Cerpensastra

Penunggu Puncak Ragu

Penulis: Muhammad Kamil | Editor: Muhammad Ichsan Semma

Dengan kepala setengah tidur aku membuka gawai, ternyata masih pukul tiga lewat lima puluh subuh. Aku mencoba membuka ritsleting sleeping bag-ku sambil duduk, dengan bantuan flashlight handphone aku melihat suasana gubuk, ternyata teman-temanku masih tertidur lelap dengan tubuh saling berimpit. Aku beranjak ke carrier yang tepat di belakangku. membukanya, tiba-tiba…

“Cari apa?” ujar Zulham yang masih terbaring, mengagetkanku yang mengira semua orang masih tidur.

“Aaaaah kampret, kirain siapa yang ngomong,” umpatku masih dengan sisa keterkejutan.“Hehe, maaf,” Zulham memasang senyum tak bersalah.

Headlamp,” jawabku.

“Emangnya mau ke mana?”

“Pengen kencing.”

Aku membuka pintu, keluar dari gubuk  lalu menutupnya kembali. Dengan berbekal senter di kepala, aku membelah gelap hutan. Suara angin terdengar dari kejauhan seolah ingin menembus benteng pepohonan yang mengitariku.

Selepas menunaikan hajat aku kembali menuju gubuk. Di pertengahan jalan tiba- tiba perasaanku tidak enak, detak jantungku meningkat lebih cepat dari biasanya, dipacu  oleh rasa was-was yang seketika menggerogoti hati, bulu kudukku serentak berdiri. “Kayak ada orang di belakangku,” gumamku dalam hati. Tapi, aku tidak menghiraukannya, aku tetap berjalan, lagi pula gubuk itu sudah di depan mata.

Setibanya di gubuk aku membuka pintu sembari masuk lalu menutupnya kembali. ternyata Zulham sudah kembali tertidur. Aku berjalan ke tempat tidur, tetapi anak mataku melihat ada ritsleting sleeping bag yang terbuka, mataku langsung melirik, mencoba menilik lebih dalam, betul saja, aku melihat Acil tidak ada di tempat tidurnya. Menyadari hal itu, didorong sedikit rasa panik, aku coba membangunkan Zulham

“ Zul, Zul, Zul!” ucapku sambil menepuk-nepuk pundaknya

“ Eeem, ada apa?” jawab Zulham dengan nada bangun tidur

“ Acil dimana? Kok enggak ada di gubuk.”

“ Hah, iyakah.” Zulham terlonjak dari tidurnya, masih setengah sadar.

Zulham bercerita kepadaku bahwa setelah dia melihatku keluar, dia mengambil headlamp di sampingnya dan melihat Aldi dan Acil masih tertidur pulas, lalu dia kembali tidur. “Coba kita tanya Aldi siapa tahu dia lihat Acil keluar,“ ujar Zulham sedikit optimis.

Dengan berberat hati Zulham mencoba membangunkan Aldi yang masih tertidur lelap. “Aldi, Aldi, Aldi,” ucap Zulham sambil menggoyangkan bahu Aldi. Sedikit demi sedikit kelopak mata temanku yang satu itu mulai terbuka, ia terbangun dalam keadaan tidak menyenangkan. Kami mencoba memberi sedikit waktu untuknya duduk sambil menuangkan air botol ke dalam gelas, kemudian menawarkan segelas air putih untuk dia minum. Sembari minum ia belum menyadari bahwasanya Acil tidak ada di sampingnya. Kemudian ia mengambil gawai dan membukanya

“ Ada apa? kok malam-malam begini?“ ujarnya

Zulham pun langsung menanyakan keberadaan Acil, di saat yang bersamaan Aldi menoleh ke samping, ia baru menyadari Acil tidak ada di tempat tidurnya. Ia pun terkejut setelah mengetahui apa yang terjadi. Di samping itu, dia pun menjelaskan bahwa ia tidak tahu apa-apa karena semalam ia tertidur nyenyak.

