Cerpensastra

Gu Gu Ga Ga

Penulis: Muhammad Ichsan Semma | Editor: Asdimansyah M.

Mungkin aku seharusnya mati saja, sejak dulu, bahkan sejak sebelum aku mengenal kehidupan itu sendiri. Biar ibu tak perlu sakit-sakitan berusaha mendorongku keluar dari perutnya. Biar ia tak usah pusing menerka makna tangisku yang menolak tidur setiap malam setelah dilahirkan.

Mungkin memang aku seharusnya tak usah lahir saja, bahkan sejak sebelum aku merasakan kelahiran itu sendiri. Jika tahu napasku yang diperjuangkan ibu ternyata adalah hasil perjudian dengan napasnya sendiri. Jika tahu tubuh yang dikeluarkan ibu dari perutnya ini ternyata adalah hasil jual beli nasib yang rela ia bayar dengan tubuhnya sendiri.

Perut ibu seharusnya masih mulus, tidak melar sana-sini sebab dipaksa menampung napasku yang meminjam pusarnya selama sembilan bulan lamanya. Badan ibu juga harusnya masih bagus, ideal dan proporsional, tidak dibuat lumer oleh kehadiranku yang semakin membesar dan memberat di setiap detik kehamilannya. Belum lagi proses kehamilan itu pasti juga memengaruhi susu ibu, ah susu ibu yang disukai ayah itu harusnya masih bulat, kencang, dan kenyal seperti mangga mengkal menuju masak, tidak kendor dan lembek layaknya papaya busuk seperti sekarang. Putingnya harusnya masih ranum dan segar, tidak lembek dan benyek karena terlalu sering diisap dan juga –kadang tak sengaja— tergigit olehku.

Itu jugalah salah satu alasan yang membuat ayah akhirnya berbuat serong kan, Bu? Itu jugalah yang akhirnya membuat ayah berselingkuh dengan wanita sepantaranmu yang masih belum menikah itu? Wanita yang memilih untuk tak memiliki napas lain dalam tubuhnya, menyebabkan payudara dan segala kulit di tubuhnya tetap bertahan segar dan kencang. Gadis yang tak pernah ada aku di dalam perutnya. Lalu akhirnya kau dan ayah memutuskan untuk berpisah. Ayah tidak bisa berhenti menemui wanita segar dan kencang itu, sementara kau juga sudah muak dipaksa memakan dan menelan bulat-bulat hatimu yang terluka dengan kesabaran sebagai penyedap rasa.

Kalian memutuskan bercerai, kau membiarkan ayah pergi. Pergi kepada wanita segar dan kencang itu untuk menanamkan aku yang lain kepadanya, sebelum akhirnya pergi meninggalkannya ketika aku yang lain itu sudah benar-benar ada di sana. Aku tahu pula kenyataan itulah yang membuatmu benci pada dirimu sendiri, pada dirimu yang menampungku sembilan bulan lamanya, pada aku yang ditampung olehmu sembilan bulan lamanya.

Kau akhirnya melanjutkan hidupmu sendiri, dengan aku yang selalu setia menemani dalam gendongan. Kau lilitkan sebuah kain padaku yang juga kauikatkan di tubuhmu, membawaku ke mana-mana layaknya bagian dari tubuhmu sendiri. Kita melakukan nyaris semua kegiatan bersama, memasak, mencuci, bahkan mandi. Beberapa kali kaucoba untuk melepaskan aku, meminta beberapa menit untuk meregangkan otot-otot pundak dan punggungmu yang seharian berkontraksi menggendong berat tubuhku. Namun aku yang senantiasa merasakan hangatmu menjauh berganti dingin kasur langsung berontak, menangis keras menuntut hangat itu kembali. Pada akhirnya kau kembali mengalah, tak pernah lagi melepaskan aku dari gendongan meskipun beban tambahan pada pundakmu ini telah berhasil membuat punggungmu bungkuk, menjadikan tubuhmu terlihat lebih pendek daripada seharusnya.

Aku sendiri sangat senang menghabiskan hari-hari denganmu, menyukai segalanya tentangmu. Aku suka telapak tanganmu yang meski sudah kasar, lembut belainya masih terasa begitu menenangkan. Aku suka kecupan bibirmu yang kaulakukan bertubi-tubi di pipiku, yang kaulakukan sembari memuji betapa harumnya diriku sebab sudah kaumandikan. Namun, mengapa kau terlihat sedih, Ibu? kesedihan yang kutangkap menyala dalam keremangan wajahmu, yang kautimpa rapi dengan kulit pipimu yang senantiasa tertarik ke atas, menampilkan senyum seterang mentari yang samar-samar menyembunyikan kelam malam.

