnya.

Dampak Bias Makna “Organisator”

Perkembangan makna organisator (organizer) inilah yang kemudian diam-diam telah mereduksi paradigma Masisir dalam memandang kegiatan berogranisasi. Nyaris sulit menyangkal anggapan “Masisir organistor itu adalah mereka yang hanya sibuk ngebuat acara—menyiapkan konsumsi, menyusun sound system, mengantar undangan, menjadi resepsionis hingga memasang pamflet acara di Whatsapp story masing-masing”. Organiasi dipandang hampir seperti sekadar Event Organizer (EO).

Anggapan peyoratif di atas melahirkan ketidakberdayaan lain yang lagi-lagi tak mampu tuk menyangkal ungkapan: “Tuh, liat. Anak-anak organisasi jarang yang ‘ngaji’, kerjaannya lompat dari rapat A ke rapat B, uang kiriman Emak habis buat ongkos ke sana kemari, isi storynya kalau ngga pamflet acara, ya dokumentasi rapat berjam-jam yang sebenarnya cuma ngebahas dua-tiga poin, sedang tumpukan cucian di lemari udah menggunung, jangankan mau mengurusi orang, ngurus diri sendiri aja engga becus!”.

Terlepas dari benar atau tidaknya, perkataan yang demikian memang ada dan eksis diperdengarkan, bukan oleh satu-dua orang, namun dari pelbagai kalangan, termasuk oleh ‘senior-senior kajian’ yang bersemangat sekali mengunggulkan dirinya—sebagai pengajar di Rumah Binaan—dengan cara merendahkan orang-orang yang dianggap hanya sibuk organisasi. Utamanya pada masa-masa kedatangan mahasiswa baru seperti sekarang ini.

Fenomena Dunia Organisasi Masisir

Dimensi organisasi (baca: aktivisme) Masisir telah dibentuk oleh beragam faktor dalam lintasan historis yang cukup panjang. Bila ditilik lebih dalam, dunia aktivisme Masisir sudah eksis bahkan sebelum permunculan Indonesia sebagai negara-bangsa. Untuk keperluan telaah akademis yang proper, maka penulis membatasi objek “dunia organisasi Masisir” dalam tulisan ini pada rentang lima tahun terakhir saja, pasca Korona, dari 2020-2025.

Mengapa pembatasan ini penting? Sebab analisis fenomena sosial tidak bisa lepas dari konteks ruang dan waktu. Lebih-lebih peran waktu sangat dominan dalam aspek proses terjadinya sebuah fenomena. Yang demikian perlu disebutkan di awal sebagai pijakan metodologi yang digunakan dalam mendudukpermalasalahkan tulisan ini, sesuai disiplin ilmu penulis sendiri, Ilmu Sejarah.

Ungkapan “Masisir adalah miniatur Indonesia” rasanya memang tidak berlebihan. Kemajemukan dalam satu etnisitas sebagaimana yang ada di negeri induk telah paripurna termanifestasikan dalam bentuk koloni masyarakat Indonesia yang tinggal di Mesir. Keteraturan sistem, kesepakatan norma serta keberadaan entitas semi-politis berbentuk piramida tegak merupakan kemajuan dalam berorganisasi yang sukar dicari bandingannya.

Namun, kemajuan di atas rasa-rasanya tidak benar-benar bergerak maju. Bila ditinjau dari sudut pandang historis aktivisme mahasiswa Indonesia di Mesir sejak saat masih disebut Hindia Belanda hingga pra-Arab Spring—dengan apa yang terjadi pada Masisir sekarang ini kiranya boleh untuk dianggap malah beringsut jauh ke belakang.

Memangnya, apa yang beda? Fenomena kemunduran seperti apa yang terjadi?

Untuk menjawab pertanyaan ini, penulis mencoba melakukan pengamatan general terhadap dunia organisasi Masisir, berdasarkan pengetahuan dan pengalaman subjektif penulis dalam organisasi-organisasi yang pernah diikuti dan diamati.

