Cerpensastra

Long Hijab Syar’i Premium

Penulis: Sarah Shofiah | Editor: Muhammad Rizqi Fauzi

Hari ini genap sudah setahunku menjadi penghuni tetap lemari ini. Saat pintu kayunya terbuka, ia otomatis menampilkan barisan kami yang bergelantungan selaras, helaian demi helaian ditata sesuai warna dan motif senada. Hanya saja, persaingan sengit bersembunyi di balik keharmonisan itu. Seleksi harian, outfit of the day.

Setiap pagi, tuan kami akan memilah pakaian terbaiknya, melindungi lekuk liku tubuhnya. Setelah itu, tangannya bergegas lihai menyibak pelan lembaran tubuh kami satu persatu. Tugas kami mulia, menjadi mahkota yang membalut kepalanya. Detik-detik itu adalah penentu nasib kami. Selalunya, yang paling senada dengan pakaian akan menjadi juara, terpilih keluar melihat dunia. Sisanya terpaksa memendam harapannya, hanya bisa menunggu hingga malam berganti pagi.

Sejauh ini ada beberapa dari kami yang jarang, bahkan belum pernah terpilih. Aku adalah salah satu yang baru dipakai sekali. Empat sudut chiffon-ku yang semula membara dengan warna marun bertabur manik kecil, mulai redup berubah hitam kehijauan dilahap serbuk jamur yang tumbuh melalui dinding mahoni yang sedikit menganga.

Ketika cahaya fajar perlahan menyeruak melalui kisi-kisi jendela, semburatnya tajam menyusup ke daun pintu wardrobe peristirahatan kami, membangunkan seluruh penghuni di dalamnya. Hari baru artinya kompetisi baru bagi kami.

Di lemari ini, kami bergelantungan pada aluminium silinder berwarna abu-abu. Bentuknya memanjang, melintang antar dua dinding kayu. Selain menjadi tempat bersandar kami, ia pun menjelma sebagai pemisah kasta sosial antar golongan kerudung. Bagi yang sering terpakai akan berada di atas, tapi yang dicintai, berada di barisan depan. “Hei, kalian semua. Ayo bangun!” seru salah satu kerudung gelap di barisan atas.

Si Hitam. Begitulah kami menyebutnya. Lekukannya yang bergulung-gulung saat terurai selalu mempesona. Dijahit dari polycotton membuat pemakainya dihampiri kenyamanan, bahkan tetap tegak setelah beraktivitas seharian. Warnanya tidak terlalu menarik, menurutku. Hitam, suram dan mencekam. Justru itulah nilai plusnya jika dibandingkan denganku. “Hitam itu mudah di-mix and match,” kata tuan kami. Sejauh ini dia lumayan sering keluar, menjejakkan iri pada kami semua.

Seruan si Hitam disambut sorak semarai kasta kerudung di gantungan atas. Saking kerasnya, mungkin akan menumbangkan pegangan kami yang bergantungan tepat di bawahnya. Lemari ini bergoyang hebat, serasa akan memuntahkan semua isinya.

“Hei, menurutmu siapa yang akan menang hari ini?” terdengar lirih entah dari mana. “Hei, kau, yang warna marun. Aku di bawah sini,” lanjutnya setelah melihatku sibuk mencari asal suara yang samar itu. Bisikan itu rupanya dari sosok yang kuanggap bersejarah di antara kami. Si Putih, yang lebih dari setengah dekade membersamai tuan kami. Si Putih, kerudung sekolah.

“Kau mau tahu tidak…” Kalimatnya terpotong begitu saja. Pintu kami sudah terbuka. Segera semua lembaran kain terkulai kaku. Beberapa bahkan kolaps dari pegangannya. Seisi lemari lengang. Gantungan aluminium meringkik bergesekan dengan hanger besi bahkan bisa terdengar. Saling bertaut diterpa angin yang menembus kelembaban lemari dengan pintu yang sebelahnya melangah.

Tidak satupun dari kami yang memprediksi kemunculan tiba-tiba jemari yang begitu kami kenali itu. Telapaknya dingin, sentuhan yang sama persis, yang mengambilku dari toko untuk kini ditelantarkan. Andai bisa membaca nasib, aku pasti mengelak, tidak sudi disentuh apalagi diambil olehnya hari itu. Namun, kemunculannya ternyata tidak sendiri. Dia hadir membawa penduduk baru ke tempat yang sudah sesak ini.