Beberapa kali di setiap malamnya aku dibuat terbangun oleh isakanmu. Gema sendu yang selalu terdengar di sampingku setiap tengah malam. Isakan yang membuat bahumu bergetar hebat seperti sedang menggigil kedinginan. Isakan yang bertalu, bersahut-sahutan tanpa henti seakan beriringan dengan jarum detik jam. Tangisan yang akhirnya membuatku ikut menangis memanggilmu karena khawatir, mencoba bertanya mengapa kau menangis, tangisan yang kembali harus kau terka makna dari setiap erangannya. Erangan yang akhirnya karena sudah tak mau pusing, kausumpal dengan puting susumu agar aku berhenti, menghipnotisku agar kembali terlelap.

Pernah juga kudapati di satu malam yang lain kau tak ada di kasur. Aku yang masih belum bisa bergerak sebebas orang dewasa, mencoba celingak-celinguk sebisaku mencarimu. Lalu kudapati kau di sudut ruangan. Terduduk mengikat lutut dengan kedua lengan, kau tertunduk, membuat rambutmu yang panjang terurai ke depan, nyaris menutupi seluruh wajahmu yang sudah dibekap duluan oleh kedua tangan, kulihat bahumu lagi-lagi bergetar, lebih hebat daripada malam-malam sebelumnya. Kedua tanganmu yang menutupi wajah itu menampakkan lengan yang penuh garis-garis berwarna merah, beberapa tetes cairan merah mengalir dari garis-garis itu, membentuk sungai kecil yang berhilir di lekukan siku.

Aku terbelalak saat akhirnya menyadari bahwa cairan merah itu adalah darah segar yang mengalir dari tanganmu. Tangan yang telah kau iris-iris dengan cutter yang kudapati tergeletak di sampingmu, dengan warna senada masih membalut di sisi tajamnya. Malam itu aku memutuskan untuk tak menangis memanggilmu, meski sangat ingin. Perasaan sedih dan takut yang membuncah kutahan sebisa mungkin agar tak keluar. Aku takut, Ibu, tak tahu harus melakukan apa agar bisa menyembuhkan sedihmu. Tak tahu apa-apa selain menangis merengek agar perhatianmu beralih padaku dan tak berlarut dalam sedihmu sendiri. Namun jika aku menangis, yang kau mengerti pasti hanyalah aku yang terus-terusan merengek di mana dan kapan saja, tidak lebih tidak kurang.

Meski tak pernah kaukatakan dengan gamblang di depan mukaku, dari wajahmu yang sendu saat menyusuiku itu kudapati tatapan mata yang tak jarang kosong, seperti menerawang entah ke mana. Lalu biasanya sebab tak kuasa melihatmu merenung begitu dalam, kusengajai untuk menggigit puting susumu, mencoba menarikmu kembali dari lamunan ke sisiku. Tak apa akhirnya kau meringis lalu memarahiku karena menggigit, asalkan jangan kau berlama-lama di dalam kepalamu sendiri. Aku takut, Ibu. Aku takut kautenggelam dalam pikiranmu dan tak pernah kembali lagi.

Di hari lainnya lagi kau memarahiku sebab puting susumu kugigit, setelah meringis dengan sedikit tertahan, kau mengomeliku begitu panjang seolah kau mengira aku bisa mengerti semua ucapanmu. Aku ingat sekali malam itu, saat kau menyusuiku sembari menonton video seorang wanita yang berbicara mengenai berbagai kelebihan jika seorang wanita memilih untuk tidak memiliki anak dalam hidupnya. Kujepit keras puting susumu dengan gusiku yang mulai mengeras saat mendengar penjelasan panjang lebar wanita itu. Hatiku terasa panas, terbakar oleh bara ketersinggungan. Apa maksudnya? Apakah dia mau bilang kalau aku sekalian saja tidak ada di dunia ini? Apakah dia mau bilang bahwa aku dan bayi-bayi lainnya adalah penghalang tewujudnya yang seharusnya digapai oleh wanita-wanita yang melahirkan kami? Tapi mengapa kau menontonnya, Ibu? Setujukah ibu dengan perkataan wanita di video itu? Apakah ibu punya pemikiran yang sama?

Sejak saat itu pertanyaan tersebut selalu menjadi gaung yang menggantung di kepala. Setiap saat ia berbunyi, kesedihan terasa memenuhi pikiranku, membuatku menangis seketika entah karena sebab apa. Aku sedih, entah karena apa. Apakah itu yang membuatmu menangis tiap malamnya? Menangisi mimpi-mimpi yang telah kurenggut disebabkan oleh keberadaanku?