Rumusan pengamatan sosio-historis ini kemudian disebut sebagai Fenomena Organisasi Masisir yang Seadanya. Jumlahnya ada lima. Akan diulas dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.

1. Pengunggulan Kuantitas Program

Paradigma organisator kita sepertinya memang berakar pada pengunggulan kuantitas. Persetan dengan faktor urgensi dan fisibiltas, yang penting program yang ditawarkan banyak dan memiliki nama yang unik. Semata hendak memikat hati voters saat pemilihan Ketua. Jauh sekali dengan konsepsi “Put first things first” yang dipopulerkan Steven Covey.

2. Panas Hanya saat Mahasiswa Baru (Maba)

Kebanyakan—tentu tidak semua—mahasiswa baru yang aktif berorganisasi di tahun pertama akan meredup lalu seperti kehilangan energi untuk tahun-tahun berikutnya. Bisa dicek, sukar sekali menemukan Ketua Angkatan Maba PPMI yang sampai ke pucuk-pucuk eksekutif pimpinan organisasi induk pasca tahun pertama.

3. Menghilang Setelah Masa Jabatan

Fenomena ini yang sangat disayangkan. Betapapun, ada banyak faktor lain yang berperan, namun sudah menjadi realitas bahwa pimpinan organisasi di lingkungan kita mayoritas akan ‘raib ditelan bumi’ setelah masa jabatannya usai. Bahkan di level organisasi tertinggi; M1 (Masisir 1) pun demikian. Padahal, keberlimpahan pengalaman yang telah dilewati saat menjabat itu amat berharga untuk diketengahkan ke khalayak.

Dapat anda bayangkan, bila para demisioner elit ini bisa meramaikan wacana aktivisme Masisir lewat tulisan atau artikel dan sejenisnya, tentu dunia aktivis akan semarak, media-media akan mendapatan tulisan bermutu dari orang yang berpengalaman langsung, calon-calon aktivis (baca: Maba) di generasi berikutnya juga bisa berteladan. Namun, sayang, segera setelah Laporan Pertanggungjawaban (LPJ) diterima, eksekutif- eksekutif ini akan segera menepi untuk kemudian hilang dari gelanggang ide dan gagasan Masisir.

4. Organisasi sebagai Event Organizer (EO)

Sebagaimana yang telah disinggung di awal. Fenomena paling gawat yang terjadi saat ini adalah paradigma organisasi hanya sebagai Event Organizer (EO). Tak ada sirkulasi ide di antara individu yang disebut organisator ini.

Saban rapat yang dibahas hanya hal teknis. Siklusnya akan selalu sama, bila ditinjau dari sudut pandang kapitalisme ala Marxis, kira-kira begini: Pemimpin Eksekutif berperan sebagai borjuis penentu program, Majelis Permusyawaratan Anggota (MPO) bertindak sebagai “pemodal” yang menyediakan dana, sedang anggota akan ditunjuk sebagai buruh tanpa upah yang akan bekerja siang malam untuk menghasilkan produk kapital kaum borjuis; dalam hal ini pengimplentasian program unggulan atau janji kampanye Si Ketua. Mayoritas buruh tanpa upah yang kita sebut “anggota pelaksana” ini tidak memahami ide pokok acara yang ia urusi. Bagi Si Ketua, yang penting kewajiban terlaksana.

5. Keterasingan dari Literasi dan Kegiatan Keilmuan

Hari ini, organisator yang datang ke rapat-rapat organisasi sambil menenteng buku rasanya cukup sukar ditemui, bahkan di tingkat organisasi induk. Pejabat Teras yang duduk di bangku kampus akan jadi pemandangan mahal. Jangan harap membayangkan elit-elit ini ‘duduk sama rendah’ dengan Masisir lain di majelis-majelis talaki.

