Penulis: Muhammad Rizqi Fauzi P. | Editor: Asdimansyah. M
Suara gemercik hujan beralun pilu kala air mata awan tak mampu terbendung lagi. Sore ini, aku akhirnya datang setelah sekian lama melanglang buana mencari makna, padahal lupa hal yang paling berharga, begitu yang kurasa.
Tempat itu hanya berjarak beberapa depa dari tempatku berteduh. Tak mungkin aku merelakan baju dan sepatuku basah. Belum lagi jalanan becek yang tentunya akan menenggelamkan sebagian sepatuku.
Entah apa yang menyebabkan awan sore ini menjadi sangat cengeng, air matanya yang tadi hanya sedikit-sedikit kian waktu semakin menjadi-jadi, tangisnya makin keras saja. Awan goblok, cengeng, gitu aja kok nangis. Entah apa sebab tangisnya, pikirku tak perlu menangis sampai sederas ini.
Tiba-tiba teringat saat Mamak menenangkanku ketika menangis tersedu-sedu, saat minta dibelikan mobil mainan di pasar. Bukan dengan kalimat-kalimat lembut, melainkan dengan rotan tipis panjang sehasta yang ia ancamkan akan menghantamkannya ke betisku.
Entah kekuatan magis apa yang dimiliki oleh rotan tipis itu, yang jelas, demi melihatnya diangkat tinggi-tinggi oleh Mamak ke udara, tangisku sekonyong-konyong mereda, seperti hujan deras di kampung yang tempo hari tiba-tiba berhenti. Bedanya, hujan deras di kampung yang berhenti tiba-tiba itu mendatangkan pelangi, sedangkan hujan deras di mataku yang sekonyong-konyong berhenti kala itu tak mendatangkan apapun kecuali ingus di hidungku yang aku lap dengan lengan baju.
Bapak yang kala itu baru datang dari tempat kerjanya sedikit bisa membuat pelangi di bibirku. Tak seindah pelangi yang asli memang, sebab pelangi di bibirku dihiasi aliran bekas air terjun dari hidungku yang lubangnya tak sebesar lubang hidung orang-orang pada umumnya.
CTARRRR!!! Sambaran petir di udara membuyarkan lamunanku. Tangis awan semakin keras, ingin rasanya aku ambilkan rotan tipis Mamak lalu mengacungkannya ke langit, mengancam awan, harap-harap dengan rotan tipis nan ajaib itu bisa membuat awan cengeng itu berhenti menangis. Tapi sepertinya mustahil. Toh, rotan tipis itu tak cukup panjang untuk bisa kupecutkan pada awan yang begitu tinggi di sana.
CTARRR… CTARRRR!!! Sepertinya awan yang cengeng itu mendengar, gumamanku. Ia marah. Tentu ia tak mau jika pada buntalan-buntalan lembutnya harus ada bekas pecutan rotan tipis ajaib itu. Ia marah, lantas dua kilat petir ia kirimkan, disusul gemuruh guntur yang memekakkan telinga. Tangis awan yang cengeng itu semakin menjadi-jadi.
***
Meski bentakan Mamak sudah menjadi makanan sehari-hariku, aku tetap tahu bahwa Mamak adalah orang yang berjasa atas lahirku di dunia ini. Tak peduli bagaimana ia memperlakukanku, Bapak juga sering mengatakan bahwa yang Mamak lakukan semata-mata demi kebaikanku. Entahlah, kala itu aku sering sekali ingin menyangkalnya, tapi Bapak sudah lebih dulu menimpali, “Kelak kau akan paham kenapa Mamak melakukan itu”.
Bentakan Mamak yang tak kenal usai itu bisa datang karena apa saja. Mulai dari perkara sekecil menumpahkan isi toples susu saat aku masih tak tahu apa-apa, hingga perkara memutuskan kalung emas turun-temurun dari buyutnya. Kala itu marahnya tak tanggung-tanggung, andai tak ada Bapak waktu itu, tubuhku yang masih tak setinggi betisnya mungkin akan ia lemparkan ke sumur belakang rumah, bukan main marahnya.
Hubungan keluargaku yang agak aneh itu—setidaknya begitu yang kurasa—bertahan cukup lama. Berisikan Mamak yang suka membentak, Bapak yang penyabar, dan aku tentunya.
Hingga usiaku cukup dewasa untuk bisa balas membentak Mamak yang suka membentak, aku tak lagi hanya diam berpasrah mendengar sampai habis semua celotehan yang keluar dari mulutnya. Untung ada Bapak yang masih saja tetap sabar menjadi penengah antara kami berdua.
Semuanya berjalan seperti biasa hingga hari itu tiba. Aku yang sudah mahir membalas bentakan Mamak memutuskan untuk pergi dari rumah. Alasannya, seperti hari-hari sebelumnya, Mamak memarahiku karena hal sepele, lalu membentak. Aku, yang tentunya sudah cukup dewasa, lantas kubalas bentakannya.
Sudah menjadi tabiat sehari-hari keluarga ini seperti itu. Dan Bapak, yang hingga rambut putih menumbuhi sebagian kepalanya, tak pernah berkurang kesabarannya. Ia senantiasa menjadi penengah antara aku dan Mamak.
Adu mulutku dengan Mamak waktu itu sama seperti yang sudah-sudah. Bedanya, Bapak kebetulan sedang menemani bosnya ke luar kota untuk menstok barang di toko bangunan milik si bos. Hilanglah penengah antara aku dan Mamak.
Perkara hari itu tak besar-besar amat menurutku. Hanya karena aku pulang jam dua malam sehabis nongkrong dengan teman-temanku. Mamak yang kukira sudah terlelap ketika itu ternyata masih terjaga, lantas ketika pintu kubuka, bentakan bertubi-tubi Mamak menyambutku, menjadi ucapan selamat datang waktu itu.