Mungkin memang seharunsya aku mati saja, Ibu. Biar kaubisa mulai lebih banyak memperhatikan dirimu sendiri, kembali dalam kondisi prima wanita seumuranmu pada umumnya. Meniti kembali karir kantoran yang telah kautinggalkan demi bisa menemani kecilku yang, kuyakin saat ini bagimu, terasa seperti selamanya. Bisa juga kaumulai kembali memperindah tubuhmu yang sudah banyak dirusak oleh keberadaanku, biar tak usah lagi kau menatap dengan cemburu badan-badan perempuan seumuranmu yang kulit dan daging-daging di tubuhnya masih terintegrasi dengan baik saat kita jalan jalan-jalan di taman atau di mall.

Aku yakin kau juga tak akan begitu mempermasalahkannya. Toh, aku juga yakin cintamu padaku bukanlah palsu. Oleh cinta itu kau mungkin akan bersedih dan menangisiku paling lama tiga bulan, juga oleh cintamu itu aku percaya kau akan terus setia mengenangku selama sisa hidupmu. Namun pada akhirnya tanpaku kau pasti akan menemukan titik dimana kaubisa bangkit. Di tengah tangismu karena kehilangan aku, manusia sekuat dirimu pasti akan memutuskan untuk berdiri dan melangkah kembali. Setidaknya tangisan karena kehilanganku membuatmu beranjak dari keadaanmu yang sekarang. Semua itu lebih baik daripada tangisanmu yang diam di tempat setiap malam, yang keluar dari matamu yang selalu ketiduran menonton video motivasi wanita karir atau konten olahraga khusus untuk mengembalikan bentuk badan seusai kehamilan.

Lagipula ketiadaanku pun pasti bisa banyak mempermudah keadaanmu. Waktu tidur dan makanmu bisa  kauatur dengan lebih baik, berolahraga juga akhirnya bisa kaumasukkan dalam jadwal harian, kau akan punya banyak waktu luang yang bisa kauhabiskan untuk dirimu sendiri. Begitupula uang yang biasanya harus setengah mati kauatur agar cukup untuk membeli popok, susu, dan segala kebutuhanku yang super ribet, pasti bakal bisa kaupakai untuk memenuhi segala apa yang kaubutuhkan untuk dirimu sendiri. Biaya perawatan badan dan kulit yang iklannya biasa kaupantengi di medsos selama bermenit-menit, jalan-jalan dan refreshing, juga setiap kosmetik keluaran terbaru bisa kaubeli tanpa perlu hitung-hitung mendang-mendingan demi menyisihkan uang untuk membeli bedak bayi untukku lagi.

Bukannya aku tak pernah berusaha membaktikan diri padamu dengan mencoba mewujudkan ketiadaanku. Di titik ini aku sudah siap dengan segala kemungkinan. Beberapa kali pernah kucoba membuat diri tersedak dengan asimu itu, mengisap begitu cepat hingga cairan itu membuat kerongkonganku menggembung menghimpit tenggorokan. Menahan napasku agar tak keluar dan tak juga masuk, membuatnya diam di sana hingga tak ada lagi udara yang bisa berlalu lalang, menyisakan satu dua sisa napas yang bisa kuhirup sembari menatap wajahmu sebagai pemandangan terakhir. Namun kau selalu menyelamatkanku, Ibu, memijat leherku atau membalikkan tubuhku sedemikian rupa agar air asi yang sengaja kutahan itu bisa mengalir dengan lancar. Mengapa kau menyelamatkanku, Ibu? Bukankah ini yang seharusnya kauinginkan? Bukankah ini yang sebenarnya kauimpi-impikan?

Pertanyaan itu tak pernah terjawab, hingga saat aku tumbuh menjadi seorang lelaki dewasa yang bertubuh lebih tinggi darimu, kau tak pernah memberikan jawaban perihal mengapa kau tetap mempertahankan keberadaanku sampai saat ini. Hari ini, hingga saat akhirnya aku terduduk di pinggir pusaramu aku masih menanyakan hal yang sama. Di tengah dunia dimana para ibu sibuk menjual bayi-bayi mereka demi membayar mimpi masa depan. Mengapa kau tetap bersikukuh mempertahankan hidupku yang juga jalannya tak sebegitu berharganya ini? Membiarkan mimpimu terbias di ambang angan yang, dari setiap renunganmu di ruang tamu di malam hari, aku tahu, masih setia mengiringi seluruh sisa hidupmu.

Artikel Terkait

Beri Komentar