Bukannya tidak ada, penulis sendiri tidak menampik eksistensi individu langka organisator yang masih akrab dengan dunia keilmuan populer Masisir. Yang dimaksud di sini adalah kekeringan ide dan lindapnya narasi filosofis di tengah-tengah organisator Masisir, yang demikian secara tegas mengisyaratkan keterasingan mereka dari dunia literasi dan ilmu pengetahuan teoretis secara umum. Padahal yang demikian mutlak dibutuhkan bagi dunia aktivisme, supaya organisasi tidak sekedar jadi Event Organizer (EO)

Aktivisme yang Seharusnya

Tentu saja di sini kita tidak hanya merumuskan masalah. Usaha-usaha dari pelbagai sisi mutlak dibutuhkan. Gambaran ideal monolitik selalu bertiang pada banyak aspek. Perhatian dari pelbagai pihak sangat penting. Karenanya penulis berusaha menyodorkan tawaran praktis untuk mengisi ‘lemari opsi’ dalam rangka mewujudkan “Aktivisme yang Seharusnya’ itu. Semata bertolak dari apa yang disebut Sejarawan Indonesia Taufik Abdullah sebagai keprihatian intelektual; suatu concern yang mungkin bersifat pribadi tetapi berdasarkan penghayatan sosio-kultural dan kesadaran aktualitas yang mendalam.

Untuk itu, ada dua hal yang dapat dilakukan:

1. Menerbitkan Buku Putih Aktivis

Secara definitif Buku Putih (White Book) adalah buku yang memuat pernyataan tertentu. Biasanya dipakai oleh lembaga resmi untuk menjelaskan maksud dari kebijakan dan keputusan. Dalam konteks Masisir, Buku Putih Akivis dapat berisi panduan tentang Apa (What), Bagaimana (How) dan Mengapa (Why) bagi seorang aktivis yang berdinamika di semesta Masisir.

Seperti halnya proses Tahshil al-‘Ilm yang membutuhkan manhaj, sebagai kaum terpelajar, sudah semestinya tiap tindak-tunduk Masisir mesti berlandaskan metodologi yang jelas dan ilmiah. Apalagi dalam konteks kegiatan berorganisasi—yang sama-sama kita sepakati—merupakan Amrun la Yustaghna ‘Anhu.

Yang terjadi selama ini, proses pengkaderan aktivis hanya dilakukan secara acak (random). Bagi yang beruntung bisa mendapat bimbingan senior serta lingkungan yang sehat, asal dia pro-aktif, insyaallah akan mendapat manfaat yang paripurna dari kegiatan berorganisasi. Sedang yang mempunyai semangat dan potensi sosial namun tidak menemukan bimbingan formal atau informal, bagi dia hanya ada dua pilihan: terus saja ‘ngeyel’ berusaha hingga ‘sampai’ pada apa yang dikehendaki, atau harus merubah haluan karena jelas tidak berprospek. Sayangnya, kebanyakan akan tertumbuk pada pilihan kedua.

Di titik ini buku panduan menjadi penting. Andai pembuatan buku dirasa cukup membutuhkan waktu, narasi sederhana seperti yang ada pada tulisan ini ada baiknya digalakkan. Baik senior maupun junior. Dari senior akan didapati pengalaman sekaligus pemahaman situasi lapangan. Dari junior akan diperoleh sudut pandang dan energi yang berlimpah.

2. Interpendensi Paradigma

Sejak Maba, penulis kerap dibombardir senior dengan wacana pembagian dikotomis Masisir. Waktu itu Masisir dibagi menjadi tiga: Masisir Talaqqers (yang rajin kuliah dan ngaji kitab), Masisir Organisator (yang kerjaannya rapat dan ngurus acara) dan Masisir Bisnis/Pekerja (yang sudah mencari duit sendiri).