Tanpa pikir panjang, kami keluar dari gubuk itu untuk mencarinya. Suara teriakan menggema di area sekitar gubuk itu, tetapi tidak ada jawaban. Dengan modal senter dan teriakan, kami pun berpencar. Aku memutuskan pergi ke tempat dimana aku buang air kecil tadi. Barangkali Acil ada disana.

Sembari berjalan aku sambil berteriak berkali-kali memanggilnya. Pohon demi pohon kulewati tapi tidak ada seorang pun yang aku lihat, aku terus berjalan tanpa aku sadari aku sudah terlalu jauh berjalan. Kakiku terhenti dan menoleh kebelakang. “Jangan sampai aku yang tersesat juga,“ gumamku dalam hati. Aku balik badan dan berjalan menuju gubuk itu.

Dari kejauhan aku melihat tidak ada orang di depan gubuk itu, ternyata teman-temanku masih dalam pencarian. Sambil berjalan, satu per-satu temanku juga berdatangan, aku langsung berteriak menayakan keberadaan Acil. Mereka hanya bisa geleng-geleng kepala. Kami berkumpul di depan gubuk itu, tanah yang tempat kami berpijak serasa lunak. Angin yang berhembus seperti tidak berasa di kulit kami, tak tahu lagi apa yang kami harus buat. “ Jika Acil tak kunjung tiba, terpaksa kita harus turun meminta bantuan,“ ujar Zulham. Tapi, kami masih berharap Acil datang sebelum sunrise tiba.

Aldi masuk ke dalam gubuk mengambil kompor portabel mini di dalam carrier-nya dan air botol sisa Aldi tadi kemudian memasaknya. Sambil menunggu air mendidih, ia mulai menuangkan kopi dan gula pasir ke dalam cerek berukuran besar yang terbuat dari loyang. Di antara kami berempat, dialah yang paling mahir membuat kopi. Sesekali kami berbincang mencoba mengeluarkan pendapat. Dalam sebuah obrolan Zulham mengatakan sepertinya ada yang menjanggal dalam pendakian ini, tapi ia pun tidak mengetahui itu apa. di sela-sela obrolan kami, Aldi menyuguhkan kopi buatannya tadi. Obrolan semakin meresap, seresap kopi buatan Aldi.

Sebatang demi sebatang rokok habis dalam dekapan waktu. Tanpa kami sadari, matahari mengintip dari balik bukit, usaha dan harapan kami serasa sia-sia, tak ada yang bisa mendatangkan Acil dan waktu tak lagi bisa diajak berkompromi. Tak tahu lagi apa yang harus kami lakukan. Turun gunung dan meminta bantuan kepada warga adalah harapan terakhir kami. Dengan berberat hati, kami memutuskan masuk ke gubuk itu untuk packing.

Di dalam gubuk, kami seperti seorang pembantu yang baru saja diusir oleh majikanya, hanya bisa diam dan menunduk. Kami mulai mengemas barang-barang Acil yang ditinggalkan, satu per satu kami masukkan ke dalam carrier nya. Tak lupa juga, kami meninggalkan gubuk itu dalam keadaan bersih.

Matahari tampak berdiri sejengkal di kaki langit. Sinarnya menerangi tubuh kami saat berjalan meninggalkan gubuk itu. Selang beberapa waktu berjalan ada hal aneh yang aku sadari, di jalur tidak ada pendaki lain, benar-benar hanya ada kami bertiga. Waktu terus berjalan, pagi berganti siang, siang berganti sore. Tepat pada pukul tiga lewat beberapa menit, kami tiba di kaki gunung, perasaan bercampur antara senang dan sedih, senang bisa turun dengan selamat, sedih karena satu dari teman kami tidak turun. Kami pun segera ke rumah warga yang merupakan tempat registrasi.