Waktu itu sebenarnya aku bisa saja mengalah dan memilih untuk masuk saja ke kamar, capek membantah dan adu mulut dengan Mamak. Panggilan “anak pungut” ia lontarkan padaku sebelum aku benar-benar beranjak dari sana dan masuk ke kamar. Mendengar kalimat itu ia lontarkan, hatiku panas seketika. Aku lalu berlari menuju kamar dan mengambil tasku, pakaian secukupnya kumasukkan ke dalamnya. Tak lama berkemas, rumah kutinggalkan, dengan Mamak yang baru saja memakiku sebagai anak pungut, serta Bapak yang maha penyabar menghadapi aku dan Mamak. Bisa kutebak roman wajahnya, Bapak tak pernah kulihat menangis, namun untuk kepergianku kali ini, bisa kupastikan ia tak bisa menahan tumpah air matanya.
Mamak? Aku tak peduli. Toh, sepertinya ia akan senang, tak perlu lagi berbagi kasih suaminya dengan aku yang baru saja ia sebut sebagai anak pungut. Ia juga tak perlu lagi membentakku.
***
Hampir 20 tahun sejak kejadian itu, selama itu pula aku berdamai dengan segalanya, mencoba lupa untuk segala luka. Tapi entah kenapa sejak seminggu yang lalu ingatan-ingatan tentang Mamak dan Bapak memenuhi kepalaku. Meski kualihkan dengan berbagai kesibukanku saat ini, tapi hal itu tak cukup untuk membuatku kembali fokus.
Siang tadi aku memutuskan untuk pulang, kupikir itu satu-satunya jalan untuk bisa kembali berdamai. Aku lalu mengambil cuti untuk tiga hari, pikirku cukup untuk setidaknya bisa meminta penjelasan pada Mamak atas kejadian tempo itu. Aku juga rindu menatap raut sabar di wajah Bapak.
Tempatku bekerja saat ini sebenarnya tak terlalu jauh dari rumah Mamak dan Bapak. Pernah juga suatu ketika aku melihat Bapak menanyakan tentangku pada orang-orang di sekitar sana. Aku tentunya sengaja menghindar, penampilanku juga kuubah hampir seluruhnya. Sempat terpikir untuk menghampirinya, namun aku mengurungkan niatku, tekadku sudah bulat untuk melupakan semua tentang mereka.
CTARRR!!! Kilat petir diiringi gemuruh guntur sekali lagi mengagetkanku, angin dingin entah kenapa tiba-tiba menyelimuti seluruh tubuhku, pakaian yang kukenakan sungguh tak mendukung untuk melawan angin dingin ini.
Aku mengutuk diriku yang sejak tadi tak berani untuk mendatangi mereka. Aku sampai di tempat ini sebenarnya sudah sejak sore tadi. Setelah beberapa lama mencari dan mencoba mengingat-ingat letak rumah yang sengaja kutinggalkan itu.
Jawaban kudapat dari seorang lelaki tua yang sedang memperbaiki pagar di depan rumahnya. Ia sedikit terkejut ketika kusebut nama Mamak dan Bapak. Sedikit lama berbincang, ia mengatakan bahwa rumah tempat tinggal mereka sudah lama ditinggalkan, kini mereka sudah menetap di tempat lain.
Perasaan haru tiba-tiba membuncah di dalam dadaku. Tempat Mamak dan Bapak hanya berjarak selemparan batu dari tempatku berteduh. Dipisahkan jalan setapak berlumpur yang makin becek karena tangis awan yang cengeng itu.
Tak tahu karena apa, tiba-tiba aku menjadi secengeng awan malam itu, hujan juga turun pada kedua kelopak mataku, membuat aliran sungai-sungai kecil di pipiku. Ingatan-ingatan tentang Mamak dan Bapak terputar seperti film di hadapanku.
Apakah keputusanku untuk meninggalkan rumah hari itu sudah benar? Pertanyaan itu muncul tiba-tiba di kepalaku. Tidakkah aku terlalu berlebihan dalam menanggapi bentakan Mamak malam itu? Apakah malam itu Mamak betul-betul terbangun ketika aku datang, atau ia memang sengaja terjaga untuk menungguiku semalam suntuk? Mungkinkah ia justru peduli padaku?
Bersusul-susulan pertanyaan-pertanyaan itu menghujamku. Hari-hari di rumah memang kujalani dengan bentakan Mamak yang tak habis-habis, tapi bukankah setiap hari pula ia tetap memasak dan memberikan menu terbaik meski dengan gaji bapak yang tak seberapa. Aku paling suka tempe orek buatannya. Tak mewah memang, tapi aku selalu suka ketika Mamak memasak itu, meskipun setelahnya aku akan dibentak lagi karena tidak mencuci piringku setelah makan. Hingga hari ini, aku tetap merindukan tempe orek itu, tempe orek buatan Mamak.
“Ini saatnya, Rizqi. Temui mereka!” kataku pada diriku sendiri. “Aku belum siap,” pikiranku yang lain menimpali.
Hingga menjelang pukul delapan malam, awan yang cengeng itu tak kunjung berhenti menangis. Sialan, aku berlari menerobos jalan berlumpur nan becek itu, tak peduli lagi pakaian dan sepatu mahal yang kukenakan.
Malam yang hanya diterangi cahaya bulan dan bintang mengharuskanku menyalakan penerangan tambahan dari ponselku, takut menginjak rumah milik orang lain. Berbekal sedikit informasi dari lelaki tua tadi aku akhirnya menemukan rumah Mamak dan Bapak, mereka tinggal bersebelahan, hanya berjarak sejengkal tangan.
“Mak, Pak, Rizqi pulang.”