“Baru saja ingin kubahas denganmu, rupanya sudah kejadian lagi,” ujar si Putih. Tanpa perlu kuingatkan, dia melanjutkan sendiri kalimatnya yang tadi terpotong. “Kuperhatikan, sejak dulu sampai sekarang, dia itu tabiatnya belum berubah, ya. Sudah boros, pelit pula. Gak ada sadar- sadarnya.” Nadanya persis seperti tante-tante yang yang sibuk mengomentari anak tetangga.

“Benar sekali! Aku sepakat denganmu,” sahutku. Meski aslinya belum begitu paham sepenuhnya apa yang dia maksud. “Aku bahkan tidak bisa mengerti apa isi pikirannya,” ungkapnya lagi diperciki sedikit amarah, yang jika dilanjutkan lagi, pasti tempat ini sudah terbakar dilalap murkanya. Entah kapan dia akan berhenti mengomel. Aku memberanikan diri untuk menanyakan langsung alasan si Putih yang meledak tanpa aba-aba.

“Kau tahu, dulu, hampir setiap hari aku menemaninya. Ke sekolah tentunya. Belajar ilmu. Belajar akhlak. Beberapa tahun lalu, tepat di masa sebelum lulus SMA, ada kejadian yang membuatku kecewa setengah mati padanya.” Begitulah ia membuka jawaban atas rasa penasaranku.

“Saat itu matahari sedang aktif-aktifnya, mengilap seperti satin, melahap seluruh kota dengan suhu tinggi. Tak ada yang selamat dari peluh siang itu. Topi bahkan tidak menghindarkan tubuh katunku dari kebasahan. Kami berjalan menghampiri salah satu toko pakaian. Di perjalanan, seorang pengemis terlihat meringkuk di trotoar. Membopong balita yang tampak kegerahan. Wanita itu mengharap sedikit air dari kami, tak sanggup menahan dahaga.” Si putih diam sejenak.

“Aku menyaksikan anaknya terus merengek kehausan. Ibunya tak berdaya. Kedua tangannya merogoh kantong baju yang hanya berisi angin. Kantong itu sekering tenggorokan mereka. Andai punya kendali, aku sudah pasti segera menyelamatkan mereka walau dengan seteguk air. Namun, alih-alih menolong mereka, tuan kita malah tak acuh, ia dengan mudah menghiraukannya. Padahal, asal kalian tahu, setelah itu, ia menghamburkan uangnya. Membeli banyak kerudung beserta setelan vintage dan retro yang sedang tren saat itu.”

“Persis!” sela suara dari gantungan atas. Kerudung navy. Berbahan voal berderet di samping geng polycotton. Rupanya ada yang tertarik pada pembicaraan kami.

“Oh, iya. Aku juga pernah menguping ketika dia menelepon ibunya, meminta uang untuk membeli pakaian baru. Pakaian serba hitam. Anak zaman sekarang gemar bergaya serba hitam. Cewek Mamba, katanya. Samar kudengar ibunya menolak permohonan itu. Namun, ia membentak ibunya, tidak berhenti memaksa sebelum keinginannya dikabulkan. Dia benar- benar tidak beretika,” ujarnya lagi.

Mendengar hal itu, spontan sebuah memori terbang masuk ke benakku. Ingatan tentang hari pertamaku bertemu dengan tuanku. “Hari itu, dia juga datang berdua dengan ibunya. Dari etalase toko, kudengar jelas dia berdebat dengan ibunya tentangku. Berkali-kali dia mendesak agar ibunya mau membeliku,” sahutku.

“Aku tahu persis, alasannya membeliku adalah karena semua teman-temannya akan kompak mengenakan dress code beserta kerudung jenisku saat hari perpisahan sekolah. Dia berulang kali menegaskan hal itu pada ibunya. Namun, ibunya tidak langsung merespons. Keningnya mengerut, bibirnya tertutup rapat-rapat. Ia kelihatan risau. Akan tetapi, pada akhirnya, tangan ibu pasrah meraih tas kecilnya. Mengeluarkan beberapa lembar uang dari dalam dompet usang yang isinya hampir tak bersisa.

Beberapa menit berlalu lepas, saling adu-mengadu pengalaman satu sama lain. Kami hampir melupakan penghuni baru yang tiba beberapa menit lalu. Dia masih tertidur pulas, terbungkus plastik rapat-rapat. Rapi. Aroma pertokoan masih lekat melingkupi kemasannya. “Hei, yang di atas, coba kau periksa siapa anak baru itu?” ujar salah satu kerudung.

Identitasnya cukup sulit dikenali. Buram. Hang tag-nya hampir tidak terbaca, terhalang plastik yang mengkilap. Si Hitam yang kebetulan duduk di sampingnya terlihat cemas. Dia terus mencoba meraba huruf yang tertulis pada label itu. Menurutku dia takut kalau-kalau si anak baru akan menjadi pesaingnya.