Sesampainya di sana, kami langsung menuju ke salah satu warga yang kebetulan duduk di depan rumah (tempat registrasi) dan menanyakan keberadaan juru kunci gunung ini. Setelah berbicara dengannya, ia pun masuk menemui si juru kunci. Beberapa menit kemudian, juru kunci itu keluar, ia hanya berdiri di depan pintu dan memanggil kami untuk duduk di halaman rumah.

Selang beberapa waktu setelah kami menjelaskan tragedi malam itu. Si juru kunci terlihat tidak terlalu terkejut mendengar cerita kami. Ia bersikap seolah-olah dia sudah tahu apa yang telah menimpa kami. Wajahnya datar dan tidak mengeluarkan reaksi apapun. Ia hanya mendengar, selepas itu menelepon Badan Search And Rescue Nasional (Tim SAR).

“Beberapa menit lagi bantuan akan tiba,“ ujar si juru kunci. Selepas itu ia mengajak kami ke rumahnya yang tidak jauh dari tempat registrasi untuk beristirahat sembari menunggu bantuan tiba. Kami pun membuntutinya dari belakang. Sebenarnya aku ingin menanyakan sesuatu perihal mengapa bukan dia saja yang membantu kami atau meminta bantuan warga setempat? Tapi, pertanyaan itu kutahan dulu.

Sesampainya di rumah si juru kunci, ia menyuruh kami duduk di kursi halaman rumah. “Tunggu di sini dulu,” ujarnya sambil berjalan masuk rumah. Kami duduk dengan keadaan yang tidak tenang. Pikiran kami seperti sebuah layangan putus yang terombang-ambing angin kencang, tak tahu harus bilang apa ke orang tua Acil jika anaknya tidak kembali. Sesekali kami berbincang soal nasib Acil dan juga soal tim SAR yang tak kunjung tiba padahal kami dalam keadaan darurat. Di sela-sela percakapan kami, tiba-tiba seorang kakek tua keluar dari salah satu rumah memotong pembicaraan kami.

“Penghuni gunung tak suka perbuatan kalian!” ucapnya sambil mengacungkan telunjuknya ke arah kami. Dari mulutnya terciprat ludah dengan bau khas yang bisa kucium dari jarak kami yang tiga meter jauhnya. Tak ada hal lain yang ia katakan, setelah tudingan keras itu, ia langsung melangkah masuk. Meninggalkan kami yang masih setengah terperanjat dengan kehadirannya.

Kami tak tahu kakek tua itu siapa. Apakah keluarga si juru kunci atau bukan, tapi kami paham betul apa maksud dari perkataannya. Pembahasan kami tiba-tiba berubah membahas perkataan si kakek tua tadi. Di dalam sebuah obrolan, Zulham melempar pertanyaan yang kami pun mempertanyakan hal itu. “Apa salah kami?”

Di sela-sela kebingungan, si juru kunci datang membawa sebuah baki berukuran sedang yang di atasnya ada sebuah teko dan gelas jadul berwarna hijau putih. “Silakan di minum,” ujarnya ramah. Ia membagikan gelas dan mengambil teko sembari menuangkannya. “Silakan diminum tehnya, mumpung lagi hangat,” tambahnya.

“Ngomong-ngomong tim SAR-nya kapan datang, Pak?” tanyaku setelah meneguk teh.

“Dikit lagi sampai,” jawabnya.

Aku ingin sekali menanyakan pertanyaanku yang tertahan tadi. Tiba-tiba saja kakek tua tadi keluar dari ruangan yang sama “Temanmu akan kembali,” ujarnya sambil berjalan keluar meninggalkan rumah. Suasana seperti langit selepas hujan mendatangkan pelangi yang indah, tapi di pikiranku masih ada sisa-sisa awan gelap. Dia sebenarnya siapa? Dari mana dia tahu temanku akan selamat.

Mencoba untuk memberanikan diri, aku bertanya pada si juru kunci itu.

“Kakek tua itu siapa, Pak?”