Pembagian ini sejatinya masuk akal sebagai fakta sosial. Namun efek yang ditimbulkan sungguh tidak main-main. Narasi dikotomis yang demikian telah membentuk paradigma adanya tembok pemisah yang demikian tinggi antara masing-masing kelas. Masisir Talaqqers (harus) fokus belajar dan tidak berorganisasi, Masisir Organisator— kebanyakan—tidak mengaji dan sibuk membuat acara. Adapun Masisir Bisnis, tidak berorganisasi, plus jauh dari kegiatan ilmu.

Diakui atau tidak, dikotomisasi ini ada dan eksis hingga sekarang. Hemat penulis, dikotomisasi ini tidak salah, namun perlu disangsikan. Karena kenyatannya, menjadi aktivis bukan berarti harus jauh dari kegiatan ilmu, seorang talib al-Azhar yang belajar ilmu keislaman tidak berarti harus lumpuh secara sosial.

Alih-alih mengotak-ngotakkan, konsepsi “Aktivisme Masisir yang Seharusnya” mengajak kita membayangkan seorang aktivis yang cakap berorganisasi sekaligus fasih berbicara Usul Fikih. “Aktivisme Masisir yang Seharusnya” mengajak kita menormalisasi mengisi tas dengan buku bacaan saat hendak pergi rapat. “Aktivisme Masisir yang Seharusnya” membayangkan kasir mat’am yang juga memegang diktat saat pembeli sedang sepi, atau para mutawif yang menyimak kajian Syekh Faozi Konate di sela-sela kepulangan dan kedatangan grup jamaah baru di kamar daar mereka.

Penutup

Sebagai bagian dari masyarakatnya, tugas sejarawan tidak hanya merekam peristiwa, namun juga secara aktif berupaya mengaktualisikan konsepsi teoritis yang ada di rak buku ke dalam telaah sosial. Karena itulah tulisan ini ditulis. Masisir semestinya senantiasa gusar pada sekelilingnya, stabilitas yang melahirkan apatisme acapkali membuat orang lupa pada tujuan utama ilmu pengetahuan; sebagai alat kebermanfaatan.

Pada rentang medio 1920-1930, Hatta dan mahasiswa Hindia Belanda di Netherland sibuk mengepalkan tinju ke arah pemerintah kolonial, tulisan dan pidato mereka dibaca kaum terpelajar Eropa, akhirnya masyarakat internasional tahu kalau di Hindia Belanda sana ada keinginan untuk merdeka. Dalam pada itu Hatta lulus S1 sampai doktor dengan predikat sangat baik. Dia adalah seorang pelajar yang berhasil.

Senior kita sendiri di Mesir, namanya M. Zein Hassan, mahasiswa Minang, murid dari ayahnya Buya Hamka, terkenal pandai ilmu agama. Dalam pada itu dialah tokoh kunci pengakuan Kerajaan Mesir terhadap Republik Indonesia yang muda belia. Kepungan ranjau diplomatik yang ditebar Belanda pada Indonesia di luar negeri berhasil diratakan oleh Masisir. Tahun 1947 Agus Salim datang ke Kairo menerima pengakuan itu, sedang jalannya sudah dirapikan oleh Masisir. Ya, oleh Masisir. Waktu itu, dikotomi Masisir Pejuang Kemerdekaan atau Masisir Talaqqers tidak diperhatikan orang.

Demikian, semoga ke depan, dari kemajemukan latar belakang sosial dan akademik yang sangat beragam, Masisir dengan semua jenisnya berkemauan meramaikan wacana sosial dengan tinjauan akademiknya masing-masing. Harapan kita, senior-senior demisioner kembali mau merapatkan pikirannya, begitu pula dengan ustaz senior dari lembaga manapun bersedia turun dari ‘singgasana’ lalu mengirimkan pikirannya ke platform media Masisir yang banyak itu.

Tabik,

Bung Rifaldhoh.

Penulis

Artikel Terkait

Beri Komentar