Syar’i Premium. Long Hijab. Si Hitam membaca lantang. “Kalian tahu sesuatu? Ada yang pernah mendengarnya? Dia dari toko mana?” tanyanya beruntun. “Sepertinya aku pernah mendengar tentang itu. Aku pernah melihat tuan kita membacanya di salah satu buku,” celetuk si Navy. “Oh, iya. ‘Tutorial Hijrah yang Baik dan Benar’. Aku ingat betul judulnya, sempat kuintip salah satu isinya. Ada yang membahas hijab syar’i,” tambahnya.

“Kayaknya dia sudah mau tobat.” si Putih menyela. Menurutku, dia merasa lega karena tuan kami akan segera sadar dan kembali ke jalan yang benar. Berhijrah dari segala kebiasaan dan perangai buruknya. Harapku, tuan akan berhenti boros dan memanfaatkan kami semua sebagai gantinya. Apalagi tubuhku kini mulai menua, perlahan keropos melawan spora. Untungnya kami bukan barang yang bisa kedaluwarsa.

Benar saja, sejak kedatangan si Anak Baru, perubahan demi perubahan mulai kami saksikan. Perlahan, meskipun tempat ini mulai didominasi oleh golongan si Anak Baru itu, kami yang dulu hanya terus menumpuk tak terpakai, sekarang satu demi satu sudah kembali disentuh. Satu per satu kawan-kawanku berhasil keluar menggapai mimpinya. Bersorak bahagia setiap kali tangan tuan kami memilih mereka untuk dikeluarkan dari lemari. Aku turut bahagia atas terpakainya mereka.

Hari berganti hari, sebagian besar dari kami penghuni lama telah keluar. Dimulai dari si Putih legendaris, disusul oleh kerudung sekolah lainnya, lalu diikuti oleh kerudung lain yang hampir tidak pernah terpakai sepertiku. Baik yang hanya sesekali tersentuh hingga yang sama sekali belum terpakai dengan label merek yang masih menancap di tubuhnya.

Sentuhan dingin tuan kami berubah hangat, jemarinya yang kaku berubah lentur melepaskan impian kami, keluar menerobos dinding lemari. Sepertinya buku hijrah yang dibacanya tempo hari itu ternyata ampuh membuatnya jera dari kebiasaan buruknya menelantarkan kami, sudah mulai benar-benar bisa menghargai dan tidak menyepelekan hal-hal kecil dalam hidup, betul- betul sesuai harapan seluruh penghuni lemari.

Kini tidak ada lagi yang ditelantarkan. Meskipun dia tetap membawa penghuni baru seperti tempo hari, ia konsisten memberi kami kesempatan yang sama. Sesuai urutan. Tidak ada yang diistimewakan.

Akan tetapi, bersamaan dengan keluarnya mereka, aku menangkap sedikit kejanggalan. Tidak sedikit dari mereka yang belum kembali setelah bertugas. Pikiranku lambat laun dirasuki tanda tanya akan hal itu. Bahkan, kini harapanku agar dipilih dan rasa penasaran pada keadaan di luar menjadi saling bercampur baur. Kecemasan juga turut datang merusak penantian berharga akan hari pembebasanku. Apa mungkin mereka dikirim ke tempat pencucian? Atau bisa saja mereka mendapat tugas mengabdi pada kepala orang lain dan belum dikembalikan. Apa mungkin mereka sedang disimpan di lemari yang lain?

Hari ini genap seminggu sejak setahunku menjadi penghuni tetap lemari ini. Saat pintu kayunya terbuka, ia otomatis menampilkan barisan kami yang kini bergelantungan tidak selaras. Helaian demi helaian sudah tidak sesuai warna dan motif. Persaingan sengit itu sepenuhnya sirna. Hampir semuanya telah terpakai. Hari ini tiba giliranku melihat dunia. Begitu tubuhku ditarik keluar, udara pengap yang setiap hari kuhirup terhenti di perbatasan pintu lemari. Angin berhembus melunakkan kainku yang sudah terlewat kaku. Bahkan, jamur yang menempeliku ikut menikmati aroma segar yang begitu kurindukan ini.

Pemandangan ini sudah keruh di ingatanku. Katil berukuran sedang yang berhadapan dengan jendela. Tirainya sedikit usang berselimut debu. Aku mendapati lemari peristirahatanku terparkir di sudut kanan ruangan. Tepat di sebelahnya meja rias berdiri kokoh dengan kardus kecokelatan. Beberapa kawanku ternyata sudah menungguku di sana. Di atasnya aku menangkap tulisan dengan spidol, “Untuk Disumbangkan”.

Artikel Terkait

Beri Komentar