Mendengar pertanyaanku, ia hanya tersenyum dan tak ada jawaban yang keluar dari mulutnya hingga tim SAR datang tepat di depan rumah dengan mengendarai sebuah mobil pick up. Kami dan si juru kunci beranjak dari kursi  menemui salah seorang tim SAR yang keluar dari mobil yang diikuti tiga orang temannya.

Si juru kunci terlebih dahulu menyapa sebelum ia akhirnya menceritakan perihal teman kami yang hilang setelah berbincang. Dia memanggil warga untuk mengantar tim SAR ke kaki gunung. Selang beberapa waktu, warga tiba dengan mengendarai sebuah sepeda motor, kemudian dengan mengendarai motor tersebut, para anggota tim SAR tadi melaju cepat menuju kaki gunung. Kami melihat warga mengantar tim SAR dengan harapan teman kami bisa kembali.

Juru kunci menyuruh kami menunggu di rumahnya, ia pun berjalan diikuti kami yang sesekali menoleh ke belakang. Di rumah itu, kami menetap sampai azan magrib berkumandang. Tepat ketika bunyi bait terakhir panggilan salat itu, Ia memanggil kami ke ruang tamu, lalu berjalan menuju dapur meninggalkan kami yang sedang duduk di sana. Membawakan kudapan ringan untuk mengisi perut sembari menunggu.

Waktu terus berjalan, azan isya pun berkumandang. Tim SAR tak kunjung tiba. Kami mulai khawatir, sebuah awan gelap yang diikuti dengan gemuruh petir menaungi hati dan kepala kami yang tak kunjung hujan. Sesekali kami berbincang mengenai perasaan kedua orang tua Acil, bagaimana jika mereka mengetahui anaknya hilang di gunung. Di sela-sela perbincangan, si juru kunci datang membawa sebuah panggilan makan. Perut kami tak bisa bohong, tak pikir panjang kami menuju ke sumber makanan.

Kami makan dalam keadaan pikiran melayang-layang bagaikan disambar angin topan. Tiba-tiba suara ketukan pintu datang mengganggu kunyahanku dan kawan-kawan lainnya. Kami langsung menoleh ke arah pintu walaupun tertutupi dinding. Si juru kunci mencuci tangannya lalu beranjak berjalan menuju pintu, kami menyusul setelah cuci tangan.

Si juru kunci membuka pintu bersama kami yang berdiri di belakangnya. Bam….! Demi melihat pemandangan yang ada di hadapan kami sekarang, percampuran berbagai perasaan sendu, khawatir, dan risau yang sedari tadi tertahan seakan meledak bagaikan letusan bom berwujud kelegaan. Sekarang ini, di hadapan, seorang Acil terbaring di atas tandu yang dibawa oleh warga dan tim SAR. Kami langsung membantu tim SAR yang mencoba memasuki rumah dan meletakkan Acil di kursi panjang ruang tamu. Kata tim SAR, mereka  menemukan teman kami terbaring di dalam gubuk dalam keadaan tak sadarkan diri.

Si juru kunci mengambil minyak berwarna kecokelat-cokelatan dari lemari yang ada di ruang tamu. Ia mengoleskan minyak itu ke bawah hidung. Satu menit setelah pengolesan, tiba-tiba kepala Acil bergerak, matanya terbuka, memalingkan tubuh ke kiri dan muntah. Kami serentak membantunya untuk duduk. Si juru kunci datang dengan segelas air putih dan lap. Aku mengambil air itu dan menyuguhkan kepada Acil. Ia meminumnya dengan lahap dan Zulham mengambil lap itu kemudian membersihkan bekas muntahnya.

Tim SAR pun pamit untuk pulang, kami menoleh ke arahnya dan berterima kasih. Tak ada yang bisa kami berikan kepada mereka selain ucapan terima kasih. Setelah salam-salaman, si juru kunci mengantar tim SAR hingga ke mobilnya dan kami masih di dalam rumah menemani Acil. Selang beberapa waktu, Acil mulai mempertanyakan apa yang terjadi dengannya, kami pun mencoba untuk menangkannya kemudian menjelaskan apa yang terjadi.

Setelah menjelaskan semuanya si juru kunci pun tiba, berjalan menuju kami dan duduk di sebelah Acil. “Sudah membaik?” tanyanya.

“Iya” jawab Acil sambil mengangguk. Acil menoleh ke arahku, “Sudah jam berapa?” ujarnya berbisik-bisik.

“Sepuluh lewat lima,” kataku sambil melihat jam tangan. Si juru kunci ingin kami bermalam tapi Acil menolaknya. Selang beberapa waktu tatkala kami beres packing kami berpamitan kepada si juru kunci dan mengucapkan terima kasih sembari keluar dari rumah.

Si juru kunci menawarkan untuk mengantar kami, tapi kami menolak dengan alasan tidak enakan. Kami pun berjalan menuju tempat parkir. Setelah beberapa langkah, Acil berbisik untuk mempercepat langkah kami. Tanpa tahu alasannya apa, kami pun mengikutinya. Sesampainya di tempat parkir, kembali lagi ia meminta kami bergegas mengeluarkan motor dan menghidupkannya.

Acil menyuruh kami singgah di Alfamart atau Indomaret terdekat karena ada yang ingin dia ceritakan. Selang beberapa jam perjalanan, tibalah kami di sebuah Alfamart. Kami duduk di salah satu kursi besi yang ada di depan Alfamart. Zulham membeli sebuah minuman sebelum Acil bercerita.

”Waktu kita menanjak dan tiba di pos dua, di sana ada sebuah danau kecil tempat kita ambil air. Sebelum meninggalkan danau itu ada sebuah ritual, membungkus batu yang ada di tepi danau dengan daun hijau. Tapi, tidak satupun dari kita yang melaksanakannya. Lebih parahnya lagi, ada di antara kita yang membawa sebuah jimat dan jimat itu dibenci oleh penghuni gunung.” Ujar Acil

“Siapa yang memberitahumu semua ini?” tanyaku penasaran.

“Semua berawal dari waktu aku tidur di gubuk itu. Ada seseorang kakek tua yang datang ke mimpiku, ia memperlihatkan semua kepadaku apa yang kita perbuat di gunung dan kakek tua itu menunjuk Aldi karena dia yang membawa sebuah jimat berbentuk kalung yang di simpan di kantongnya, jimat itu punya aura merah dan kakek tua itu tidak suka. Aku sempat menanyakan sosok kakek tua itu dan dia berkata bahwa dia adalah penghuni gunung ini. Aku langsung meminta maaf memohon untuk memberikan kami maaf. Ia memaafkan itu dengan syarat, jangan lanjutkan perjalanan.”

Kami  mendengar cerita Acil  dengan saksama. Cerita itu bagai lagu yang bersenandung memaksa kuping kami untuk terus mendengar.

“Aku baru sadar ada sesuatu yang aneh saat aku melihat diriku sudah tidak lagi di gubuk,” Acil melanjutkan, “Aku juga melihat kalian mencariku, aku melihat kalian turun gunung dan aku melihat kalian melapor ke juru kunci. Aku memohon kepada penghuni gunung untuk mengembalikan aku ke alam nyata, penghuni gunung mengamini itu. Aku baru sadarkan diri waktu tim SAR datang, tapi aku tidak bisa bergerak badanku terasa sakit seperti ada sebuah batu besar yang menindihku, tapi aku kembali tak sadarkan diri. Aku baru sadar ketika sudah di rumah si juru kunci.”

Setelah kami mengetahui semua tragedi yang terjadi kami memutuskan untuk kembali melanjutkan perjalanan. Walaupun kami tidak sampai puncak tapi, ada banyak pembelajaran yang kami dapat di pendakian ini. Selang beberapa jam di perjalanan, akhirnya kami sampai ke rumah dengan selamat.

Penulis

Artikel Terkait

Beri Komentar